Zen di Dalam Drama Keluarga

Menanggapi drama keluarga, ada waktunya, kita harus diam. Kita mendengar, dan melakukan refleksi atas diri sendiri. Namun, ada waktunya, kita harus bersuara.

Selasa, 24 Desember 2019 | 09:05 WIB
0
330
Zen di Dalam Drama Keluarga
Ilustrasi Zen (Foto: rumahfilsafat.com)

Jika anda sudah merasa tercerahkan, cobalah hidup bersama keluarga anda. Begitulah kata-kata seorang Zen master terhadap muridnya, setelah ia mendapat pencerahan. Hidup di dalam keluarga tak selalu seperti di dalam surga. Salah kata dan salah sikap bisa memicu konflik panjang yang menyesakkan jiwa.

Kita semua lahir di dalam keluarga. Keluarga bisa menjadi sumber kebahagiaan yang besar. Namun, ia juga bisa menciptakan derita tiada tara. Bahkan, menurut data yang dikumpulkan oleh UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) pada 2017, dari seluruh perempuan yang menjadi korban pembunuhan, 58% diantaranya terbunuh oleh anggota keluarganya sendiri.

Suami dan istri yang melakukan kekerasan, baik verbal maupun fisik, adalah sumber penderitaan besar bagi yang mengalaminya. Kekerasan menjadi jauh lebih menyakitkan, ketika dilakukan oleh orang terdekat. Kekerasan orang tua terhadap anak, baik verbal maupun fisik, menyisakan trauma besar yang mempengaruhi hidup anak tersebut selanjutnya. Pengalaman kekerasan akan mendorong orang untuk menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari.

Drama keluarga adalah konflik yang terjadi, akibat perbedaan nilai, ataupun krisis komunikasi yang ada di dalam keluarga. Drama keluarga merentang luas, mulai dari cekcok ringan, sampai dengan kekerasan yang berujung pada kematian. Perbedaan nilai kerap lahir dari sikap otoriter orang tua yang memaksakan nilainya kepada anak. Jika tak dikelola dengan tepat, konflik atas perbedaan nilai bisa memecah keluarga yang ada.

Drama juga muncul, akibat luka lama yang menganga. Konflik di masa lalu bisa menjadi sumber konflik di masa kini dan masa depan, jika maaf tak terucap, dan pengampunan tak diberikan. Persoalan kecil bisa memicu cekcok besar yang mengguncang seluruh keluarga. Luka yang menganga akan berkembang menjadi trauma, serta membuat komunikasi antar keluarga menjadi terhalang.

Akar Drama Keluarga

Setidaknya, ada tiga hal yang memicu lahirnya drama keluarga. Yang pertama adalah masalah komunikasi. Salah kata bisa berujung pada cekcok raksasa. Seringkali, hal ini tak terhindarkan di dalam keluarga yang tinggal bersama setiap harinya.

Terkadang, diam bisa menjadi jalan keluar. Namun, dalam keadaan tertentu, diam bisa menciptakan salah paham. Konflik pun membesar, akibat diguyur oleh salah paham. Komunikasi dengan kejernihan dan kesadaran memainkan peran penting disini.

Yang kedua adalah emosi yang menutupi kejernihan pikiran. Pikiran dan emosi memang selalu berubah. Ada kalanya mereka mereka tenang dan damai. Namun, tak jarang juga, emosi dan pikiran begitu mengguncang batin, sehingga orang kerap kali marah ataupun sedih tanpa alasan yang berarti. Ini bisa memicu konflik di dalam keluarga.

Yang ketiga adalah kesalahpahaman tentang arti pikiran dan emosi di dalam diri. Emosi adalah sesuatu yang alami di dalam diri manusia. Emosi adalah pikiran dengan daya rasa yang lebih kuat. Ia bisa membuat jantung bergetar, dan badan berkeringat. Namun, inti keduanya adalah sama.

Emosi harus dipahami sebagai kabut yang datang dan pergi. Ia bagaikan tamu yang numpang minum teh. Biarkan ia datang, dan biarkan ia pergi. Yang penting, kita tidak tersesat.

Peran Zen

Bagaimana supaya kita tidak tersesat di dalam emosi dan pikiran yang muncul? Caranya sederhana, yakni jangkarkan perhatian pada kelima indera, entah penciuman, sensasi kulit ataupun pendengaran. Dengan berjangkar pada panca indera, kita ditarik untuk hidup disini dan saat ini. Kita pun tidak hanyut ke dalam emosi dan pikiran yang muncul.

Ini adalah latihan seumur hidup. Tidak ada yang sungguh sempurna menguasainya. Dengan berjalannya waktu, perhatian kita akan secara alami tertuju pada panca indera. Kita pun menjadi jernih, karena tetap berjangkar di saat ini, walaupun pikiran dan emosi menerpa, seperti badai.

Dengan kejernihan, kita bisa melihat keadaan sebagaimana adanya. Kejernihan ini amatlah penting untuk membuat keputusan yang tepat. Kejernihan juga berarti kesadaran akan apa yang terjadi disini dan saat ini, tanpa hanyut ke dalamnya. Inilah inti dari meditasi, dan ini juga merupakan jantung hati dari Zen.

Drama dan Kehidupan

Berbagai drama keluarga juga lalu bisa dilihat sebagaimana adanya. Akar masalah akan terlihat. Komunikasi juga bisa dibangun dengan berpijak pada kejernihan tersebut. Jalan keluar dari masalah pun bisa terlihat, dan kemudian menjadi bahan diskusi bersama.

Kita pun bisa bertindak tepat. Ada waktunya, kita harus bertindak lembut penuh kasih. Ada waktunya, kita perlu bersikap tegas, dan mungkin galak. Ini semua amat tergantung pada keadaan, sekaligus kejernihan kita untuk membacanya.

Menanggapi drama keluarga, ada waktunya, kita harus diam. Kita mendengar, dan melakukan refleksi atas diri sendiri. Namun, ada waktunya, kita harus bersuara. Kejernihan pula yang menentukan hal ini.

Drama keluarga tidak harus menjadi masalah. Ia bisa menjadi warna warni yang memperkaya kehidupan. Ia bisa menjadi peluang belajar untuk melatih kesadaran dan kejernihan yang kita miliki. Dipahami seperti ini, drama keluarga adalah sebuah permainan yang mengasyikan, asal kita tidak hanyut di dalamnya.

***