Asal Muasal Kompas [17] Dimulainya Era Komputerisasi

Dengan sistem ini layoutman tidak diperlukan karena layout sudah disimpan dalam template di komputer. Redaktur tinggal memanggil, model mana yang hendak dipakai.

Sabtu, 22 Juni 2019 | 21:57 WIB
0
805
Asal Muasal Kompas [17] Dimulainya Era Komputerisasi
Komputer IBM seperti inilah yang pertama digunakan Kompas (Foto: Tech In Asia)

Pada  saat saya menjabat sebagai koordinator tata wajah Kompas, terjadi proses komputerisasi di redaksi. Jika sejak awal terbit tahun 1965 wartawan membuat berita dengan diketik kemudian redaktur mengedit dengan tulisan tangan atau mengetik ulang tulisan wartawan, maka kini dalam proses menggunakan komputer. Jadi wartawan mengetik di komputer kemudian redaktur mengeditnya via komputer juga.

Pergantian proses itu kayaknya sepele namun dalam praktek susah sekali, apalagi bagi wartawan yang sudah berumur, mengubah cara kerja itu tidaklah mudah. Tuntutan komputerisasi itu sebenarnya juga datang dari percetakan yang mau tidak mau harus mengikuti perkembangan teknologi.

Bagi redaksi, komputerisasi diharapkan mempercepat produksi sehingga mereka bisa memuat berita hingga tengah malam. Untuk menuju komputerisasi ini dibentuklah tim yang anggotanya datang dari percetakan Gramedia dan Kompas. Dari pihak Kompas dipimpin J. Widodo, kepala Litbang waktu itu serta beberapa teman dari bagian iklan.

Untuk mendapatkan masukan, beberapa anggota tim dikirim ke luar negeri, mencari tahu sistem apa yang tepat untuk digunakan penerbitan koran. Dalam kata akhir, tim tidak mencapai kata sepakat. Selain pihak percetakan mempunyai kepentingan sendiri (bukan hanya menerbitkan koran), keterbatasan plafon dana yang ditetapkan bagian keuangan membuat pilihan terbatas.

Redaksi menuntut sistem yang keseluruhannya menggunakan PC (personal computer) karena itulah trend yang sedang digunakan penerbit-penerbit dunia maju. Pada saat itu sistem tersebut masih sangat mahal.

Akhirnya pihak percetakan berjalan sendiri dengan membeli System-6, produk Inggris yang dibuat di Jerman. Mengingat pengoperasian sistem ini melibatkan redaksi, percetakan minta redaksi mengirimkan wakil untuk dilatih di Inggris selama sebulan.

Pada tahun 1985 saya dan Luis Ishwara ditunjuk mewakili redaksi (dari segi proses produksi) untuk mengikuti pelatihan tersebut. Dengan sistem ini, wartawan diharapkan bisa langsung mengetik seukuran kolom yang mereka kehendaki. Hasil ketikannya setelah diedit redaktur, bisa langsung dicetak dan ditempel sesuai layout halaman. Dari sini proses tinggal selangkah lagi sebelum dicetak yaitu membuat film dan pelat cetakan.

Idealnya proses ini akan memotong lingkaran produksi namun ternyata mubazir. Kendala utamanya,  komputer System-6 ini harganya mahal dan terlalu banyak kode yang harus dibuat sebelum wartawan mengetik di komputer sehingga tidak praktis. Teknologi ini akhirnya tidak dimanfaatkan maksimal, walau pada saat itu di beberapa desk sudah dilengkapi dengan komputer tersebut.

Akhirnya yang menggunakan hanyalah redaktur sunting dan layoutman untuk membuat judul berita, serta  mengkonversi  bentuk  ketikan halaman (WS4) menjadi kolom.

Walau pengenalan System-6 ini bisa dikatakan tidak optimal namun di sinilah mulai ada gerakan menulis berita dengan komputer. Beberapa wartawan (terutama wartawan muda), meninggalkan mesin ketik dan beralih ke komputer. Kantor pun memfasilitasi dengan menyediakan desktop dan menyelenggarakan pelatihan program WS4.

Pelatihan diadakan di kantor dan dikoordinasi oleh Sekretaris Redaksi Haji Azkarmin Zaini. Awalnya diadakan pelatihan untuk redaktur dan produksi dengan harapan mereka menularkan ke tingkat di bawahnya.

Namun akhirnya diadakan pelatihan untuk para wartawan, pelatihnya Azkarmin,  Raymond Toruan, dan saya dari bagian produksi. Namun jujur saja, walau sudah dilatih terlebih dahulu namun tetap saja saya tidak tahu bagaimana mengoperasikan WS4 itu. Jadi kalau ada yang tanya, saya buru-buru panggil Azkarmin atau Raymond.

Awalnya tidak banyak yang tertarik dengan penggunaan komputer, hanya beberapa anak muda. Celakanya, para redaktur (biasanya senior) justru tak banyak yang ikut pelatihan. Akibatnya, pernah terjadi seorang redaktur malam melemparkan disket  seorang wartawan yang diberikan padanya, “Saya nggak butuh ini, print dulu!”.

Walau prosesnya berjalan pelan namun pada tahun 1990 semua wartawan sudah meninggalkan mesin ketik. Satu hal yang mengherankan, hingga tahun 2003 masih ada saja yang tetap menggunakan program WS4. Ini berarti program tersebut bertahan lebih dari 10 tahun.

Penggunaan komputer oleh wartawan memang sangat mempengaruhi proses produksi. Dengan cara ini, proses pengetikan naskah yang memerlukan banyak waktu jadi terpotong. Selain itu pengubahan naskah atau koreksi menjadi sangat cepat, tidak harus berganti-ganti tangan.

Di sini peran korektor berita (proof reader) semakin menghilang karena senakin sedikit naskah yang harus dicocokkan dengan aslinya. Dan pada akhirnya produksi berbasis komputer inilah yang hingga kini digunakan oleh Redaksi Kompas.

Pada tahun 1990 sistem produksi Kompas mulai menggunakan jaringan, berbasis Novel. Dengan sistem ini tulisan wartawan dapat dikoreksi langsung oleh redakturnya tanpa harus menyerahkan disket. Redaktur bisa langsung “memanggil” dan mengerjakan tulisan wartawannya melalui komputer. Hanya saja sistem ini sebenarnya masih setengah jaringan sebab proses akhirnya masih menggunakan System-6.

Naskah yang ditulis dengan program WS4 harus dikonversi dan dibentuk menjadi galley (kolom) melalui System-6. Penyunting pun mengoreksi  dengan peralatan  System-6. Hasil koreksian yang dicetak per kolom, ditempel menjadi halaman koran sesuai rancangan layout.

Baca Juga: Asal Muasal Kompas [1] Pintu Besar Selatan

Akhirnya System-6 ini jebol juga karena peralatan tidak ditambah (konon sudah tidak diproduksi lagi, bahkan pabriknya tutup) sementara penggunaannya tidak mengenal hari libur. Pada saat itu (1994) Kompas membentuk organisasi Teknologi Informasi yang dipimpin Joseph Widodo. Dengan bantuan beberapa tenaga dari Bagian Pracetak PT Gramedia, Kompas pada tahun 1995 menggunakan Macintosh.

Di sini tenaga layout yang semula bekerja dengan menggambar rencana, kini harus mengaplikasikan langsung rencananya tersebut ke Macintosh. Hasil akhirnya, setiap halaman bisa dicetak langsung oleh redaktur produksi, bahkan dari situ bisa langsung membuat filmnya.

Ketika naskah ini disusun pada tahun 2004, Kompas baru dua tahun memasuki era produksi baru yaitu sistem terpadu (integrated system), berbasis GN3, produk Italia. Dengan sistem ini, redaktur dengan bantuan pendisain, bisa langsung mengisi dan membentuk halamannya sendiri tanpa harus membuat kode-kode yang menyulitkan mereka.

Dengan sistem ini sebenarnya satu lagi proses kerja terpotong. Layoutman tidak diperlukan karena layout sudah disimpan dalam template komputer. Redaksi tinggal memanggil, model mana yang  hendak mereka gunakan.

Dalam perkembangannya, walau sudah lebih setahun berjalan, layoutman tetap diperlukan karena redaktur belum terampil mengoperasikan GN3.

Sistem GN3 ini menghilangkan pekerjaan korektor berita, selanjutnya muncul pekerjaan baru yang disebut penyelaras bahasa. Jadi kalau dulu korektor mengoreksi hasil input data (menyesuaikan dengan naskah asli) maka penyelaras bahasa mengoreksi tata bahasa yang digunakan para wartawan. Tujuannya, agar bahasa Kompas menjadi lebih baik dan baku.

Sistem terpadu ini tidak saja memudahkan Redaksi tetapi juga bagian Iklan. Petugas produksi Bagian Iklan bisa mengatur dengan cepat posisi iklan, termasuk iklan-iklan mini sehingga mempercepat proses kerja secara keseluruhan.

Logikanya, dengan menggunakan alat terpadu ini proses produksi menjadi lebih cepat dan Kompas tidak lagi terbit terlambat. Namun karena bisnis koran antara lain berbasis kekinian, mencari informasi yang terakhir, Kompas terkadang juga masih terlambat cetak.

Kemajuan teknologi berarti menghilangkan proses-proses produksi. Itu berarti memotong proses produksi dan itu adalah menghilangkan pekerjaan yang selama ini dikerjakan manusia. Pekerjaan menghadapi korban alih teknologi itu justru tidak sederhana, dan itulah yang harus saya hadapi.

**

Alih teknologi dari manual ke komputerisasi di redaksi, khususnya pada proses produksi, menghilangkan beberapa pekerjaan. Itu berarti banyak tenaga yang tidak lagi mempunyai pekerjaan, dan itu terjadi di bagian tata wajah, wilayah pekerjaan saya.

Saya yang selama ini diajarkan untuk selalu terbuka pada perubahan, tidak sadar bahwa  alih teknologi tersebut menggelisahkan semua anak buah saya, korektor dan layoutman. Saya tidak sadar bahwa dengan penjelasan saya mengenai proses produksi masa depan, membuat mereka takut kehilangan pekerjaan.

Tanda-tanda ketidaksukaan itu muncul sepulang saya berlatih di Inggris akhir tahun 1985. Apa saja yang saya lakukan dibantah dan tidak dipatuhi lagi, mereka tidak suka alih teknologi tersebut. Hal itu diperparah dengan sikap beberapa wartawan yang ingin menjadi pahlawan, mengompori agar mereka menolak sistem baru tersebut.

Tugas saya untuk melatih mereka pun semakin tidak ditanggapi dengan sikap positif. Apalagi tidak ada penjelasan dari pihak berwenang, bagaimana nasib mereka setelah pekerjaan mereka diambil alih mesin.

Ada saja yang menjadi pokok persoalan, tuntutan kenaikan gaji, menggugat jam kerja terutama penghitungan uang lembur, dan hal-hal lain yang kebanyakan tidak berada dalam kewenangan saya. Apalagi saat itu sedang terjadi perubahan sistem remunerasi di Kompas, sehingga kesalahan bisa saja terjadi. Namun mereka tidak pernah mau tahu karena sebenarnya akar masalah bukan pada tuntutan itu tetapi pada dampak alih teknologi yang mengancam mereka. 

Puncak penolakan terjadi ketika suatu saat saya menegur agak keras kepada seorang korektor yang lalai mengerjakan tugasnya. Selesai jam kerja, ia menghadang saya dan menantang duel di mana saja. Tentu saja saya tidak melayaninya namun dalam perjalanan pulang saya menangis keras-keras di dalam mobil, kenapa hal ini bisa terjadi?

Ketika saya diperbantukan ke luar Kompas, walau alih teknologi terus berlangsung namun peran korektor tidak dihilangkan (walau pekerjaan jauh berkurang). Mereka yang memenuhi syarat dimutasi jadi layoutman, ada juga yang  minta mutasi ke bagian lain. Namun umumnya tetap bertahan.

Celakanya, pengalaman menangani dampak alih teknologi ini berulang ketika saya kembali ke Kompas dan menjabat sebagai wakil sekretaris redaksi. Pada tahun 2002 Kompas memasuki era produksi baru yaitu sistem terpadu (integrated system), berbasis GN3, produk Italia.

Dengan sistem ini, redaktur dengan bantuan pendisain, bisa langsung mengisi dan membentuk halamannya sendiri. Dengan sistem ini layoutman tidak diperlukan karena layout sudah disimpan dalam template di komputer. Redaktur tinggal memanggil, model mana yang  hendak dipakai.

Sekali lagi saya kebagian menangani korban alih teknologi ini. Kali ini jauh lebih ringan karena mereka sudah mengerti bahwa perkembangan teknologi tidak bisa dibendung dan saya bukanlah atasan langsung mereka. Selain itu jalan keluar bagi mereka sudah disiapkan: kepada para layoutman dan korektor yang tersisa ditawarkan pensiun dini atau menerima alih tugas ke mana pun di lingkungan Kompas.

Beberapa yang sudah berusia di atas 50 tahun umumnya memilih untuk pensiun dini dengan alasan tidak bisa lagi mengikuti perkembangan teknologi. Mereka yang bersedia dimutasi, ditempatkan di berbagai tempat: sekretariat redaksi, sekretariat dana kemanusiaan Kompas, penerbit Kompas, dan sebagainya. Walau nampaknya mudah, namun  ada saja bagian yang tidak mau menerima orang tertentu sehingga saya harus mencarikan pekerjaan ke mana-mana. Untunglah akhirnya semua tersalurkan.

(Bersambung)

Mamak Sutamat, wartawan purnatugas Harian Kompas 1970-2004.

***

Tulisan sebelumnya: Asal Muasal Kompas [16] Percetakan Gramedia, Palmerah yang Dipilih