Ada baiknya istilah “Chinese Indonesian” ditambahkan disamping istilah “Tionghoa” yang umum dipakai.
Ketika menulis disertasi, maka setiap pilihan kata atau istilah haruslah dapat dipertanggung jawabkan. Untuk disertasi saya mengenai bagaimana orang Tionghoa bermukim di kota paska – kolonial di Indonesia, maka saya harus memilih menggunakan istilah “Tionghoa” atau “Chinese Indonesian”. Disertasi saya dalam Bahasa Inggris. Saat ini saya dalam tahap penulisan final disertasi, sehingga harus segera mengambil keputusan hendak memakai istilah yang mana.
Saya ingat berdiskusi mengenai hal ini beberapa tahun lalu dengan Professor saya. Diskusi yang biasanya sambil guyon. Waktu itu beliau tanya… “Istilah yang dipakai di Indonesia yang mana?” Saya jawab, kalau yang resmi diakui pemerintah RI adalah “Tionghoa”. Karena tidak semua orang nyaman disebut “Cina” yang katanya bermakna derogatori. Namun, saya juga bilang… kadang – kadang ada yang pakai kata “Cina” sih, tapi buat memaki atau mengejek… Hahaha… misal “Hei Cina Peking, balik sana ke negerimu!” Professor saya tertawa “ah, jadi pilihan kata yang dipakai tergantung mood”.
Saya ikut tertawa waktu itu… Seiring waktu, dengan progress Phd saya yang lambat ini, saya mulai berpikir, jangan – jangan yang “tergantung mood” bukan hanya soal istilah yang dipakai.
Riset saya mengenai kota dan permukiman. Jadi analisa yang dilakukan lebih banyak dengan mantengin dan tracing peta kota. Mengamati percakapan di medsos terkait Tionghoa, BUKAN lah metode yang saya pakai. Namun, karena saya cukup aktif di medsos, info – info dan fenomena yang beredar di medsos masuk radar saya. Sekedar memperkaya…
Hari–hari ini, ada yang lucu terkait dengan kasus “ghosting” yang lagi hit itu. Dulu – dulu, waktu belum ada kasus ghosting, ada orang – orang dari kalangan pendukung Presiden yang begitu aktif membela–bela nasib Tionghoa. Kurlebnya ngomong “Suku Tionghoa adalah kelompok yang paling menderita soal rasisme se Indonesia raya”. Dan banyak hal lain, yang membuat saya sendiri ga nyaman, karena terlalu lebay.
Tapi sekarang, dengan adanya anak Presiden bikin ulah dengan gadis Tionghoa, dari kalangan yang sama mulai muncul statement–statement yang mengatakan bahwa “Tionghoa sendiri rasis terhadap suku lainnya”.
Tentunya saya punya hasil observasi sendiri mengenai siapa yang rasis, dan siapa yang jadi korban rasisme… Cuma ya ketawa saja. Kok jadi berubah, sih? Eh, tapi ini malah bukan tergantung mood ya? Lebih tepat pendapat akan suatu hal tergantung pada bagaimana posisinya terhadap Presiden. Hahaha...
Kembali pada istilah yang akan saya pakai. Waktu itu Professor saya menyarankan memakai istilah “Tionghoa” untuk menghormati istilah yang resmi dipilih oleh pemerintah RI. Namun, bulan lalu saya bercerita bahwa ada yang keberatan dengan istilah “Tionghoa” karena membuat komunitas yang diteliti hilang ikatan dengan etnik leluhurnya.
Professor saya bilang, bahwa saya harus memutuskan sendiri mau pakai istilah yang mana. Beliau tetap memilih istilah Tionghoa, namun Beliau juga bilang, kalau hal ini sangat sensitive karena terkait identitas.
Saya mencoba berdiskusi dengan beberapa orang yang melakukan penelitian terhadap Tionghoa Indonesia. Saya mencoba minta pendapat. Kemarin, gara–gara tulisan tentang “mian zi” saya berkenalan dengan seorang penulis yang banyak menulis tentang Tionghoa Indonesia. So far, saran beliau ini yang bisa saya pakai.
Kawsang
Baca Juga: Anak Konyol Itu Bernama Kaesang
Intinyaya, beliau bilang bahwa kelompok yang diteliti punya hak untuk menentukan dirinya disebut dengan istilah apa. Jadi ada baiknya istilah “Chinese Indonesian” ditambahkan disamping istilah “Tionghoa” yang saya pakai. Dengan diberi catatan bahwa ini adalah permintaan dari komunitas yang diteliti.
Apapun istilah yang dipilih pasti ada pro kontra atau ketidak setujuan. Bahkan keputusan jalan tengah dengan menambahkan “Chinese Indonesian” pun akan dipertanyakan, mengapa “Chinese Indonesian” dan bukan “Indonesian Chinese”? Hayo loh…
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews