Golkar Bukan Bikinan Soeharto

Bahwa apa yang saya tuliskan adalah apa adanya, yang saya dengar dari seorang penggagas dan pencetus ide berdirinya organisasi Golongan Karya di masa lalu.

Rabu, 4 Desember 2019 | 07:44 WIB
0
637
Golkar Bukan Bikinan Soeharto
Soeharto (Foto: Soeharto.co)

Membaca tulisan Kang Pepih, kawan lama yang pernah jadi teman liputan di masa lalu ini sungguh menarik. Saya juga pengagum Harmoko. Siapa yang tak kenal Harmoko dengan keunikan logat dan gaya bahasanya di masa lalu? Harmoko yang menurut saya, meski di nyinyiri dan dibenci orang, Harmoko juga yang membuat sejarah. Bukankah tumbangnya Soeharto juga tak akan terjadi tanpa aksi Harmoko di masa itu?

Harmoko adalah tokoh yang sangat unik. Ia bukan juga sekedar pemain bola api yang kaya dengan strategi berpikir. Yang karenanya juga, ia juga orang yang sangat tahu diri. Ia tahu kapan harus berhenti dan bilang cukup. Tidak mudah meniadakan diri dari seseorang yang sudah terkenal di masa lalu. Ia tidak punya ambisi jadi orang penting apapun dan dimanapun saat ini. Dia hanya puas menjadi penonton dan melihat Indonesia dari jauh. Entah siapa politisi Indonesia yang punya kemampuan seperti ini di masa yang akan datang.

Tulisan Kang Pepih ini juga menggelitik saya. Ketika tulisan ini tidak hanya menulis tentang Harmoko, tetapi Golkar, Golongan Karya, sebuah organisasi Politik yang disebut penulis sebagai organisasi buatan Soeharto dan dipakai Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya. Saya ingin mengoreksi ini. Memang pemahaman yang disebarkan seperti itu tidak salah. Itulah manipulasi sejarah dalam kekuasaan yang dipahami hingga saat ini. Wajar orang memiliki logika berpikir seperti itu. Tapi benarkah demikian?

Menurut saya TIDAK benar sama sekali. Mengapa saya yakini tidak benar? Karena saya bertemu langsung dan berbicara dengan pencetus dan pendeklarasi ide dan pembentukan organisasi Golongan Karya mula-mula, yaitu Almarhum Jenderal Besar Abdul Haris Nasution. Siapa yang tidak kenal pria yang populer disebut dengan nama Pak Nas ini?

Beliau adalah wakil Panglima Jenderal Besar Soedirman. Beliau adalah salah dari tangan orang yang juga membentuk sejarah lahirnya Tentara Nasional Indonesia. Beliau adalah penulis buku "Dasar-Dasar Perang Gerilya" yang jadi acuan para pemimpin gerilya di muka bumi hingga kini.

Saya ingat ketika ia bangga bercerita (sambil memamerkan bukunya itu), tentang bagaimana buku "Perang Gerilya" ini dicetak ulang berkali-kali, dijadikan bacaan para pemimpin perang gerilya di Vietnam, Korea, Afrika sampai Amerika Latin. Ia bertutur bangga bagaimana bukunya ini dijadikan bacaan wajib di West Point, akademi militer kebanggaan Amerika Serikat. Beliau juga yang lolos dari pembunuhan di masa G30S/PKI yang sempat menewaskan putrinya Ade Irma Nasution. Beliau yang akhirnya menjadi Ketua MPRS setelah peristiwa itu.


Jenderal AH Nasution dan bukunya (Foto: Sindonews.com)

Di masa lalu, saya akui, saya bersyukur pernah bertemu berkali-kali, kenal dekat dengan Opa Nas, demikian dia senang saya memanggil namanya, daripada memanggilnya dengan nama Pak Nas. Memang dia cukup tua, lebih muda sedikit daripada kakek saya. Dia bilang, panggilan Opa Nas itu manis ditelinganya.

Dan saya banyak menghabiskan waktu berdiskusi di teras belakang rumahnya, bersama ibu Nas sambil minum teh sore, di kediaman Jalan Teuku Umar. Beliau dengan kaus T Shirt singlet putih dan sarungnya, duduk di kursi kayu yang dipelitur coklat tua, kadang-kadang duduk di kursi roda, dengan setumpuk buku-buku dan koran-koran yang hobi dibacanya setiap hari. Beliau yang tua, rendah hati dan ramah. Beliau yang selalu punya senyuman dan bahasa yang hangat saban menyambut kedatangan saya.

Ingatannya seperti museum. Berkali-kali beliau mengoreksi kesalahan saya dalam memahami konsep perang gerilya, sejarah Tentara Nasional Indonesia, G30S/PKI dan Soeharto. Beliau orang yang sangat kuat berargumentasi. Sangat kritis. Berkali-kali dia menyuruh saya menunggu di meja teras luar, ketika beliau susah payah mengambil beberapa buku dari perpustakaan pribadinya, untuk meluruskan pemahaman saya yang salah.

Beliau itu bagai seorang bapak guru yang sangat sabar mengajar dan membimbing saya, generasi muda Indonesia yang punya rasa ingin tahu yang besar tapi kerap salah memahami cerita dibelakang kejadian di masa lalu. Saya ingat, berulang kali juga, beliau rajin mengkritik saya sebagai generasi muda yang salah memahami sejarah dan harus terus mau belajar.

Beliau tidak mudah dimanipulasi berita apapun. Pendiriannya teguh. Opa Nas itu, dapat membedakan informasi yang benar dan menganalisanya dengan tajam dengan banyak pertimbangan. Saya mengagumi pola berpikirnya. Adalah salah kalau orang pikir beliau tidak tahu sama sekali perkembangan politik apapun tentang Indonesia di masa tuanya. Dia bahkan tahu benar, kira-kira apa yang sedang terjadi di tubuh TNI saat itu. Malah dia yang beritahu saya, bukan saya yang beritahu dia.

Menurut saya, Pak Nas itu seperti penulis Pramoedya Ananta Toer. Orang tua yang sudah yang ditindas puluhan tahun, dibuang, dijadikan tahanan rumah oleh penguasa, tetapi punya otak tetap tajam. Malah ibarat buah kelapa, makin tua makin berminyak, maka beliaupun kualitas otaknya semakin tua makin tajam. Makin kritis dan matang. Usia tua tidak menghalangi ia berpikir dan menganalisa.

Berulangkali dia mengomentari headline berbagai media cetak yang dia baca. Komentarnya, sejujurnya, sangat pedas walau disampaikan dengan kalimat sopan dan suara yang lembut. Dia bilang, wartawan sekarang tambah aneh. Dia berulang kali bilang pada saya : Kamu harus berubah, tidak boleh jadi wartawan yang bodoh. Rajinlah membaca, semua sudah banyak tertulis dan masih ada yang banyak tercatat dalam dokumen sejarah masa lalu Indonesia yang harus kamu baca.

Bagi saya Opa Nas itu jenderal yang sangat membumi. Beliau yang kecerdasannya tetap terpancar dari sinar mata penuh gairah kehidupan ketika berbicara tentang masa lalu. Tentang perang gerilya, tentang G30S/PKI, tentang Soeharto, tentang Indonesia, dan tentang buku-buku karyanya. Juga tentang dia yang pernah jadi Ketua MPRS usai Bung Karno tumbang.

Jujur, saya sedih kala harus berpisah dengannya. Beliau tidak mau semua percakapan kami dipublikasikan. Demi kebaikan kami semua. Dia bilang, kita semua harus hati-hati. Dia ingin saya bijaksana dalam memahami semua yang dia katakan. Setiap saya datang, selalu menjadi kunjungan diam-diam dan rahasia. Bahkan penjaga rumah dan ajudan pribadi tak pernah tahu saya ini seorang wartawati. Demikianlah selalu terjadi. Saya melenggang keluar masuk ke teras belakang rumahnya dengan aman dan bebas.

Di suatu sore, kami berdiskusi serius tentang G30S/PKI. Beliau bercerita bagaimana ia didapuk menjadi Ketua MPRS usai Bung Karno tumbang. Opa Nas berbicara tentang apa yang dilakukannya sebagai Ketua MPRS di masa itu, jabatan terakhir secara resmi di Republik Indonesia. Dan bagaimana ia didepak Soeharto setelah itu, dijadikan tahanan rumah yang cukup menderita lahir batin selama puluhan tahun.

Sebuah cerita sedih pilu perlahan keluar lembut bersahutan dari bibir sepasang orangtua yang mengundang air mata. Jeritan yang tertahan di ujung mata yang berkaca-kaca. Cerita yang mereka tidak mau publikasikan demi keselamatan mereka. Yang mereka inginkan adalah hidup damai di usia senja di rumah penuh sejarah penderitaan mereka.

Satu yang menarik dalam diskusi kami di suatu sore adalah bagaimana Opa Nas sudah menyiapkan buku untuk saya baca. Dia membuka halaman buku itu, dan menyuruh saya membaca ketetapan-ketetapan MPRS selama kepemimpinannya. Buku itu cukup tebal. Seperti Alkitab. Saya membacanya di depannya. Bahkan dia menyuruh saya membacanya berulang kali pas di alinea tentang Golongan Karya.

Dia bilang: Kamu sudah baca bagian itu? Itu Golongan Karya, saya yang sendiri buat pidatonya. Juga ketetapannya. Saya kemudian mencetuskan itu dalam sebuah pidato resmi dalam sidang MPRS. Di situ tertulis jelas apa itu Golongan Karya dan kenapa Golongan Karya musti ada.

Lalu saya tanya, tapi Golongan karya sudah jadi partai politik saban pemilu di Indonesia saat ini. Kenapa semua diam menafikan kebenaran ini? Beliau bilang: "Kamu tahu tidak, bahwa kita ini semua, kamu juga, bagian dari Golongan Karya, golongan yang berkarya mengisi kemerdekaan Indonesia. Golongan yang berkarya ini bukanlah organisasi politik, bukan partai politik, tapi organisasi kemasyarakatan, kumpulan dari orang-orang yang punya pemahaman bersatu untuk berkarya untuk membangun Indonesia".

Uraian yang panjang yang saya harus pahami dengan cepat saat itu. Pak Nas kemudian bercerita bagaimana ia memberi nama komunitas itu Golongan Karya, dan apa yang mendasari dan sejarah berdirinya komunitas Golongan Karya di masa itu. Cerita panjang yang harusnya dijadikan tulisan tersendiri tentunya.

Jadi, mengapa Opa diam saja untuk pemahaman yang salah seperti ini, tanya saya ingin tahu pada Opa Nas. Lalu ia berkilah. "Saya tidak diam. Kalaupun saya diam, karena saya harus hidup, bukan? Apa tulisan di buku MPRS ini tidak cukup jelas menulis tentang apa itu Golongan Karya? Kalau ada yang memanipulasi maksud dan tujuan didirikannya Golongan karya dan menjadikannya Golongan Karya sebagai alat politik, itu Soeharto namanya", katanya menjelaskan.

Lalu, beliau mengungkapkan keyakinannya. "Suatu saat kelak orang akan membaca Pidato saya di MPRS dan Ketetapan MPRS di masa lalu yang saya buat. Kebenaran tentang Golkar ini pasti akan terungkap. Yang pura-pura tidak tahu dan masa bodoh itu orang-orang yang gemar memanipulasi sejarah. Ya biarkan saja", tuturnya dengan santai.

Jadi Opa Nas tidak terima Golkar jadi kekuatan politik? Tidaklah, jawabnya sambil tersenyum. Malah dia tertawa terkekeh ketika saya tanya, kalau saban pemilu Opa coblos yang mana. "Kalau saya bilang saya pilih Golput bagaimana? Semua parpol kan diatur Soeharto", katanya geli.

Ah masa Opa begitu, komentar saya sedih. Opa harus memilih dong. Tidaklah katanya.

"Yang jelas, saya tidak akan pilih Golkar. Golkar itu bukan partai politik. Itu organisasi buatan saya yang dibajak Soeharto. Organisasi yang dilarikan arahnya jadi kekuatan politik. Saya tidak akan terima itu. Saya tidak akan terima Golkar jadi partai politik. Tidak akan pernah saya coblos. Golkar harus dikembalikan jadi organisasi pemersatu untuk berkarya membangun bangsa dan negara Indonesia. Karena kita semua ini golongan karya.Golkar itu milik seluruh rakyat Indonesia, bukan milik sekelompok orang, bukan jadi alat politik sekelompok orang. Sampai kapanpun saya tidak terima itu", katanya tegas dengan senyum terkembang.

Semoga tulisan saya ini bisa jadi masukan. Tidak ada maksud saya menggurui bangsa Indonesia. Bahwa apa yang saya tuliskan adalah apa adanya, yang saya dengar dari seorang penggagas dan pencetus ide berdirinya organisasi Golongan Karya di masa lalu.

Kata Almarhum bang Ali Sadikin dulu pada saya: Sejarah dapat dirubah untuk kepentingan penguasa, tetapi sejarah dapat diluruskan. Menurut bang Ali, kebenaran dapat disalahkan, tetapi kebenaran tidak akan dapat dikalahkan. Bang Ali, Jenderal Angkatan Laut, salah satu tokoh Petisi 50 yang tidak malu menangis ketika ia tidak terima Pak Nas, salah seorang teman seperjuangan di Petisi 50, diperlakukan dengan jahat di masa tuanya.

Semoga tulisan catatan kecil ini dapat dicatat dan diterima sebagai bagian sejarah masa lalu Indonesia. Semoga dokumen pidato MPRS dan ketetapan-ketetapan MPRS yang dibuat Jenderal Besar Abdul Haris Nasution dapat tetap tersimpan rapi dan dapat dibaca seluruh generasi muda Indonesia di masa yang akan datang. Sebagaimana keinginan Pak Nas ketika ia hidup tentunya.

***