Hikayat Kali Code [4 ] Apotheek Van Gorkom , Produk Farmasi yang Dihasilkan

Masih cukup banyak jenis obat-obatan yang ditawarkan Van Gorkom. Silahkan diteliti sendiri, tentu dengan senyum-senyum kecil terkulum.

Selasa, 12 Januari 2021 | 07:05 WIB
0
300
Hikayat Kali Code [4 ] Apotheek Van Gorkom , Produk Farmasi yang Dihasilkan
Iklan pada masa lalu (Foto: Istimewa)

Beruntung saya menyimpan sebuah Almanak Djawi Tahun 1936, terbitan Kolff-Bunning Djokja. Sayangnya nyaris semua teks-nya beraksara Jawa, walau saya bisa membacanya. Tentu saya butuh figur seperti Pakdjo agar bisa lebih cepat dan titis membacanya. Hurufnya terlalu kecil untuk ukuran mata saya yang makin rabun, apalagi ukurannya buku saku. Sempurnalah kegagapan saya!

Uniknya, buku tersebut memuat advertensi dalam bahasa Melayu-Pasar yang justru menjadi lingua franca untuk semua orang. Dalam advertensi sebanyak 16 halaman itu, diiklankan berbagai macam produk farmasi dan kesehatan yang tampaknya sampai hari ini pun masih akan tampak mahal dan berkelas. Bukan saja, karena kemasannya yang terlalu "cantik", tapi copy writer, teksnya sungguh aduhai. Bercerita dengan bahasa yang sangat luwes dan mudah dipahami.

Saya menduga, pada golongan masyarakat kelas atas akan membelinya sebagai simbol status. Lalu mereka akan membeli dan menyimpannya di "lemari obat" yang indah ada di rumahnya.
Bandingkan, dengan masa sesudahnya. Semasa kemudian dimana setiap rumah yang hanya menyimpannya di "kotak obat" yang praktis.

Dalam penjelasan masing-masing obat yang ditawarkannya, rata-rata memang menggunakan merek "kloearan Van Gorkom Djokjakarta". Saya menduga sesungguhnya tidak semua, produk tersebut dibuat di kota ini. Jelas mereka memiliki jaringan produksi yang cukup luas untuk kemudian bertindak sebagai distributor, sekaligus memiliki hak khusus untuk menggunakan merek "Van Gorkom". Menunjukkan bahwa kelas Apotheek Van Gorkom cukup bergengsi dan memiliki kredibilitas tinggi di masa tersebut.

Baiklah, kita mulai satu persatu saja jenis-jenis produk yang mereka produksi. Tentu tidak semua akan saya bahas, tapi silahkan dicermati pada seluruh gambar yang saya unggah.

Pertama, Arseen-Staal. Sejenis obat kurang darah. Ditujukan untuk orang yang bekerja terlalu berat. Tapi apa iya? Karena bila dilihat peruntukannya berbeda aturan pakai-nya baik untuk anak, dewsa, mapun orang tua. Saya tidak tahu apakah kurang darah dimakanai anemia, karena disebutkan untuk mengobati "moeka poetjat".

Kedua, Bloedwijn. Ini semacam "Anggur Tjap Orang Tua" untuk hari ini. Pada bagian deskripsinya ditujukan untuk menolak penyakit zenuwen. Barangkali yang dimaksud adalah senewen! Menunjukkan, bahwa pada masa itu senewen, atau mudah gusar atau gampang naik darah itu sudah umum terjadi. Obat ini juga dianjurkan untuk orang muda menambah nafsu makan.

Ketiga, Astma Relief Powder. Adalah sejenis rokok untuk mengobati sesak nafas. Ada to? Bukankah merokok justru penyebab sesak nafas! Barangkali bahannya bukan tembakau, tetapi cara terapi adalah dengan cara "dirokok", diisap sebagaimana rokok! Uniknya, untuk tujuan yang sama terdapat yang dijual berbentuk bubuk. Cara pemakaiannya dengan cara dibakar, lalu asapnya dihirup.

Sudah gak umum barangkali untuk saat ini.
Keempat, Santal Gorkom, nah ini obat yang sangat unik. Dideskripsikan sebagai: Isinja satoe capsul 10 tetes minyak toelen dari kajoe sandel kloearan dari Mysore". Maka di dalam 48 jam bisa menyembuehkan penyakit perempuan yang amat keras. Dan Tiada merusakkan "perabot kencing". Saya memilih tidak paham, karena sulit membayangkannya. Ada yang bisa membantu menjelaskan?

Kelima, yang cukup aneh di mata saya adalah barang yang disebut Suspensoir. Atau yang disebut "Kantong biji Kemaluan". Ini semacam ikat pinggang di bagian depannya terdapat kantong untuk mewadahi buah zakar. Sependek yang saya tahu, barang sejenis ini tak lagi populer. Tentu menarik untuk diperiksa lagi, kenapa saat itu sedemikian dibutuhkan? Dan bila melihat harganya bervariasi, tentu "Si Biji" ukurannya berbeda-beda.

Keenam, Damiana Elixir. Obat yang berguna bagi laki2 yang dianggap "koerang koeat sjahwatnya". Harganya satu botol cukup mahal yaitu 5 Gulden. Bandingkan dengan obat asma yang hanya 0,8 Gulden. Memang pemeo klasik itu berlaku sepanjang masa: "apa guna kaya raya, jika batang sendiri tak bisa ditanamkan". Bagian menariknya adalah penggunaan kata elixir yang salah kaprah hari ini hanya dipahami sebagai obat batuk.

Padahal artinya berbeda menurut perkembangan zaman. Oleh para ahli abad pertengahan dimaknakan sebagai zat cair yang diharapkan dapat mengubah logam menjadi emas dan dapat memperpanjang kehidupan tanpa batas. Lalu kemudian berkurang maknanya sebagai obat yang serbaguna untuk menyembuhkan segala penyakit; Dan terakhir dalam industri farmasi dianggap sebagai ramuan untuk menyiapkan obat seperti larutan dengan gula, etanol, atau bahan lain.

Ketujuh. Produk bermerek "Dewa". Namun dengan kegunaan yang beragam. Barangkali ini salah satu bukti bahwa Van Gorkom adalah distributor, sedangkan "si pabrik aslinya" adalah entitas bisnis lain. Lini produksinya sangat luas mulai Eau de Cologne (minyak pengharum tubuh), Castrorolie (minyak jarak), Laxeerstroop (sirup pencahar), Maagpillen (obat sakit perut), Ouwels (obat influenza), dan Poeder yang dibedakan jadi obat sakit panas dan sakit cacing untuk anak-anak. Poeder ini barangkali hari ini yang diterjemahkan sebagai puyer atau obat racikan.

Industri farmasi yang sama juga memproduksi "Dewa Zalf". Mungkin maksudnya salep, yang lagi-lagi dibedakan menjadi dua jenis. Untuk dengan kode A ditujukan untuk mengobati penyakit sipilis, sedangkan dengan kode B untuk mengobati luka. Dewa juga memproduksi obat yang verterskings-pillen (pil pencernaan), dengan tujuan mencegah malaria dan agar bada tetap fit. Aneh ya, apa hubungannya!

Kedelapan, Van Gorkom juga memproduksi "obat ramboet", menunjukkan bahwa kasus rambut rontok bagi perempuan atau kebotakan kepala pada masa tersebut sudah menadi perhatian serius sejak lama. Pabrik ini mendaku obat tersebut sebagai "soedah bertahoen mendapat poejian dan disoekai orang karena bisa memenuhi maksoed si pembeli". Kalimat advertensi yang sungguh santun dan halus sekali....

Kesembilan, apa yang disebut "mercurochrome". Istilah ini masih akrab di telinga saya hingga usia 12. Ibu selalu mengatakan untuk menyebut "obat merah" untuk mengobati luka yang terbuka. Akibat jatuh atau terkilir. Yang umumnya dikemas dalam botol hijau dengan tutup gabus coklat. Uniknya dalam deskripsnya obat ini dipromosikan sebagai lebih ampuh dari "Jodiumtinctuur". Dianggap memiliki kelebihan tidak berasa panas, tidak bikin pecah kulit, dan dipakainya lebih irit.

Kesepuluh, apa yang disebut sebagai "aer haroem" untuk menyebut minyak wangi. Hari ini orang lebih mengenalnya dengan istilah parfum. Diiklankan sebagai "harum baunya dan bisa tahan lama. Baik juga dipakai untuk rambut, sapu tangan dan untuk campuran air mandi". Melihat keluasan manfaatnya kok saya malah jadi ragu apakah ini parfum sebagaimana yang kita kenal hari ini. Jangan-jangan ini sejenis pewangi multi fungsi dan aplikasi.

Masih cukup banyak jenis obat-obatan yang ditawarkan Van Gorkom. Silahkan diteliti sendiri, tentu dengan senyum-senyum kecil terkulum.

Bagian terpenting dari iklan ini adalah bahwa obat-obatan dan produk farmasi ini bisa dipesan dengan ongkos kirim tertentu. Bagian yang luar biasanya, harganya cuma dibedakan dua kawasan saja untuk Jawa-Madura dan Luar Jawa saja. Gak seribet hari ini, beda kota saja sudah beda harga per-kilonya. Coba hari ini diterapkan lagi, simple!
Saya tentu bangga sebagai pribumi Jogja.

Bahwa di tahun itu, Jogja sudah bisa memproduksi obat-obatan yang cukup lengkap dan beragam. Sedihnya, tak pernah ada riset mendalam tentang hal ini. Para peneliti yang agung itu, maupun pemerintah daerah hanya melulu berbicara tentang fisik bangunan saja sebagai cagar budaya. Now and then, dulu dan sekarang. Tak pernah mau sedikit repot, menelisik apa saja sih produk peradaban yang pernah dihasilkan kota ini?

Apalagi kalau itu, bila dianggap produk kolonial. Yang secara picik dianggap sebagai "penjajah" itu!

Membuktikan bahwa nasionalisme itu barang usang, kalau konteksnya masa lalu. Dan akan semakin jatuh harga dan semakin kontekstual jika hanya digunakan untuk mengejek dan mengutuki masa lalu. Nasionalisme itu punya harga, justru bila dimanfaatkan untuk menatap masa depan. Berani bersaing dalam kancah global, dan tak hanya sekedar jago kandang!

Lah, orang yang suka bilang dengan sombong: "Mendaku semua-mua, dengan bilang semua adalah bumi Allah. Tidak salah, tapi peradaban apa yang mereka impikan lalu mereka wariskan?"

NB: Mbesuk masih bersambung di bagian tiga tentang Van Gorkom ya! Maaf jika membosankan masih disini2 saja, lah kalau gak saya tuliskan. Memang ada yang sudi? Semua foto advertensi dalam Almanak Djami 1936 terbitan Kolff-Buning Djokha adalah koleksi Indonesia Early Visual Dokumentary (IEVD).

***

Tulisan sebelumnya: Hikayat Kali Code [3] Kassian Chepas, Fotografer Bumiputera Pertama