Drama Mengejar Berita [1] Menyamar Jadi Pramusaji, Taklukan Jenderal Hartono

Usai menulis berita. Dia puas. Saya pun dapat bonus Rp500 ribu plus ganti pakaian penyamaran. Drakor yang berhasil.

Sabtu, 16 Januari 2021 | 19:56 WIB
0
272
Drama Mengejar Berita [1] Menyamar Jadi Pramusaji, Taklukan Jenderal Hartono
Jenderal Hartono (Foto: tribunnews.com)

Lagi ramai di media sosial. Ada yang diduga menyamar menjadi 'gembel' di ibu kota. Saya tidak mau membahas drama tersebut. Sudah banyak diulas. Entah mana yang betul. Sensi. 

Saya juga punya pengalaman menyamar, tapi untuk kepentingan berita. Pada sekitar 1996, saya dapat tugas dari pemimpin umum Harian Merdeka, Mas Margiono. Perintahnya singkat padat. Hari itu juga saya diminta mencari dan mewawancarai Jenderal TNI R Hartono.

Tentu tidak semudah mencari gembel. Dia adalah Kepala Staf Angkatan Darat. Saat itu Hartono sangat popular.

Margiono tahu, tidak mudah mewawancarai orang super sibuk, apalagi tidak melalui permohonan wawancara khusus. Dia bilang," SG, ini untuk HL (head line) kita besok, saya akan kasih bonus Rp500 ribu, jika berhasil," kata Margiono. SG adalah panggilan saya di Harian Merdeka.

Rp500 ribu saat itu cukup banyak. Belum terjadi krisis moneter. Gaji saya saat itu pun sekitar Rp1 juta. Ini tantangan saya sebagai reporter khusus halaman utama. Mungkin Wapemred Bang Karim Paputungan, redpel Bang Nuah Torong, dan redaktur polkam Bang Ludin Panjaitan, sebagai atasan saya, tidak ingat peristiwa itu. Saya ditemani wartawan piket almarhum Bang Cekwan Lubis yang mengantar dengan mobilnya. Colek Mulia Siregar dan Zaenuddin H Machmud.

Hari itu saya lacak agenda Jenderal Hartono dari beberapa sumber di Mabesad. Peluang saya untuk bertemu cuma satu di acara tertutup perwira tinggi TNI di Balai Kartini, Jakarta, malam hari. Saya harus bisa masuk dari pintu belakang yang agak longgar. Caranya? Saya harus menyamar menjadi pramusaji.

Maka sore itu, saya minta diantar Bang Cekwan Lubis membeli pakaian berupa celana bahan hitam, baju putih lengan panjang, minyak rambut, rompi hitam dan dasi kupu-kupu hitam. Plus gunting kecil untuk rapikan kumis.

Magrib kami parkir di kantor Kanwil Dikbud DKI Jakarta. Di seberang timur Balai Kartini. Sholat magrib, kemudian berdandan layaknya pramusaji. Rapi dan rambut licin mengkilat. Makan roti terlebih dahulu untuk ganjal perut. Saya pun melangkah ke arah Balai Kartini, pintu belakang.

Ternyata betul. Pakaian saya sudah mirip pramusaji. Tidak ada yang curiga. Saya pun berjalan menuju ruangan. Pura-pura bereskan meja, sambil cari tahu meja bundar untuk tempat duduk Jenderal Hartono.

Saat acara dimulai, mata saya tertuju ke meja Jenderal Hartono yang mengenakan jas hitam. Saya lihat wajahnya cerah, tidak kusut. Artinya saya punya peluang jumpa dan bakal diterima.

Ketika acara jelang selesai, saya harus berpikir cepat. Bagaimana caranya bisa menuju meja utama. Secepat kilat saya sambar baki untuk gelas kotor dan menuju meja utama.

"Selamat malam, Pak. Ada yang ingin saya tanyakan."

"Kamu wartawan kok ada di sini? Ini kan tertutup bagi wartawan. Kamu nyamar ya? Hahaha."

Dia tahu saya wartawan, karena kerap liputan di Mabesad, walau tidak tahu nama saya. Saya satu-satunya wartawan yang diajak masuk ke dalam tank scorpion saat alutsista itu pertama kali dipamerkan di Kemayoran. Ini gara-gara pertanyaan saya kepada KSAD, "Saya tidak yakin jenderal bisa mengemudikan alutsista modern, walau jenderal kavaleris sekali pun."

Hartono berasal dari Korps Kavaleri. Akhirnya dia mencoba mengendarai tank scorpion buatan Inggris. Saya diajak serta masuk ke dalam tank tsb. Mungkin dia merasa kesal, karena saya menyepelekannya. Jadi ingin buktikan masih bisa mengendarai tank.

Sebuah trik pertanyaan yang menghujat dan membakar emosi nara sumber. Berhasil.

Kembali ke laptop. Hartono pun berdiri bersiap jalan keluar ruangan Balai Kartini, didampingi istrinya.

"Pak tolong rangkul saya, supaya saya tidak diusir."

Baca Juga: Golkar Bukan Bikinan Soeharto

Sengaja saya minta seperti itu, karena ajudan dan pengawal sudah mendekat. Tentu pemandangan aneh ada jenderal bintang empat merangkul seorang pramusaji pria. Jika tidak dirangkul, mungkin saya bisa diseret para pengawalnya.

Sambil berjalan dan dirangkul Hartono, saya ajukan beberapa pertanyaan. Ia jawab dengan santai hingga berhenti di depan mobil dinasnya. Wawancara terus berlanjut sekitar satu menit. Hartono dan istri masuk ke mobil.

Sukses. Ajudan KSAD pun cemberut. Korspri KSAD ngedumel. "Dasar wartawan banyak akal."

Saya pun berlalu meningggalkan Balai Kartini. Menemui Bang Cekwan dan langsung menuju kantor di Jl Prapanca, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kantor Jawa Pos Grup. Sedangkan kantor Harian Merdeka di Rawa Bokor, dekat bandara Sukarno-Hatta. Merdeka menjadi bagian dari Grup JPNN.

Margiono sudah menunggu di Jl Prapanca. Langsung dia tanyakan. "Kok pakai dasi kupu-kupu? Berhasil?"

"Berhasil, Mas. Berkat dasi kupu-kupu ini. Beli pakaian baru, mohon diganti, Mas."

Saya pun menyerahkan kwitansi pembelian.

Usai menulis berita. Dia puas. Saya pun dapat bonus Rp500 ribu plus ganti pakaian penyamaran. Drakor yang berhasil.

***