Jika undecided voters yang 13,4 persen itu dibagi sama rata (ekstrapolasi), Jokowi tetap leading di angka 55, 99 yang merupakan hasil penjumlahan 49,2 dengan ekstrapolasi 6,7.
Real count KPU pada pukul 07.00 WIB hari ini Rabu, 1 Mei 2019, menunjukkan keunggulan pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin 56 persen dibanding pesaingnya Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di angka 44 persen. Angka yang bulat tanpa angka lain di belakang koma.
Perolehan suara 56 persen ini persis sebagaimana diramalkan Litbang Kompas saat merilis hasil surveinya Rabu, 20 Maret 2019, yang menggemparkan jagat politik Tanah Air. Bahkan seorang Denny JA, pemilik lembaga survei bernama LSI, "turun gunung" sekadar menghamburkan hujatan pada hasil survei Litbang Kompas hanya karena angkanya berbeda jauh dengan yang diharapkan survei LSI.
Survei Litbang Kompas saat itu sebenarnya masih menempatkan elektabilitas Jokowi di atas Prabowo, namun yang bikin gusar Denny JA yang sudah bukan rahasia umum sebagai bagian dari lembaga survei sewaan, angka survei Litbang Kompas ini bikin psikologi massa terganggu, yaitu 49,2 melawan 37,4 dengan yang belum menentukan pilihan sebesar 13,4.
Survei Litbang Kompas dilakukan melalui wawancara tatap muka dengan melibatkan 2.000 responden yang dipilih secara acak melalui pencuplikan sistematis bertingkat di 34 provinsi di Indonesia, dengan tingkat kepercayaan 95 persen, dan margin of error plus minus 2,2 persen. Ini standar penelitian yang harus dibuka kepada publik, apalagi untuk konsumsi media.
Namun yang membuat Denny JA bereaksi dengan membuat analisa di akun Facebook, keunggulan Jokowi tetap menerbitkan kecemasan di kubu Jokowi itu sendiri. Yang jadi penyebabnya, Harian Kompas dalam pemberitaan hasil survei itu menggambarkan Jokowi belum di angka psikologis 50 persen. Bagi Denny JA yang berharap kemenangan Jokowi di atas 60 persen adalah angka yang paling logis dan tentu saja aman buat keberlangsungan jualannya.
Baca Juga: Mbak Ninuk yang Sedang Ramai Diperbincangkan
Selain itu yang membuat Denny JA gusar, tren Jokowi digambarkan menurun hampir di semua kantong pemilih. Sebaliknya meski menurut survei kalah, harapan datang dari banyak kubu sebelah karena tren Prabowo digambarkan menaik. Kekhawatiran Denny saat survei Litbang Kompas itu dirilis, masih ada satu bulan lagi tren menaik itu terjadi untuk melampaui Jokowi.
Kasarnya, hasil survei Litbang Kompas itu bisa mempengaruhi publik yang belum menentukan pilihan maupun yang sudah menentukan pilihan.
Denny JA juga mengomentari metodologi dan cara menarik kesimpulan dari survei Litbang Kompas yang menurutnya dalam hal keterangan soal metodologi kurang lengkap. Tidak lupa Denny JA membandingkan dengan survei yang lakukannya.
"Tak ada keterangan dalam metodelogi misalnya, apakah survei menggunakan simulasi kertas suara atau tidak? Pemilih yang ditanya akan memilih siapa secara oral oleh peneliti, selalu mungkin memberi jawaban berbeda jika ia diminta melihat kertas suara yang ada foto pasangan Jokowi dan foto pasangan Prabowo," katanya.
Denny kemudian mempertanyakan response rate atau responden yang bersedia menjawab, bahwa survei yang memiliki response rate 95 persen (hanya 5 persen yang menolak menjawab) akan memberikan kualitas yang berbeda dengan survei yang memiliki response rate 45 persen.
"Pasti ada sejumlah responden yang menolak atau berhalangan. Terhadap mereka yang menolak, apakah dicari pemilih pengganti? Bagaimana cara memilih penggantinya? Tanpa panduan sistematis, response rate dapat membuat hasil survei tak akurat," tuturnya.
Denny JA menyoroti tidak adanya keterangan soal kontrol kualitas survei dan mempertanyakan cara Litbang Kompas menarik kesimpulan survei serta mempermasalahkan penyebutan margin of error plus minus 2,2 persen.
"Tapi Kompas menyatakan tren dukungan Jokowi menurun dari 52,6 persen menjadi 49,2 persen. Secara statistik itu kesimpulan yang salah. Jika margin of error plus minus 2,2 persen, maka ada rentang margin of error dari plus 2,2 persen dan minus 2,2 persen. Margin of error itu sebenarnya punya rentang 4,4 persen," tekan Denny.
Denny JA menganggap selisih elektabilitas Jokowi pada Oktober 2018 sebesar 52,6 persen menjadi 49,2 persen di Maret 2019 sebesar 3,4 persen masih di bawah margin of error 4,4 persen. Menurutnya, secara statistik hal itu tidak signifikan dikatakan turun.
Masih ada sejumlah cacatan lain Denny JA untuk Litbang Kompas. Bahkan, peneliti Litbang Kompas sendiri, Bambang Setiawan, sudah membalas dengan cukup emosional serangan Denny JA terhadap hasil survei lembaganya di Harian Kompas.
Namun, cukuplah kiranya untuk menunjukkan betapa gusar dan marahnya Denny JA pada Litbang Kompas hanya karena angka yang dihasilkan berbeda dengan angka yang diharapkan survei LSI, yaitu di atas 60 persen. Alih-alih 60 persen, Litbang Kompas malah merilis angka di bawah 50 persen bagi Jokowi.
Memang psikologi massa saat itu (bahkan sampai sekarang usai pencoblosan), masih terbelah. Bagi Prabowo, tim dan para pendukung fanatiknya, hasil survei Litbang Kompas memberi angin segar, meski berkali-kali Prabowo menyatakan tidak percaya atas hasil survei manapun karenanya lebih memilih tim survei sendiri.
Namun terhadap hasil survei Litbang Kompas saat itu tanggapan positif datang dari para pendukungkunya. Mereka dengan serta merta memercayai lagi survei dan untuk sementara Harian Kompas yang memuat hasil survei itu pun dijadikan idola, dipuja-puji, dan dianggap sudah "memerankan" sikapnya yang netral dan nonpartisan.
Baca Juga: Asal Muasal Kompas [1] Pintu Besar Selatan
Sebaliknya bagi kubu Jokowi, tim dan pendukung fanatiknya, angka elektabilitas di bawah 50 persen hasil survei itu sungguh mengagetkan kalau tidak mau dianggap menyakitkan. Karenanya ada yang menuding, Kompas sudah berubah haluan haluan, Kompas sudah pro Prabowo. Kemudian sempat tercetus gerakan berhenti berlangganan Harian Kompas.
Jika angka 55,99 persen dengan gap 13 persen yang merupakan hasil survei Litbang Kompas dan dirilis lebih dari sebulan yang lalu itu, bukankah angka ini mendekati penghitungan real count KPU pagi ini yang mencatat 56 persen untuk Jokowi-Ma'ruf dan sisanya 44 persen untuk Prabowo-Sandi?
Lalu, bagaimana publik menilai marah-marahnya Denny JA kepada Litbang Kompas dan sekaligus Harian Kompas yang memuat hasil survei itu ? Apakah marah-marah itu masih dianggap sebagai "heroik", keren, atau sesungguhnya upaya bunuh diri yang telanjang di depan publik itu sendiri?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews