Blusukan Berbagi di Kampung Pajeksan

Menemukan habitat yang menerimanya dengan suka cita adalah berkah nyata rasa kemanusiaan yang selalu terketuk untuk berbagi.

Minggu, 19 April 2020 | 07:07 WIB
0
321
Blusukan Berbagi di Kampung Pajeksan
Kegiatan berbagi (Foto: dokumentasi pribadi)

Sebenarnya tanpa ada pandemic Covid-19 pun, (keluarga kami) sudah sangat terbiasa membagi-bagi makanan malam hari keliling kota Jogja. Aktivitas sosial ini telah berjalan mungkin sekira 10 tahun yang lalu. Pada mulanya, program ini kami namai "Caos Dahar Mbok Gendong dan Pak Becak". Alasannya tentu karena latar belakang ikatan sejarah dan ikatan emosional.

Situs yang kami pilih, awalnya selalu tetap. Emperan ruko di sisi Timur Pasar Beringharjo dan area di sekitarnya dalam radius 100 meter jauhnya. Pilihan ini, sejujurnya memang sangat personal. Sebelum jadi ruko, situs ini adalah bekas Pabrik van Gorkom, salah satu jaringan industri farmasi milik kolonial Belanda yang cabangnya (nyaris) tersebar di seluruh kota besar di Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, lalu dinasionalisasi. Pabrik ini tetap dipertahankan hidup, di bawah Departemen Kesehatan. Bukan kebetulan, di dalam kompleks inilah keluarga kami tinggal dan saya tumbuh sebagai "anak pasar" (sebelum akhirnya jadi anak kolong).

Tersebab itu saya bisa betul merasakan, sejak dahulu kala suka duka hidup mereka. Tinggal di emperan pabrik tua, yang jadi tempat berteduh dan tidur mbok gendong yang memang baru pulang ke rumah setiap 1-2 minggu sekali itu. Saya jadi hapal dan niteni: bagaimana dan kapan mereka makan, dimana mereka buang air dan mandi, mencuci pakaian, dst dst. Mereka adalah kaum mboro, pelajo lokal yang berasal dari desa-desa pelosok di Jogja. Yang dulu tidak pulang karena alasan kesulitan transport, walau kemudian dengan berjalannya waktu, faktor pengiritan tentu lebih menonjol.

Karena itu, saya bisa paham kalau selepas jam 22.00 (sepuluh malam) adalah puncak kritis hidup mereka. Rasa lapar yang sangat, sementara warung murah sudah tutup. Dan yang tesisa adalah warung yang mereka anggap terlalu mahal. Satu-satunya solusi hanya menunggu pagi datang, sekira 6-8 jam kemudian. Karena waktu-waktu inilah yang kami pilih untuk berbagi.

Bagian yang saya tidak pernah bisa paham, bagaimana mungkin setelah puluhan tahun waktu berlalu. Pemerintah kota ini tak pernah punya sedikit pun keinginan membangunkan rumah singgah yang layak buat mereka. Peer lain dalam sisa hidup saya (dan sahabat2 lain yang peduli) di waktu-waktu datang...

Hingga "petualangan malam" saya mencapai titik rasa bosan dan mengkal, karena ternyata di luar makin banyak yang melakukan aktivitas serupa. Kadang kala mbok2 atau pak becak itu terkadang menolak, karena sudah mendapat pemberian dari orang lain. Di sinilah saya selalu terharu: bagaimana mereka selalu jujur dan tidak pernah serakah dalam menerima sesuatu. Secukupnya saja!

Lalu saya temuilah Pakdjo, seorang ASN di lingkungan Pemprov DIY, yang menurut saya adalah salah satu contoh abdi negara dengan idealisme tingkat dewa. Seorang sarjana multi-tasking (sekaligus multi talent, multi-minat, dan multi-multi yang lainnya) yang tetap teguh bersepeda ke kantor. Bukan sekedar nggaya dan karena diwajibkan di hari-hari tertentu.

Yang setelah berganti walikota juga sudah nyaris dilupakan programnya itu. Ia juga adalah figur yang selama ini, secara konsisten gigih menghambat "pertumbuhan hotel" yang seolah tumbuh laksana cendawan di musim hujan. Dengan tentu saja, sering mengabaikan bukan saja Ketentuan AMDAL, tetapi terutama membunuh kearifan lokal yang ada di kampung-kampung tradisional yang menjadi tempat mereka bertumbuh.

Di Pajeksan, dimana beliau tinggal, rumah-rumah kampung telah banyak berubah menjadi lahan kosong berpagar seng. Tempat parkir segal hal yang bisa diparkirkan: mobil, becak, bentor atau gerobag apa saja.

Lahan kosong ini adalah hasil dari para pengusaha luar-kota Jogja perlahan-lahan menggangsir dan menggoda para penduduk lokal merelakan tanah yang mereka miliki untuk (kelak) berubah fungsi menjadi lahan bisnis. Dan mereka yang bertahan, tetaplah mereka yang dianggap berani "adu kuat, adu ndableg, adu ngeyel". Entah sampai kapan...

Di Pajeksan, inilah yang menjadi salah satu kampung utama penyangga denyut nadi jalan paling legendaris sekaligus paling ekonomis di Jogja. Malioboro, siapa yang tak kenal? Dan akibat pageblug Covid-19, yang diikuti oleh kepatuhan para pedagang kaki lima secara sukarela untuk tetap tinggal di rumah. Sekedar pembanding, sebagian sangat besar toko-toko modern dan berjejaring teap lah buka tanpa rasa malu dan sungkan. Maka nasib para penduduk di kampung ini seolah dua kali tertimpa tangga. Setiap hari digoda untuk menjual tanahnya, di sisi lain hilangnya sumber pendapatan yang sesungguhnya juga tak seberapa itu.

Saya jadi tahu, bahwa di kampung inilah nyaris semua gerobag para pedagang kaki lima di Malioboro diparkir. Dimana penduduk lokal, memiliki pekerjaan harian mendorong pergi-pulang setiap pagi dan malam hari. Dengan imbalan Rp 5.000,- sekali dorong. Tentu walaupun terdapat ratusan gerobag yang bisa dijadikan tumpuan hidup. Namun juga tentu harus dibagi oleh sedemikian banyaknya orang yang "nunut urip" di situ.

Yang banyak dibagi banyak, jadi "sithik edeng, saeuthik ewang". Ideologi yang menjelaskan bagian yang sedikit itu tetaplah harus tetap mau dibagi-bagi lagi. Di luar mereka itu, di kampung ini tinggal pula tenaga cleaning servis, satpam, penjaga lapak, dan nyaris semua jenis pekerjaan yang sifatnya rapuh dan tergantikan setiap saat. Mereka yang hari2 dianggap sebagai manusia pra-pekerja. Istilah yang aneh tapi nyata.

Dan akibat pageblug ini, untuk sementara semuanya sejak sebulan terakhir berhenti. Di laman Pakdjo, nyaris setiap kali ia menulis. Ia bercerita betapa kompaknya mereka saling bahu membahu mentaati anjuran pemerintah. membuat tempat cuci tangan disinfektan di muka gang masuk kampung. Melakukan karantina mandiri, dengan tidak keluar rumah.

Hingga sejak malam tadi, saya diajak blusukan gang-gang culdesac: seolah buntu, tapi sesungguhnya berujung dan hanya melingkar-lingkar. Yang bahkan saya sebagai anak asli Jogja tetap terkaget-kaget, sedemikian terlambatnya saya membaca situasi terkini. Dampak kerakusan hotel memang luar biasa! Lahan hidup menyempit, tapi jumlah manusia tetap, kalau tidak mau dikatakan justru bertambah.

Akibatnya, setiap rumah semakin mengecil, tumbuh ke atas dengan jumlah jiwa yang semakin banyak. Tak nyana, ada situasi sejenis ini di kota yang konon kata budaya adalah mantra paling penting. Ternyata Jakarta dan Jogja nyaris sama saja. Sama sekali bukan kultur Jawa yang selama ini sedemikian mengagungkan makana "tata bumi, tata wisma, tata jiwa, tata raga".

Dan dalam gang-gang sempit dan gelap itulah, saya semakin menyadari sedemikian banyak yang membutuhkan uluran tangan. Bukan hanya di jalanan dimana bantuan dan kepedulian sudah semakin banyak bersliweran, terasa biasa dan menjadi sebuah kewajaran belaka.

Seplastik kresek nasi bungkus, teh hangat, dan sepotong buah segar titipan para dermawan sahabat-sahabat saya itu menemukan jalan kebaikannya. Menemukan habitat yang menerimanya dengan suka cita adalah berkah nyata rasa kemanusiaan yang selalu terketuk untuk berbagi.

Saya ngungun dan tertegun, kalau pun saya harus melanggar aturan tetap tinggal di rumah saja. Menantang berbagai kemungkinan tertular atau menjadi penular. Tetaplah saya senang untuk menjalankannya. Saya sedikit bersyukur punya makna dan berguna bagi sesama kita...

Setelah Pajeksan, kemana lagi kita Pakdjo...

***