Toko Oen di Jogja

Berharap ada orang kaya, pengusaha sukses yang mau membelinya. Mengembalikannya menjadi Toko OEN dan menjadikannya Resto yang asyik.

Minggu, 21 Juli 2019 | 09:33 WIB
0
2167
Toko Oen di Jogja
Toko Oen (Foto: Facebook/Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Sebagai periset foto, yang gak kunjung mau menerbitkan bukunya, saya bisa dengan mudah memberi contoh sangat sederhana tentang betapa walau mendaku sebagai kota budaya. Jogja termasuk terasing dari masa lalunya, hilang jejak yang tak terperi. Warganya, budayawannya, sejarahwannya pemalas mendokumentasikan atau lebih tepat membuat jejak nyata tentang sejarah silamnya.

Bahwa di satu kala, dirinya memiliki bangunan-bangunan indah yang hari ini diterlantarkan begitu saja. Ini hanya salah satu contohnya yang riil nyaris terlupakan.

Sebagaimana kita tahu, sejak masa kolonial terdapat resto legendaris bernama Toko Oen. Sejarah awal Restoran iniu hanya menjual kue dan es krim kemudian berkembang menyediakan masakan Indonesia, Belanda dan Cina. Toko “OEN” membuka cabang di Jakarta (1934) Malang dan Semarang (1936), tapi tak pernah ada catatan bahwa toko ini jusru lahir di kota Jogja.

Berawal dari toko roti yang pertama dibuka oleh Liem Gien Nio di Jogjakarta pada tahun 1912. Sebutan Oen diambil dari nama sang suami, yaitu Oen Tjok Hok, lalu pada 1922 berkembang menjadi kafe es krim dan restoran. Setelah terkenal dan banyak pelanggan yang menyukai menunya, Toko Oen membuka cabang di beberapa kota seperti Semarang, Jakarta, dan Malang.

Namun, seiring dengan perkembangan jaman, Toko Oen di Jogyakarta dan Jakarta akhirnya tutup, hanya tinggal toko di Malang dan Semarang saja yang masih buka. Pada perkembangan selanjutnya, Toko Oen di Kota Malang dijual kepada seorang pengusaha yang bernama Dany Mugiato. Namun belkangan justru jadi ikon kuliner terpentingdi kota ini. Benar2 mempertahankan wajah aslinya yang kalsik itu...

Jadi bisa dimengerti sebagai toko cikal bakal, toko ini memiliki ukuran dan arsditektural yang terbaik, termegah. dan terbesar dibanding cabang yang ada di Semarang atau Malang bahkan di Jakarta sekalipun.

Sayang toko Oen Yogyakarta tak berumur panjang, konon sudah tutup sejak tahun 1937 dan pindah ke Semarang setelah Kakek Oen membeli sebuah bangunan di Semarang yang telah memiliki Grillroom di di Jalan Bodjong 52 (sekarang: Jalan Pemuda). Tahun 1936 bangunan ini diubah sebagai Toko “OEN” Semarang. Bila ingin merasakan sajian bergaya Indische ini tempat terbaik. Menu dengan rasa perpaduan bumbu Eropa dan Jawa. Lalu ditambahi sedikit ornamen bumbu Chinese.

Toko yang di Jakarta tutup pada tahun 1973 setelah toko dibeli oleh ABN Bank yang akhirnya dibongkar untuk pembangunan perkantoran. Toko “OEN” Malang hampir saja tinggal kenangan. Pada tahun 1990 cabang Malang mengalami omzet yang menurun lantas menjual toko tersebut. Oleh pembelinya rencana akan direnovasi untuk dijadikan sebuah showroom mobil. Karena nama dan bangunan memiliki nilai historis di Malang, pemerintah daerah Malang melarang merenovasi bangunan bersejarah dengan cara apapun.

Pemilik gedung baru kemudian memanfaatkan identitas dan merek dagang Toko “OEN” sebagai restoran dan toko es krim. Meski saat itu tidak memiliki perjanjian apapun dengan pemegang paten merek dagang Toko “OEN” Semarang, termasuk resep asli Ny. Liem Gien Nio.

Banyaknya permintaan wisatawan Belanda saat bertamu di restoran Toko “OEN” di Semarang untuk berpartisipasi di Pasar Malam Den Haag Belanda. Selain itu banyak orang Belanda yang pernah tinggal di Indonesia merindukan dapur nostalgia Nenek Oen. Pada tahun 1994 Toko “OEN” Semarang membuka sebuah kedai di Pasar Malam di Den Haag dengan menyajikan menu masakan seperti aslinya. Koki dan peralatan memasak didatangkan khusus dari Indonesia.

Artinya apa? Jika saat ini Restoran OEN kembali populer, itu terutama berkat jasa kakek nenek Sinyo Belanda yang "memaksa" resto kuno itu kembali hidup! Arti lainnya: selera kuliner kita itu sejatinya hanya pengekor atau follower saja. Gak usah terlalu bangga bisa makan ini itu, kalau kenyataan sebenarnya hanya cuma "tiru-tiru". Anut grubyuk, padahal gak pernah punya semangat sebagai penemu. Gitu masih banyak yang ngaku2 sebagai "si lidah pintar"...

Kembali ke fenomena Toko OEN di Jogja, banyak yang tidak pernah berpikir bahwa kecenderungan seperti ini sudah cukup lama. Menemukan resep di Jogja, membuka toko awal di Jogja tapi menjadi besar di luar sana. Sejarah Toko Oen nyaris sama dengan Sejarah Jamu Sido Muncul, yang sekarang jadi konglomerat obat herbal tradisional itu.

Pendirinya orang Tionghwa di Jogja bernama Go Djing Nio, namun menganggap usahanya sulit berkembang lalu memindahkannya ke Semarang. Apakah ini menunjukkan bahwa sejak masa kolonial memang usaha orang2 Tionghoa selalu sukar maju di kota ini? Tentu perlu riset lebih mendalam. Sependek yang tahu, memang orang Tionghoa Jogja ya usahanya begitu2 saja. Ada yang bisa membesar skala nasional tapi bisa dihitung dengan lima jari...

Lalu bagaimana nasib bekas Toko OEN di Jogja. Nah itu dia, sekarang jadi "rumah hantu" yang lainnya. Silahkan kalau sekali2 main ke Tugu, bergeraklah ke selatan ke arah Stasiun. Di sisi Timur ada bangunan yang secara arsitektural sudah rusak wajahnya. Dulu pernah jadi show room mobil VW, milik PT Garuda Mataram lagi2 milik keluarga Probosutedjo. Setelah itu berganti2 penggunaannya, sampai sekarang kembali jadi rumah hantu....

Hambok iyao, ada orang kaya, pengusaha sukses yang mau membelinya. Mengembalikannya menjadi Toko OEN dan menjadikannya Resto yang asyik. Itu loh nyonto Resto Honje yang di sudut Barat Daya Tugu yang kalau peak season orang harus beradu otot hanya sekedar ambil nomer antrian....

Kalau sudah lupa wajah aslinya, nih saya sumbang foto aslinya. Indah bukan!

For Mr. Erik Snoek, if you need translate this article can ask for help to Dayujiwa. Mboggeg tulungi ya. ora dolan wae...

***