Cephas berkarya cukup lama selama 34 tahun (1871-1905), karena ia pensiun sebagai fotografer pada usia 60 tahun.
Apa yang paling ingin saya soroti dari Cephas, dalam kaitannya dengan ke-Code-annya?
Ia ibarat Kali Code itu. Untuk ukuran hari ini, ia tampak dangkal, berarus pelan, tapi memiliki energi besar untuk mencatat.
Ia tidaklah seperti fotografer Tan Tjie Lan yang sesungguhnya adalah seorang "China-Batavia" yang memiliki imajinasi nakal. Tjie Lan pernah beberapa waktu tinggal di Jogja, memiliki studio foto yang kerap menggunakan background atau setting yang "aneh-aneh". Ia membuat serial foto di mana para pangeran kraton, berfoto naik pesawat-pesawatan. Tampak lucu, mbeling dan tetap jenial bahkan untuk ukuran hari ini.
Dari sinilah kita memahami Cephas sebagai seorang pribumi pertama yang diajari fotografi. Ia adalah seorang yang dibesarkan dalam tradisi Zending Kristen (banyak yang salah istilah sebagai missionaris, yang padahal adalah Katolik Roma). Semasa muda, ia menjadi murid dari seorang pengabar inil Protestan bernama Christina Petronella Philips-Steven dan ikut dengannya ke Bagelen, Purworejo. Di tempat ini, ia dibaptis tanggal 27 Desember 1860 pada umur 15 tahun.
Pilihan namanya adalah nama Cephas, sebuah nama yang asing. Karena memang berasal dari bahasa Aram berarti Santo Petrus. Petrus adalah seorang dari dua belas rasul Yesus dan Paus pertama umat Kristiani.satu dari 12 rasul. Paus kemudian diangkat sebagai Paus, petinggi agama ini yang pertama. Artinya sejak awal ada kesadaran menjadikannya sebagai "yang pertama". Dalam konteks lain Petrus berarti juga "batu karang", yang mengisyaratkan bahwa Yesus meletakkan landasan gereja-Nya di atas Petrus.
Yah batu karang, barangkali lebih tepatnya batu kali. Ia adalah seorang fotograger yang straight, "apa butuhe wae". Ia adalah seorang dokumentator dan perekam sejati. Ia bukanlah sebagaimana Anne Lebowitz yang nakal atau Ren Hang yang liar di China, yang bisa membuat ekspresi yang sangat imajinatif, di luar nalar dan membuat penikmatnya pusing tujuh keliling.
Kalau dalam gaya bercinta, Cephas memang pelaku model "missionaris". Ya mung ngunu-ngunu wae, ora aneh-aneh. Ia bukanlah seorang narsis, yang suka selfie. Terbukti satu-satunya foto dirinya tidak terlalu. Bahkan foto dirinya pun sudah nyaris rusak dimakan waktu. Hablur dan keropos, walau justru kemudian menunjukkan sisi lain keartistikannya.
Rasah duka loh, mbah. Nak mung dinyeki putu buyutmu...
Ada tiga orang yang paling berjasa pada karier Mbah Cephas, adalah Simon Willem Camerik, Sultan Hamengkubuwana VI, dan Isaäc Groneman. Camerik adalah anggota Schutterij, seorang milisi berpangkat Letnan Dua yang tinggal di Yogyakarta sekaligus seorang fotografer Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ia lah yang pertama kali memperkenalkan dunia fotografi kepada Cephas. Ia jugalah yang memberikan akses ke lingkungan Kraton Yogyakarta, hingga Ngarsa Dalem Kaping VI sangat menghargai bakat dan dedikasinya.
Pada tahun 1871, ia diangkat sebagai fotografer resmi Kraton Yogyakarta.
Namun orang yang paling berjasa menduniakan Cephas adalah Isaac Gronmean, seorang filantrope yang memiliki kecintaan yang luar biasa pada kebudayaan Jawa (dan juga Sunda, sic!). Ia memang memulai kariernya di Bandung, tapi menemukan passion terbesarnya justru di Yogyakarta. Ialah orang yang mendorong Cephas melakukan pameran fotografi pertama sebagai seorang pribumi. Karyanya dipamerkan kepada masyarakat tahun 1888 pada publikasi buku "In den Kedaton te Jogjakarta" karya Isaäc Groneman. Buku ini memasukkan 16 karya cetak datar collotype yang memuat tarian Jawa.
Mungkin tampak sederhana, tapi untuk meminta izin memotret berbagai fragmen tari dari lingkungan Njeron Benteng bukanlah perkara mudah. Groneman perlu meminta izin khusus dari Hamengkubuwana VII, untuk membolehkan Cephas memotret beberapa adegan tarian. Hal ini dengan tujuan membangkitkan minat budaya Jawa kepada kalangan pembesar Belanda. Kelak sebuah buku beludru biru bersampul emas dan berlian berisi foto-foto pertunjukan itu dihadiahkan pada saat pernikahan Ratu Wilhelmina dan Pangeran Hendrik di Belanda pada tahun 1901.
Pada saat ulang tahun Ratu Wilhelmina ke-21, setahun sesudahnya, Cephas berhasil mendapatkan medali emas kehormatan dari Ordo van Oranje-Nassau atas jasa-jasanya dalam memotret dan melestarikan budaya Jawa. Prestasi yang juga cukup tinggi diperoleh dari kiprahnya memotret kunjungan Raja Thailand Chulalangkorn ke Yogyakarta. Sebagai ungkapan terima kasih, Sang Raja Thailand menghadiahkannya sebuah kotak berisi tiga kancing dari batu permata.
Cephas memang beruntung punya tandem Groneman. Duo ini adalah motor utama yang berupaya mendokumentasikan nyaris semua wajah yang hari ini menjadi "obyek pariwisata terpenting" di Yogyakarta. Mulai dari Kraton dengan segala pernik bangunan, tarian, pusaka, raja dan keluarganya, para bangsawan, apa pun. Keduanya terakhir bekerja bersama-sama pada 1899 untuk mendokumentasikan peringatan pengangkatan HB VII sebagai Putra Mahkota Kesultanan. Persiapan acara dilangsungkan selama satu setengah tahun, dan pertunjukan selama empat hari menyedot perhatian dari 23.000 hingga 36.000 orang.
Bagi saya sebagai wong cilik, ia adalah dokumentator paling lengkap terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat Jogja. Ia memotret orang main judi, pedagang kaki lima, orang sedang ngeteh nasgitel (hooh po?), orang sedeng metheti kutut (bermain burung perkutut). Maupun banyak profesi yang ada, seperti mbok gendong, pembuat keris, pemintal benang, pembatik, apa saja yang bisa ditemui dalam kehidupan sehari. Hal-hal yang di hari ini dianggap tidak penting, karena orang sibuk ber-selfie yang hanya berakhir sebagai sampah peradaban jaman.
Ia juga mendokumentasikan nyaris setiap detail relief candi-candi di sekitar kota ini terutama dua situs World Heritage-nya Borobudur dan Prambanan. Juga Pantai Selatan, dimana gerbang Kraton Ratu Kidul berada maupun puncak Merapi yang dianggap kediaman Penguasa Gunung Berapi paling galak itu.
Artinya, jika hari-hari ini Pemprov DIY sedang giat, melakukan dokumentasi tentang garis imajiner itu. Mbah Cephas sudah melakukan lebih dari 120 tahun yang lalu. Lengkap selengkap-lengkapnya, bahkan sampai Gua Langse dan Pesanggrahan miliki Dr. Wahidin Sudirahusada di kawasan pantai Selatan. Dirunut ulang saja, apa salahnya.
Gak punya fotonya? Ada tuh yang punya lengkap!
Dalam konteks kiprahnya di dunia fotografi, Cephas menjalani dua kurun masa yang berbeda. Pada mulanya, ia sesungguh hanya tukang ketika teknik cetak masih bersifat collotype. Proses fotografi berbasis dichromate yang diciptakan oleh Alphonse Poitevin pada 1856, dan digunakan untuk pencetakan mekanis berskala besar sebelum pengenalan litografi offset yang lebih "murah". Hitungan murah ini perbandingannya adalah teknik litografio yang memang lebih rumit, lama, dan mahal. Makanya ia tak boleh terlalau banyak "nggaya berkreasi", hawong muahalll....
Pada masa itu, ia hanya bisa memproduksi foto apabila mendapat sponsor dari KITLV. Barulah ketika teknik fotografi lebih maju, Cephas membeli kamera baru tahun 1886 yang memungkinkannya memotret 1/400 kali dalam satu detik. Dari sinilah ia mulai membangun stusio foto sendiri, dan secara bisnis mulai berhasil.
Inilah era, dimana ia punya karya secara independen dalam tersedia dalam banyak media: baik itu karya foto untuk difigura dan menempel di dinding, postcard atau ilustrasi buku. Dan terutama membuat foto-foto memorabilia, sebagai umumnya tanda perpisahan kepada kalangan elit Eropa saat mereka meninggalkan Yogyakarta untuk kembali ke Eropa dan kenangan kepada para pegawai Belanda-nya.
Studio fotonya terletak di Loji Kecil Wetan, menempati bangunan paling megah di jalan itu. Ruang kerjanya berada di lantai dua, dari bangunan berlntai tiga. Ia memiliki rumah khusus di pinggir Kali Code, untuk rehat beristirahat bila lelah dan jenuh sehabis bekerja. Dalam peta Plattegrond Djogjakarta tahun 1897, tempatnya berkarya ditandai secara singkat sebagai "Atelier Fotografie". Atelier itu adalah istilah elitis untuk menyebut studio, kira-kira "studio paling bergengsi". Jadi kalau ada yang bangga punya studio, masih kalah kelaslah sama Mbah Cephas. Halah!
Cephas barangkali juga bumiputra pertama yang diangkat sebagai anggota luar biasa Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen atas hasil pekerjaannya sebagai "fotografer dan praktisi arkeologi Hindia". Sejenis Akademi Kebudayaan paling elitis yang pernah ada di Hindia Belanda, yang warisan terpentingnya adalah Museum Nasional di hari ini. Ia diangkat setelah menyelesaikan proyek Karmawibhangga Borobudur. Beberapa tahun kemudian, ia dicalonkan sebagai anggota KITLV sebagai penghargaan dari hasil kerjanya dengan Archaeologische Vereeniging.
Ia lahir, berkarya, dan meninggal di tempat yang sama. Sesuai yang dituliskannya pada catatan biografinya sebagai Kasultanan Ngayogyakarta Hadingrat. Ia lahir 15 Januari 1845 dan meninggal pada 16 November 1912 pada umur 67 tahun. Cephas berkarya cukup lama selama 34 tahun (1871-1905), karena ia pensiun sebagai fotografer pada usia 60 tahun. Ia menikah dengan Dina Rakijah seorang perempuan dari Tegal di Gereja Margamulya, dekat Ngejaman. Dan dikaruniai lima orang putra Naomi, Sem, Fares, dan Jozef. Satu orang lainnya Jacob meninggal setelah dilahirkan.
Hanya Sem yang mewarisi dan membantu ayahnya. Mula-mula ia bertindak sebagai pembuat gambar, namun kemudian juga memotret. Penanda beda keduanya, pada karya foto keduanya. Hanya inisial K dan S saja, bukan di depan tapi kadang di belakang kata Cephas. Jika K itu ayahnya, jika S maka karya anaknya. Walau terkadang sangat sulit membedakan mana karya ayah dan anak ini, karena yang sering keduanya hanya mencantumkan nama Cephas saja.
Sayang Sem meninggal dua tahun setelah ayahnya tutup usia. Kassian sebagai ayahnya juga meninggal setahun setelah istrinya meninggal. Typical sekali laki-laki Jogja, yang mudah kehilangan daya hidup ketika ditinggal meninggal istri yang dicintainya. Sejak itu studio fotonya kukut, tutup untuk selamanya. Tak ada lagi pewaris yang meneruskannya....
Mula-mula keluarga ini dimakamkan tak jauh dari rumahnya, di Kerkhof Lodji Kecil. Namun ketika di atas pemakaman ini akan dibangun Apotheek van Gorkom, kubur mereka dipindahkan di Sasanamulya yang sekarang terletak di Dipowinatan (belakang THR atau Purawisata hari ini). Jika ingin berziarah makamnya terletak di blok JJ no 47 dan sekarang menjadi blok H. Bagi saya, ia memang hidup dan meninggal tak pernah jauh dari Kali Code, denyut nafas dan sejarahnya adalah denyut kali ini.
Ia tak meninggalkan jejak foto keluarganya, bahkan foto dirinya (yang brangkali dibuat sang anak) dilakukan pada saat ia sudah sangat uzur. Dengan kumis dan jenggot putih memanjang yang bak rahib itu...
Hal ini agak aneh, karena ia sangat makmur, karena karya fotonya dihargai sangat mahal. Hingga ia mengalami masa-masa kemakmuran yang penuh kemewahan. Dan untuk itu Cephas pun sempat mengajukan diri dan keluarganya untuk diproses Gelijkgesteldagar status hukum mereka disamakan dengan orang-orang Belanda atau Eropa. Agar memiliki status hukum yang sama dengan orang Belanda tentunya bisa menguntungkan kedua anaknya jika masuk ke dalam kehidupan kolonial. Termasuk memasukkan anak ke sekolah bermutu di zaman itu.
Tapi rencana tinggal rencana! Saya tak tahu kemana harus melacak jejak sejarah keluarga ini. Salah satu hal yang sangat ingin saya lakukan. Walau sesungguhnya saya sudah cukup senang dan bangga bisa menjadi salah satu kolektor dari foto-foto yang ditinggalkan. Setidaknya di Jogja jejaknya masih terpelihara dengan baik. Bila melihat jepretan foto karya sahabat saya Dwikoen Sastro belum lama, dengan caption yang sederhana: "Tembok dan daun pintu sisa rumah Kassian Cephas di Ledok Ratmakan."
Lalu kita harus dengan berat menghela nafas. Beginilah ia mencatat sejarah, dan kemudian waktu berbalik mencatatkan dirinya....
***
Tulisan sebelumya: Hikayat Kali Code [2] Loji Kecil, Rumah Besar yang Dianggap Kecil
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews