Berburu Buku-buku Lama

Setelah beberapa tahun jeda, teman saya itu kembali menawarkan buku-bukunya untuk saya beli. Mungkin dia melihat saya sering menulis tentang buku di Facebook.

Sabtu, 25 Januari 2020 | 20:33 WIB
0
205
Berburu Buku-buku Lama
Marshall McLuhan (Foto: Tempo.co)

Belakangan saya sering membeli buku-buku lama. Saya membelinya dari seorang teman. Dia menawarkannya melalui whattsapp. Dia mengunggah cover buku, kadang berikut daftar isinya, plus harganya. Harga sudah termasuk ongkos kirim.

Tidak semua buku yang dia tawarkan saya beli. Bila saya tertarik membeli satu buku, saya akan sampaikan bahwa saya tertarik membeli buku tersebut. Saya lalu mentransfer uang seharga buku dan dia akan mengirimkannya ke kantor saya. Saya tidak pernah menawar harga buku yang ditawarkannya.

Buku pertama yang saya beli darinya berjudul “Understanding Media: The Extensions of Man” karangan Marshall McLuhan. Ini buku klasik studi media yang terbit pada 1964. McLuhan melalui buku ini terkenal dengan teorinya “medium is massage.” Saya membeli buku itu beberapa tahun lalu, tetapi lupa tahun berapa persisnya. Saya pun lupa dengan harga berapa saya membelinya.

Buku ‘Understanding Media” berupa hard cover, tetapi tidak ada tulisan judulnya di sana. Judulnya ada di sisi samping buku. Buku itu kelihatannya sebelumnya milik perpustakaan. Ada stempel yang mencantumkan nama perpustakaan, nomor induk, tanggal terima dan asal buku. Akan tetapi, nama perpustakaannya ditipeks.

Bersama buku “Understanding Media”, saya beli pula buku “The Media: A New Analysis of The Press, Television, Radio and Advertising in Australia” karangan Keith Windschuttle yang terbit pada 1984. Buku ini merupakan studi ekonomi politik media di Australia.

Setelah beberapa tahun jeda, teman saya itu kembali menawarkan buku-bukunya untuk saya beli. Mungkin dia melihat saya sering menulis tentang buku di Facebook.

Baru-baru ini saya membeli beberapa buku lawas darinya. Buku-buku itu ialah “Pers dan Wartawan” karangan Mochtar Lubis, “Teologi Integralistik” karangan Nataniel Elake dkk, ‘Penghayatan Agama: Yang Otentik dan Tidak Otentik” karya AM. Hardjana, dan “Merantau ke Deli” karangan Buya Hamka. Buku-buku tersebut saya beli rata-rata Rp 100 ribu per buku.

Harga buku sebesar itu lebih murah bila dibandingkan harga buku di kios-kios buku bekas. Saya pernah membeli buku tipis, terjemahan tulisan Feurbach, satu dari dua guru Karl Marx, di kios buku Bekas Plaza Blok M, Jakarta, seharga Rp400 ribu.

Saya juga pernah membeli buku bekas “Nation in A Waiting” karangan Adam Schwarz yang terbit pada 1994 di kios buku bekas di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, seharga Rp200 ribu. Pun, saya pernah membeli buku “Koeli Kontrak Tempo Dulu” karangan Moh. Said yang terbit 1979 di pojok buku bekas Toko Buku Kinokuniya, Plaza Senayan, seharga Rp900
ribu.

Baru-baru ini saya melihat buku berjudul “Sejarah Suku-Suku di Sumatera Utara” di pojok buku lawas di Kinokuniya, Plaza Senayan. Saya tertarik dengan buku itu, tetapi urung membelinya saat itu karena harganya Rp2 juta.

***