Mbak Ninuk yang Sedang Ramai Diperbincangkan

Tentu ia berhitung dengan sangat matang atas kebersamaannya dengan Prabowo di Hambalang, yang gambarnya tersiar secara viral itu.

Sabtu, 23 Maret 2019 | 23:14 WIB
3
14222
Mbak Ninuk yang Sedang Ramai Diperbincangkan
Ninuk Mardiana Pambudy (Foto: Tagar News)

Namanya Ninuk Mardiana Pambudy.

Saya biasa memanggilnya Mbak Ninuk. Terakhir bertemu puteri almarhum mantan Mensesneg Moerdiono ini Desember 2016, saat saya menandatangani pengunduran (pensiun dini) selaku wartawan Harian Kompas. Saat itu jabatannya masih Wakil Pemimpin Redaksi yang diberi tugas ekstra menangani kekaryawanan alias SDM. Mbak Ninuk memberi saran mengenai "plafon" mana yang harus saya ambil terkait uang pensiun saya setelah 26 tahun bekerja.

"Kamu ambil yang ini saja, biarpun uang pensiun bulananmu kecil, tapi (uang) yang ini bisa kamu simpan, bisa kamu beli Reksadana atau kamu depositokan," sarannya sebelum saya menimang-nimang "plafon" mana yang akan saya ambil. Secepat kilat, saya memutuskan dan menerima saran Mbak Ninuk!

Kini nama Mbak Ninuk sedang menjadi perbincangan hangat. Namanya kerap disebut-sebut dalam percakapan WA, medsos dan obrolan ala warkop. Jujur, bukan dalam perspektif positif, tetapi lebih menjurus sentimen negatif karena berada di pusaran yang sungguh tidak mengenakkannya selaku jurnalis; yaitu politik.

Jurnalistik dan politik!

Sejatinya dua "binatang" ini bisa saling mengisi dan tidak harus menjadi persoalan besar. Politik bisa menjadi urusan jurnalistik, pun jurnalistik tidak bisa lepas dari politik. Tetapi, mengapa Mbak Ninuk yang menjadi Pemimpin Redaksi Harian Kompas menjadi terseret sedemikian jauh untuk urusan politik praktis, seolah-olah ia terjerembab sendiri pada palagan di mana dua pendekar tengah bertempur sengit?

Mbak Ninuk adalah nakhkoda sebuah kapal besar bernama Harian Kompas yang secara lembaga kadung sudah distigmakan sangat dekat dengan Joko Widodo, calon presiden petahana yang kini tengah bertarung melawan Prabowo Subianto. Karenanya saya kira -ini realitas politik- para pendukung fanatik Prabowo banyak yang menjauhi Kompas, anti-Kompas dan ramai-ramai berhenti berlangganan.

Sebaliknya, Kompas sangat populer di kalangan pendukung Jokowi dan karenanya menjadi semacam sandaran.

Gonjang-ganjing itu pun meledak saat Harian Kompas memuat hasil survei Litbang Kompas pada Rabu, 20 Maret 2019, yang mengabarkan jarak antara (gap) Jokowi dan Prabowo sudah semakin menipis. Survei masih menempatkan elektabilitas Jokowi di atas Prabowo, tetapi angkanya yang bikin psikologi massa terganggu, yaitu 49,2 melawan 37,4 dengan yang belum menentukan pilihan sebesar 13,4.

Bagi Prabowo, tim dan para pendukung fanatiknya, hasil survei Litbang Kompas itu ibarat angin segar yang menyejukkan kalbu. Berkali-kali Prabowo sendiri menyatakan tidak percaya atas hasil survei manapun karena lebih memilih tim survei sendiri. Namun terhadap hasil survei Litbang Kompas ini tanggapan positif datang dari para pendukungkunya. Mereka dengan serta merta memercayai lagi survei dan untuk sementara Kompas pun dijadikan idola,  dipuja-puji, dan dianggap sudah "memerankan" sikapnya yang netral dan nonpartisan.

Sebaliknya bagi kubu Jokowi, tim dan pendukung fanatiknya, angka elektabilitas di bawah 50 persen hasil survei itu sungguh mengagetkan kalau tidak mau dianggap menyakitkan hati. Karenanya ada yang menuding, Kompas sudah berubah haluan, Kompas sudah pro Prabowo, dan seterusnya. Karenanya pula sempat tercetus gerakan berhenti berlangganan Kompas.

Sementara bagi saya sendiri yang sempat bergabung sesaat dengan Litbang Kompas di tahun 1994 sebelum terjun menjadi wartawan, melihat hasil survei Litbang itu sebuah "pengumuman kemenangan" yang telanjang buat Joko Widodo sebelum pencoblosan dilakukan.

Orang-orang, khususnya para pendukung fanatik Jokowi yang reaktif, hanya melihat angka psikologis "di bawah 50 persen" yang bersifat menampar dan menyakitkan itu, padahal jika undecided voters yang 13,4 persen itu dibagi sama rata, Jokowi tetap leading. Bahkan gap-nya menjadi 13 persen!

Bandingkan dengan Pilpres 2014 lalu. Dengan gap 5-6 persen saja cukup mengantarkan Jokowi sebagai Presiden.

Benar bahwa selama 6 bulan jika dibandingkan dengan survei sebelumnya (Oktober 2018), elektabilitas Prabowo merangkak naik. Tetapi, kenaikannya tercatat cuma sekitar 5-6 persen. Untuk mengejar elektabilitas Jokowi saat ini, diperlukan 6,5 persen lagi. Harap diingat, waktu pencoblosan tinggal 26 hari, bukan 6 bulan lagi!

Jadi, mengapa para pendukung fanatik Jokowi harus marah-marah ke Harian Kompas? Bukankah seharusnya merayakan kemenangan untuk Jokowi yang mereka dukung? Sebaliknya, mengapa para pendukung fanatik Prabowo bergembira-ria menyikapi hasil survei Litbang Kompas?

Mengapa para pendukung Prabowo terlena dengan kata-kata "jarak menyempit" atau judul HL Kompas "Rapat Umum Menentukan" padahal secara angka sulit mengejar ketertinggalan elektabilitas Prabowo di saat kurang dari sebulan waktu tersisa? 

Kelucuan yang sungguh luar biasa!

Kembali kepada Mbak Ninuk yang sedang saya ceritakan ini. Publik menjadi "terguncang" saat mendapati foto beredar yang menunjukkan Mbak Ninuk dan suaminya, Rahmat Pambudy, sedang berjalan di Hambalang bersama Prabowo. Pada suatu masa Rahmat pernah menjabat Sekjen HKTI di mana Prabowo bertindak selaku ketuanya. Pun namanya pernah diusulkan Gerindra ke Presiden SBY saat melakukan reshuffle untuk menjadi salah satu kandidat menteri pertanian.

"Dosa-dosa suami" inilah yang kemudian dikait-kaitkan dengan posisi Mbak Ninuk sekarang ini selaku pimpinan tertinggi di redaksi Harian Kompas, selaku Pemimpin Redaksi. Bahkan foto ini mengundang reaksi jurnalis senior Kompas lainnya dalam sebuah kicauan di Twitter, yang dalam "budaya" Kompas sesuatu yang kurang elok.

Terhadap orang yang sedang marah dan galau, sulit meyakinkan bahwa bisa saja Mbak Ninuk sedang menemani sang suami bertemu dengan Prabowo untuk suatu urusan yang tidak ada kaitannya dengan Kompas. Tetapi kemarahan dan kegaluan massal langsung mencap bahwa Mbak Ninuk berjalan bersama Prabowo atas nama Harian Kompas, bukan sedang menemani sang suami.

Terus, di mana salahnya kalau Mbak Ninuk atas nama Harian Kompas berjalan bersama Prabowo Subianto? Tidakkah tersisa setitik penghargaan saja untuknya bahwa jurnalis hebat itu yang bisa menembus narasumber yang sangat sulit ditemui untuk sebuah wawancara? 

Lalu, adakah yang salah kalau suatu waktu Mbak Ninuk atas nama Kompas berjalan bersama Joko Widodo baik selaku Presiden RI maupun selaku capres petahana? Ke mana bandul kemarahan akan berayun? Apakah bisa berjalan bersama Presiden "bukan sesuatu" yang dianggap prestasi dibanding kalau bisa berjalan dengan Prabowo? 

Saya pribadi berpendapat, jika apa yang dilakukan Mbak Ninuk dalam konteks jurnalistik Kompas untuk menembus narasumber, maka penghargaan yang tinggi saya berikan untuknya. Sebab, tidak mudah menembus Prabowo yang dikenal sangat tidak bersahabat dengan media dan insan pers, yang dalam pandangannya kerap merugikannya.

Tetapi, kalau apa yang dilakukan Mbak Ninuk bertemu dan berjalan dengan Prabowo sebagai upaya "membelokkan arah" dukungan, maka itu sepenuhnya menjadi hak sekaligus tanggung jawab Mbak Ninuk sendiri. 

Mbak Ninuk bukanlah "yesterday afternoon journalist", ia sudah malang-melintang di dunia jurnalistik dan hapal betul dengan karakter, visi-misi dan filosofi Kompas. Tentu ia berhitung dengan sangat matang atas kebersamaannya dengan Prabowo di Hambalang, yang gambarnya tersiar secara viral itu.

Saya meyakini, ia tidak sedang membelokkan arah kemudi kapal yang sedang dipegangnya. Ia melakukan hal itu semata-mata semata-mata untuk kepentingan jurnalistik Kompas, untuk kepentingan menembus narasumber yang teramat sulit ditemui.

Seorang mantan petinggi Harian Kompas yang sudah lama pensiun pernah bercerita tentang sosok Mbak Ninuk. Ia mengaku tidak ingat kapan Mbak Ninuk diterima masuk sebagai wartawan Harian Kompas. Tetapi menurut pengakuannya, dialah yang mengambil keputusan terakhir Mbak Ninuk pantas diterima di Kompas karena lolos dari semua tes penyaringan.

Dalam wawancara terakhir, katanya, ia tidak mempertanyakan kepandaian atau kemampuan Mbak Ninuk, tetapi lebih menggali sikap-sikap seseorang dalam hal ini Mbak Ninuk sebagai calon wartawan Kompas. Maksudnya, apakah sikap dan kecenderungan-kecenderungannya akan mampu untuk menyesuaikan diri dengan sikap-sikap Kompas yang berlaku saat itu.

Kemudian petinggi Kompas itu pun menyatakan Mbak Ninuk pantas diterima.

"Beberapa hari setelah dia (Mbak Ninuk) menerima surat penerimaan resmi, dia datang lagi ke kantor untuk khusus menemui saya. Dalam kesempatan itu, dia menanyakan, apakah dia diterima karena dia anaknya Moerdiono. Kalau sampai penerimaannya berbau itu, dia menyatakan akan mundur. Tak mau dia diterima kerja karena anak mensesneg," ungkapnya.

Sang petinggi Kompas itu melanjutkan, "Dia baru lega ketika saya jawab penerimaan dia tak ada kaitannya dengan jabatan bapakmu. Dalam hati, saya makin meneguhkan keputusan saya untuk menerimanya. Ini integritas kepribadian yang tak banyak bisa kita temukan." 

Nah, soal integritas kepribadian, saya yakin Mbak Ninuk masih memilikinya.

Sampai saat ini.

***