Para "Kanca Winking" Sang Presiden

Istilah "kanca wingking" sendiri, sama sekali tidak merendahkan tapi justru menunjukkan cinta, peran, dan respek yang sangat tinggi suami terhadap istrinya.

Minggu, 9 Juni 2019 | 14:50 WIB
0
755
Para "Kanca Winking" Sang Presiden
Soeharto dan Ibu Tien (Foto: Brilio.net)

Dalam sejarah Indonesia modern, hanya ada dua rumus tentang istri para presiden RI. Maksud saya, bagaimana mereka memilih para "pendamping"-nya.

Rumus pertama, beristri banyak.

Tentu saja, kita tahu Sukarno satu-satunya Presiden flamboyan yang pernah kita punya. Tak akan pernah lagi, akan muncul figur ini di masa-masa datang. Kecuali satu, bila kita jatuh dalam sistem khilafah, di mana mungkin bukan saja disarankan tapi diharuskan presiden beristri empat sesuai syariahnya.

Pada masa Sukarno, kita hanya punya masa cukup pendek memiliki "the real ibu negara". Selanjutnya adalah bersliweran muka-muka cantik dan segar yang menjadi pendamping Si Bapak.

Hebatnya tak banyak yang mempermasalahkan secara terbuka, bahkan PKI sekali pun yang pada masa itu sebagai penentang nomer satu poligami hanya berani bisik-bisik tak pernah menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Sukarno.

Hal ini menunjukkan bahwa pada satu kurun, kita memang pernah sedemikian toleran mendukung poligami, tanpa embel-embel karena kewajiban agama, berdasar syariah, bla, bla, bla. Kita hanya, bisa diam, karena kita tak punya pilihan bagaimana cara bereaksi terhadapnya. Bahlul kan!

Rumus yang kedua, tentu saja beristri satu, setia, dan supporting.

Baca Juga: Antara Anak-anak Soeharto dan Soekarno, Jangan Ada Dendam Politik

Dalam kultur Jawa, konteks inilah ia disebut "kanca wingking". Terjemahan bebasnya teman di belakang, tapi bukan seperti itu. Ia tidak tepat di belakang punggung kita, ia mungkin sedepa di belakang tapi agak menyamping, di sisi mendampingi. Halah geografis banget.

Istilah "kanca wingking" sendiri, sama sekali tidak merendahkan tapi justru menunjukkan cinta, peran, dan respek yang sangat tinggi suami terhadap istrinya. Sayang sekarang, istilah ini sudah sangat jarang dipakai, seiring semakin ditinggalkannya penggunaan bahasa Jawa yang halus yang dianggap terlalu syahdu (istilah anak sekarang menye-menye) untuk diucapkan dalam keseharian.

Banyak istilah lain yang digunakan, mulai dari bojo, ini teks paling kasar. Yang agak halus istri. Artinya sama saja perempuan.

Yang jadi maknanya jadi jelek, bila kata bojo diucapkan sebagai mbojo. Yang pertama maknanya resmi atau istilah hari ini sudah muhrim-nya, tapi mbojo sebaliknya sekedar pacaran, selingkuh, nuruti hawa nafsu. Haram katanya!

Sedang kosa kata lain, yang suka dipakai dalam khotbah-khotbah sebelum dinikahkan atau malah sebaliknya pas mau cerai oleh para petugas KUA: garwa. Garwa selalu dianggap sebagai akronim sigaraning nyawa. Belahan jiwa, atau kerennya "soulmate".

Yang agak aneh dan sering terbolak-balik, adalah penggunaan kata istri dan garwa dalam dialog. Seorang penutur dalam konteks saya tidak boleh mengatakan garwa kula, tapi istri kula. Sebaliknya ia juga tidak pantas mengatakan istri panjenengan, harusnya garwa panjenengan. Sayang sekarang konteks seperti ini tidak dianggap penting....

Dalam konteks kanca wingking inilah, kita selalu ikut meratapi ketika seorang ibu negara berpulang. Ndilalah-nya banyak si ibu yang wafat duluan, meninggalkan si bapak. Bu Tien, Bu Ainun, dan sehari lalu Bu Ani. Dan publik memiliki reaksi yang sama, terutama kaum wanita yang pada mellow.

Wajar mereka bersedih, tapi tentu saja yang paling bersedih tak terkira adalah si bapak itu sendiri. Karena dalam kultur Jawa, ketiganya sama mereka kehilangan "pulung"-nya. Wis oncat pulunge. Apa itu pulung?

Sulit dijelaskan secara singkat, karena itu adalah perpaduan antara keberuntungan, kekuatan, kejernihan, kebertahanan.

Baca Juga: Iriana, Sang Ibu Negara Menjadikan Jokowi Bak "Elang Rajawali"

Intinya apapun yang dibutuhkan untuk tetap berkuasa secara immaterial. Hanya dalam kasus Gus Dur, ia yang wafat duluan, meninggalkan Ibu Sinta Nuriyah. Seorang figur yang saya pikir sangat luar biasa hebat, tabah, dan semeleh.

Bagaimana menjadi istri seorang populis sejati seperti Gus Dur, bagaimana ia bisa mudah saja menerima si suami tak pernah membawa pulang uang ke rumah. Habis hanya untuk dibagi-bagikan ke banyak pihak lain yang membutuhkan.

Apakah ia kaya raya, tentu saja tidak! Ia Presiden termiskin secara harta dalam sejarah Indonesia modern. Tapi kehalalan derma yang dibagikannya saya pikir paling dapat jaminan!

Sayang hingga hari ini, baru kenegarawanannya yang diakui secara formal, kepahlawan nasional-nya masih selalu terhambat di meja birokrasi karena urusan-urusan rivalitas yang gak mutu babar blas.

Akan halnya, bagaimana saya harus membuat catatan tentang wafatnya Ibu Ani Yudhoyono. Saya memilih tidak membuatnya. Sebagai orang yang sesisa umur membuat catatan tentang sepak terjang keluarga ini saya memilih diam!

Baca Juga: Ani Yudhoyono, "Saya Pasrah, tetapi Saya Tidak akan Pernah Menyerah"

Cukuplah saya sebagai warga negara menyatakan turut berduka. Saya tentu saja, tidak bisa bersikap abu-abu sebagaimana para wartawan: yang anut grubyug, lebai rame-rame membuat catatan baik-baik di ruang publik. Sambil menyimpan rapat cerita buruk di belakangnya. Menunjukkan bahwa kita selamanya memang "Indonesia" sekali!

Saya hanya ingin bilang beruntunglah mereka yang pernah memiliki istri yang berkarakter kanca wingking: rendah hati, cerdas, cantik, mriyayeni, mrantasi, luwes macak, pinter masak, gampang manak, ngerti sanak....

Pantesan tidak semua orang pantas jadi presiden!

***