Dalam hukum new-normal, semakin cepat pandemic berlalu, semakin sedikit perubahan akan terjadi. Debaliknya semakin lama usia pandemic, makin dramatis dan besar perubahan akan terjadi.
Premis dasarnya harus jelas dulu, saya pendukung Jokowi. Tapi bukan buzzer-nya!
Saya mudah paham dengan segala langkahnya, tapi juga tidak selalu setuju dengan seluruh kebijakannya. Tapi ketika, beliau mengatakan bahwa kita harus bersedia mulai hidup dengan cara berdamai dengan Covid-19. Tanpa ragu, saya katakan setuju!
Lepas bahwa alasan Pak Presiden adalah agar kita hidup produktif, dengan tetap memenuhi protokol umum masa pandemic. Tetap melakukan social distancing, pakai masker, rajin cuci tangan, menguragi potensi pergi jauh dulu, dan meningkatkan saling kepedulian.
Lepas apakah pada akhirnya, pemerintah akan menerapkan herd community atau tidak. Dengan tentu akan dicari istilah lain jka itu dipakai sebagai suatu kebijakan. Atau pelan-pelan melakukannya, tanpa gembar-gembor. Menurut saya himbauan ini juga salah satu langkah awalnya.
Bagaimana pun herd community adalah pilihan kebijakan paling murah, dan dampaknya paling minimal terhadap keadaan sosial-ekonomi sebuah negara. Tentu dengan melepaskan aspek media dan politik di dalamnya. Dan justru dalam banyak kasus, kedua aspek inilah yang bikin banyak masalah yang tidak perlu: panik, bingung, resah, bla bla.
Belanda dengan berani telah melakukannya dan bisa dijadikan contoh. Tapi apa sih salahnya menerapkan herd immunity? Paling nanti para SJW HAM atau Kelas Menengah-Atas yang berteriak keras sekali. Atas nama ini itu, atau dengan dasar fans cub dari media-media tertentu yang sesuai selera mereka.
Lepas dari setuju atau tidak, ada baiknya kita menyimak video di bawah ini.
Saya pertama kali, memperolehnya dari laman sahabat saya Prof. Sulistyowati Irianto. Saya pikir beliau sebagai pakar hukum bisa menilai bahwa video ini lumayan bisa memberikan penjelasan komprehensif soal CoVid -19. Tentu saya harus ikut manut. Di dalamnya ada keseimbangan antara evidence-based reason. Memberikan penjelasan yang sangat menarik dari perspektif mikrobiologi dan imunologi.
Sayang kemudian video ini secara resmi dibanned (atau diblock) di negara dimana video ini pertama kali dibuat: AS. Untunglah youtube adalah media sosial terbuka, di mana ketika ada satu orang saja yang telah menyimpannya mustahil menghilangkan seluruh jejaknya. Lalu siapa yang tidak senang? Gampang dideteksi bahwa siapa pun mereka adalah pendukung dari gerakan lock-down. Bisa saja itu kaki tangan WHO, atau salah satu organ Pemerintahan Trump sendiri yang memang berkepentingan untuk melock-down negara ini. Jangan lupa lock-down adalah bisnis dalam bentuk lain. Ada duit murah, ada insentif ini-itu, ada proyek gede di dalamnya.
Adalah dr. Dan Erickson dan dr. Martin Massihi yang sudah melakukan tes terhadap 5.000 orang di AS. Lalu membandingkan datanya dengan data dari berbagai kota di dunia yang ternyata hasilnya sama. Yaitu jumlah yang terinveksi virus sangat banyak, tapi dengan persentase yang meninggal sedikit dan cenderung sama secara persentase yaitu 0.03%.
Kemudian keduanya membuat model perbandingan antara Norwegia dan Swedia. Dua negara Skandinavia yang memiliki ras sama dan hidup bertetangga. Bedanya Norwegia melakukan lockdown sedang Swedia tidak Ternyata presentase kematiannya juga tidak jauh berbeda.
Menurut kedua peneliti ini, bahkan presentase kematian tersebut sama dengan rata-rata kematian akibat flu musiman. Yang di negeri sub-tropis, dengan empat musim, disebut seasonal flu. Di sinilah gugatan kedua dokter ini, dengan data-data yang mereka dapat: apakah lockdown merupakan jalan terbaik untuk melawan pandemi Covid 19?
Dalam kasus lockdown di AS, yang sesungguhnya belum berapa lama itu. Realitasnya telah menimbulkan banyak masalah besar seperti PHK, kekerasan dalam rumah tangga, bunuh diri, depresi dan ambruknya ekonomi. Bahkan yang paling mengerikan adalah kasus pemerkosaan di tengah keluarga sendiri. Akibat stres lalu mabuk.
Menurut kedua pakar imunologi ini, hanya orang-orang yang imunitasnya lemah seperti bayi baru lahir, lanjut usia, perokok, atau memiliki penyakit comorbid (penyakit yang sudah ada sebelumnya), yang memerlukan karantina atau lock down. Mereka inilah yang rentan terkena covid.
Orang-orang sehat imunitasnya bekerja justru karena ada interaksi dengan orang lain dan bersentuhan dengan virus dan bakteri, yang membangun sistem antibodinya. Dengan latar belakang inilah video mereka di banned karena melawan kehendak WHO yang "mewajibkan" lockdown bagi seluruh negara yang terjangkiti Covid 19!
Dalam semangat inilah, saya pikir pesan agar masyarakat mulai bersedia hidup berdamai dengan pandemic ini disampaikan. Karena bagian yang paling jelas di hari ini justru "tidak jelas kapan" pandemic ini akan berakhir. Jangan salah tidak semua orang ingin pandemic ini segera berlalu!
Dalam hukum new-normal yang aneh itu: semakin cepat pandemic berlalu, semakin sedikit (kecil) perubahan akan terjadi. Dan sebaliknya semakin lama usia pandemic, semakin dramatis dan besar perubahan akan terjadi.
Di sinilah jarak antara harapan dan kenyataan terjadi. Kita entah di ada sisi mana? Dimana pun memang kita harus belajar berdamai....
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews