Senada dengan Duka

Hanya dengan begitu, di tengah duka yang membara, damai di hati masih terasa. Itu yang membuat saya tetap waras, dan masih bisa menggoreskan tulisan ini.

Senin, 23 November 2020 | 10:00 WIB
0
181
Senada dengan Duka
Menangis (Foto: topcareer.id)

Sepuluh tahun terakhir, hidup saya dipenuhi dengan kematian. Satu persatu, keluarga saya pergi meninggalkan tubuhnya. 2010, nenek saya meninggal. Saya dekat dengannya, karena ia tinggal bersama dan turut membesarkan saya.

Saat itu, saya belum mengenal Zen, ataupun latihan batin lainnya. Saya melihatnya sebagai sesuatu yang masuk akal, walaupun ada rasa kehilangan yang membuat dada sesak. Dia sudah tua dan sakit, lalu meninggal. Alam sedang bekerja.

2014 menjadi salah satu tahun terpenting dalam hidup saya. Tanpa sakit, ayah saya meninggal, karena serangan jantung mendadak. Sebelumnya, ia amat sehat dan aktif. Dalam hitungan detik, ia meninggalkan tubuhnya begitu saja.

Derita besar menimpa saya. Saya tak paham, apa yang sesungguhnya terjadi. Akal sehat buntu. Disitulah saya memasuki gerbang Zen, sampai saat ini.

2016, saya harus menjalani proses perceraian. Kiranya benar, putus hubungan itu sama menyakitkannya dengan kehilangan anggota keluarga. Pola serupa terjadi beberapa kali di dalam hubungan yang coba saya rangkai. Kini, saya kembali sendiri.

Antara 2016 sampai 2020, saya harus meninggalkan dua pekerjaan yang amat sangat saya cintai. Ini pun juga terasa amat sulit. Semua tak masuk akal. Namun, dengan perkembangan pola pikir dan olah batin, saya bisa melalui semuanya dengan lega.

2020, ibu saya sakit parah, dan meninggal. Sejujurnya, saya sudah mempersiapkan hal ini. Namun, ketika itu terjadi, duka dan derita yang terasa begitu menyengat. Dekade ini ditutup dengan kematian salah satu orang terpenting dalam hidup saya.

Akal sehat saya paham. Apa yang lahir harus pergi. Segalanya berubah. Kematian itu sealami angin bertiup, dan burung berkicau, begitu isi tulisan saya di pertengahan tahun ini.

Namun, pemahaman akal sehat tidak selalu menciptakan rasa damai di hati. Gelisah dan sesal terus datang berkunjung. Ada rasa hampa terasa. Rupanya, pengolahan batin masih tetap harus dijalani.

Suasana hati kerap berubah tajam. Kesedihan lebih sering berkunjung. Rasa lega mengisi sela-sela waktu. Mereka datang silih berganti dengan ritme lebih cepat.

Ketika ibu saya meninggal, seolah sebagian diri ini ikut bersamanya. Ada yang larut di dalam kepergiannya. Bunga tak lagi seharum sebelumnya. Matahari tak lagi secerah seharusnya.

Dalam kesedihan, saya terus mengingat kebijaksanaan kuno. Kematian orang tua adalah berkah. Itu sejalan dengan hukum alam. Maka, kita harus bersyukur.

Lagi pula, tak ada yang sungguh mati. Nyawa manusia itu energi. Energi tak pernah lenyap. Ia hanya berubah bentuk.

Baca Juga: Zen di Dalam Drama Keluarga

Saya pun teringat latihan Zen saya. Selalu kembali ke saat ini. Gunakan panca indera dan nafas untuk menyadari saat ini. Jika pikiran melantur, kita hanya perlu kembali ke saat ini. Latihan terus, tanpa henti.

Duka nestapa pun bukan musuh. Mereka bagian dari kehidupan. Hanya saja, mereka lebih sering berkunjung saat ini. Saya menyambut mereka. Jika sudah waktunya, saya biarkan mereka pergi. Rupanya, sekarang belum waktunya.

Tawa sahabat dan keluarga juga membantu. Kedua keponakan tercinta mengisi hari dengan tawa dan tangis mereka. Sapaan sahabat juga menguatkan. Perbincangan berjam-jam ditelepon mencerahkan hari-hari saya yang sedang redup.

Pada akhirnya, kita semua harus belajar hidup senada dengan duka. Tak perlu membenci dan mengusirnya. Ia tak akan pergi. Jika diusir dengan paksa, ia justru akan semakin menyengat.

Saya pun merasa beruntung, saya mengalami begitu banyak kematian di usia semuda ini. Percayalah, jika belum, anda pasti akan mengalaminya. Belajarlah untuk hidup senada dengan duka. Jadikan ia saudara yang perlu disapa.

Hanya dengan begitu, di tengah duka yang membara, damai di hati masih terasa. Itu yang membuat saya tetap waras, dan masih bisa menggoreskan tulisan ini. Damai di tengah duka dan derita, itulah kebebasan yang sesungguhnya. Kita lalu bisa tetap mencinta, walaupun dunia tak seindah yang seharusnya.

***