Loji Kecil hari ini sudah nyaris punah! Bukan saja namanya yang tersisa sebagai "ingatan kolektif", bangunan-bangunan yang ada sudah rusak tak tersisa.
Penyerapan kosa kata bahasa, itu tidak selalu dari rumpun yang besar terhadap yang kecil. Tapi juga berlaku sebaliknya. Pertanyaannya kenapa, dalam bahasa Jawa yang lebih populer adalah istilah "omah loji". Tapi tidak ada idiom "rumah loji" dalam bahasa Indonesia. Menurut saya karena "loji" adalah salah satu cermin inferioritas masyarakat pribumi Jawa terhadap warga Eropa yang memiliki rumah tembok besar, anggun dan megah.
Dalam kultur Jawa lama, ini ternyata sekali dalam tembang berjudul "Orek-Orek". Sebenarnya awalnya ini adalah tembang langgam Banyumasan. Sebelum "dicampursarikan", langgam tembang ini justru sangat populer dalam pergaulan tayub. Tradisi tayuban adalah tari pergaulan, yang selalu mengikuti berbagai acara sosial yang ada dalam masyarakat. Ada petikan yang menyebutkan kata loji, sebagai personifikasi sikap penerimaan hidup yang lebih sederhana dan bersahaja.
Orek-orek montor mabur, kula ndherek priyayi luhur
Ora butuh omah loji, butuhku tentreming ati
Ora butuh kae kae, butuhku mung nyambut gawe
Pancen ya ngono, man eman eman eman
Begitulah orang Jawa menunjukkan keinginan besar, namun dengan cara menafikkan. Suatu katarsis untuk lebih suka menyimpan keinginan, daripada mengubar-ubarkannya.
Loji tersebar luas sebagai terminologi bangsa Eropa. Ingat walaupun, secara resmi Indonesia dijajah Belanda, namun warganya berasal dari berbagai bangsa Eropa. Dalam Bahasa Belanda disebut "Loge", demikikian Perancis juga menyebut begitu. Mungkin berkognasi dengan Bahasa Inggris "Lodge".
Yang jelas dalam Bahasa Belanda artinya "Kantor atau markas". Hingga akhirnya orang pribumi menyebut Loji untuk setiap bangunan megah yang dipakai orang Belanda, baik itu sebagai kantor, markas militer, benteng maupun hunian.
Begitulah orang Jawa, ngawur dan nggugu karepe dewe itu sudah watak. Pokoke gampang lan penak....
Dalam konteks Yogyakarta, hal ini menjadi luar biasa unik. Karena penyebutan loji, secara merata dan tega (hehehe) tanpa batas-batas untuk menggambarkan seluruh "kawasan pemukiman pertama" bangsa Belanda di kota ini. Yang pada awalnya di bangun di sisi Barat tak jauh dari Kali Code. Pokoke "kabeh loji", raketang loro tetep siji. Walaupun banyak tetap saja satu.
Mari kita dedah, satu persatu.
Pertama, Loji Gede, loji tertua di Yogyakarta saat pertama kali dinamakan Benteng Rustenburg (artinya tempat istirahat). Namun kemudian diubah menjadi Benteng Vredeburg yang berarti "Benteng Perdamaian". Dibangun pada tahun 1776-1778, sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan residen Belanda kala itu. Benteng yang dikelilingi oleh parit (jagang) yang sebagian bekas-bekasnya telah direkonstruksi dan dapat dilihat sekarang.
Benteng berbentuk persegi ini mempunyai bastion (menara pantau) di keempat sudutnya.
Bagian yang unik dan tak pernah terkonfirmasi adalah, walaupun benteng ini menunjukkan "hegemoni kolonial" namun di keempat sudutnya bastion-nya. Justru Sri Sultan HB VI-lah yang memberi nama berbau Jawa. Berturut-turut Jayawisesa (sudut barat laut), Jayapurusa (sudut timur laut), Jayaprakosaningprang (sudut barat daya) dan Jayaprayitna (sudut tenggara).
Mungkin karena akulturasi yang baik dan politik perdamaian yang terjadi sejak lama, dibandingkan benteng saudara kembar-nya di Sala yang telah runtuh dan terengah2 untuk menemukan fungsi barunya.
Benteng Vredenburg menjadi salah satu benteng yang paling utuh dan terpelihara baik di Indonesia dan memiliki manfaat jauh hari sejak ia didirikan.
Kedua, Loji Kebon yang berhadapan dengan Loji Gede. Sekarang dikenal sebagai Gedung Agung atau Istana Kepresidenan. Bangunan ini didirikan tahun 1824 dan menempati lahan seluas 43.585 m2. Gedung utama kompleks istana ini mulai dibangun pada Mei 1824 yang diprakarsai oleh Anthony Hendriks Smissaerat, Residen Yogyakarta ke-18 (1823-1825) yang menghendaki adanya "istana" yang berwibawa bagi Residen Belanda. Dan yang dipilih untuk mendesaiannya adalah Anthony Payen, seorang arsitek sekaligus seniman lukis dari Belgia, yang ikut mengorbitkan Raden Saleh Bustman sebagai pelukis pribumi pertama berkelas dunia.
Jadi bila hari ini, Yogyakarta menjadi "ibukota seni rupa" Indonesia, jangan salah jejaknya juga sudah sangat panjang.
Istana ini tampak unik pada masanya, karena walau berpagar keliling. Ia dibiarkan tanpa pintu gerbang, menunjukkan bahwa situasi keamanan di kota ini memang berjalan dengan sangat baik. Kententraman memang menjadi ciri kuat, yang sudah sejak lama dibangun. Salah satu fungsi lain yang unik dari loji ini adalah tempat penampungan artefak patung-patung dari era Hindu-Budha yang ditemukan oleh masyarakat yang terserak di kawasan Vorstenlanden. Bahkan ikon utama gedung ini adalah sebuah Dagoba, atau pucuk candi yang ditemukan di daerah Cupuwatu, Sleman.
Ketiga, Loji Setan, pada mulanya digunakan perkumpulan Freemason sempat menjadi organisasi paling kesohor di Hindia-Belanda. Penggunaan kata "Setan" sebenarnya mengikuti atau latah dari gedung induknya di Batavia, yang dulu disebut Adhuc-Staat, yang kini menjadi Kantor Bappenas. Istilah "Setan" dipakai untuk menunjukkan kebencian terhadap perkumpulan ini, yang dianggap mendominasi gaya berpikir para vrijmetselaar (sebutan anggota Freemason), suatu organisasi internasional yang merahasiakan sebagian kegiatannya supaya memperoleh pengaruh besar.
Belakangan, justru Soekarno-lah saat Indonesia merdeka membubarkan perkumpulan ini. Karena dianggap "berpikir, bersikap, dan berperilaku" aneh. Dianggap suatu sindikat jahat yang setiap saat akan menusuk dari belakang. Salah kaprah dan sikap sinistik, sejenis inilah yang tampaknya akan terus mendera bangsa ini. Yang kadang diperburuk oleh gaya bertutur media, yang selalu membelokkan informasi pada hal-hal yang mistis. Padahal, gedung yang sekarang ini digunakan sebagai Kantor DPRD Tk. I Provinsi DIY kemanfaatannya jelas nyata dan berguna. Suatu warisan Fremanson yang tak terbantahkan.
Keempat, Loji kecil, adalah kawasan perumahan yang terletak sebelah timur Benteng Vredeburg. Sebenarnya merupakan kawasan pemukiman Belanda non-militer pertama yang ada di Yogyakarta. Jadi salah kalau dianggap ini adalah rumah-rumah untuk para perwira militer. Bukankah orang militer justru telah memiliki asrama yang cukup luas dan lengkap di dalam benteng. Loji Kecil memiliki dua bagian, Loji Kecil Kulon terletak persis di bagian Timur Benteng, sedang yang di seberanag yang sekarang bernama Jl. Mayor Suryotomo adalah Loji Wetan.
Inilah bentuk "omah loji" yang benar.
Karakter dan keunikan dari Omah Loji di Yogyakarta adalah ia tak memiliki halaman depan. Ia memiliki teras terbuka, dengan pot-pot besar sebagai hiasan. Halaman depannya ya jalan itu. Tanya kenapa? Barangkali hal ini untuk membangun citra dan kepercayaan bahwa warga Belanda ingin bersikap ramah pada penduduk pribumi.
Namun model ini dikoreksi ketika, dibangun pemukiman-pemukiman baru baik itu di Bintaran, Jetis, dan terakhir di Kotabaru. Karena tren yang berkembang mengadaptasi konsep kawasan Menteng di Weltevreden yang menggunakan kawasan "perumahan taman". Hal juga akhirnya ditiru oleh banyak kota besar lainnya.
Di kawasan Loji Kecil inilah, pertama kali terletak kuburan orang Belanda yang lazim disebut "Kherkof". Namun pada awal abad XX kuburan ini dipindahkan ke daerah Prawirodirjan (sekarang belakang THR/Purawisata). Kalau menilik tahun perpindahannya, saya pikir seteah 1920-an, karena Kassian Chepas pernah sesaat dimakamkan di Kherkof Loji Kecil ini, sebelum dipindakhkan ke makam yang sekarang bernama Sasanalaya itu. Setelah Kerkhof ini dibongkar, tanahnya digunakan untuk Apotheek van Gorkom.
Saya bisa bercerita banyak tentang tempat ini, plus keangkeran dan keajaiban-keajaiban yang terjadi di dalamnya. Karena saya pernah tinggal selama kurang lebih 10 tahun di kompleks dalam gedung ini. Karena ibu saya adalah salah satu PNS di Dinas Kesehatan DIY dan memperoleh salah satu dari dua rumah dinas yang ada di dalamnya. Untuk gedung ini saya akan bahas secara khusus dalam artikel berikutnya.
Terdapat beberapa ikon penting dari kawasan Lodji Kecil ini, yaitu Gedung Societeit Militaire yang dahulu jadi "club house" anggota militer yang tinggal di Loji Gede. Sekarang menjadi bagian dari kawasan Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Sewaktu saya kecil, sebagai "anak pasar" saya masih ingat, Gedung Societeit ini digunakan sebagai gudang buah oleh para pedagang di Pasar Sriwedari yang sekarang telah diruntuhkan.
Syukurlah, saat ini gedung ini dikembalikan ke fungsi aslinya dan tetap menggunakan nama yang sama. Saya pikir, inilah hebat dan besar jiwanya orang Jogja. Tetap mau melestarikan, dan tanpa mengubah nama!
Cek dan bandingkan di tempat atau kota lainnya....
Bangunan terindah yang konon menjadi ikon kawasan Loji Kecil adalah rumah fotografer pribumi pertama, Kassian Chepas. Ini adalah bangunan rumah berlantai tiga pertama yang ada di kota Yogyakarta. Sayang jejaknya hilang terhapuskan, karena sebagai "tukang potret" berdarah Jawa. Kelemahan Chepas itu hanya sebagai tukang, ia tak memiliki watak dokumentator. Untuk mendokumentasikan wajah dirinya dan keluarganya saja malas. Karya-karyanya justru selamat, karena dipelihara oleh para kolektornya.
Saya boleh sedikit bangga karena nyaris memiliki semua koleksi dari Chepas, baik dalam bentuk karya foto tempel didinding, postcard, maupun memorial book yang umum di zaman itu.
Bangunan yang relatif fungsinya tetap sama dan sedikit lestari adalah yang dulu disebut sebagai Hotel Djogja (catat ini milik pribumi, dan bukan Hotel Grand Djogja yang terletak di Malioboro itu) yang sekarang jadi Hotel Limaran di sudut Barat Laut Bangjo Gondomanan. Dan bagian yang mengherankan, walau masih tersisa beberapa rumah di Jl. Limaran yang bentuknya mendekati aslinya, namun tak ada satu pun bangunan yang ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya di kawasan Loji Kecil ini.
Loji Kecil hari ini sudah nyaris punah! Bukan saja namanya yang tersisa sebagai "ingatan kolektif", bangunan-bangunan yang ada sudah rusak tak tersisa. Bagian anehnya, justru gang-gang yang dulunya tanpa nama, yang berjajar lima itu sekarang punya nama-nama baru. Berturut-turut dari Selatan ke Utara: Jalan Limaran, Tilarso, Mojar, Pabringan dan Remujung.
Saya tidah paham, kenapa yang dulu bernaman Jalan Sandiloto sekarang dihapus jadi Jalan Pabringan. Mungkin memajangkan nama jalan dari Malioboro ke Suryotomo saja. Toh tak ada lagi rumah yang mesti dialamati di dalamnya.
Menelusuri Loji Kecil adalah merekam ulang ingatan masa kecil saya, bagaimana kalau istirahat sekolah saya sering nakal pulang ke rumah. Karena jarak antara SD Marsudirini dan Jl. Sandiloto tidaklah terlalu jauh. Anehnya tetangga saya, yang orang Chinese pedagang kelontong, anaknya teman sekelas saya setiap hari harus diantar jemput naik becak ke sekolah. Saya suka membonceng di belakang becak kalau pulang ke rumah...
Loji Kecil nyaris tak berjejak lagi, tapi merawat ingatan tentang dirinya sungguh asyik. Dulu sekali di tenggara Pasar Beringharjo ada pabrik es batu. Di pojok utara ada kandang Bis Baker, hingga di sebelahnya kampungnya dinamakan Bakeran. Sekarang punah, jadi pertokoan becah belah Progo. Dulu Pasar Sriwedari itu adalah pasar terjorok yang pernah ada di Yogyakarta.
Dulu ini, dulu itu....
NB: Ilustrasi kali ini saya pilihkan koleksi postcard Indonesia Early Viasual Documentary (IEVD) dari era 1890an, dua produksi Kunsthandel J. Sigrit Djocja sedangkan yang satu N.V. Toko Europa, Djogja. Masih sama semuanya adalah karya foto Chepas yang dipostcardkan.
Untuk itu mbesok saya akan menulis tentang Kassian Chepas, bagaimana ia hidup, berkarya dan akhirnya meninggal. Ia memilih tetap di sekitar Kali Code.
***
Tulisan sebelumnya: Hikayat Kali Code [1] Asal Usul Nama dan Arti Penting
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews