Dekonstruksi Kematian

Kematian, pada akhirnya, hanya soal antri. Siapa yang duluan yang berangkat? Siapa yang belakangan? Hanya itu pertanyaannya. Tak ada perkecualian.

Kamis, 9 April 2020 | 12:43 WIB
0
793
Dekonstruksi Kematian
Glen Fadly (Foto: ayosemarang.com)

Berita kematian menggempur kita sekarang ini. Di berbagai belahan dunia, pandemik dan konflik membuat kita terjebak dalam kecemasan. Setiap hari, jumlah korban terus bertambah. Tanpa kejernihan dan sikap kritis, semua ini bisa membuat orang tenggelam dalam ketakutan yang justru membunuhnya.

Glenn Fredly, salah satu musisi terbaik di Indonesia, juga baru saja meninggal. Dia adalah tokoh yang menginspirasi begitu banyak musisi di Indonesia. Figurnya kuat dan penuh warna. Kematiannya membuat kita semakin takut dan cemas, terutama di tengah pandemik yang terus diberitakan secara tak seimbang oleh media maupun pemerintah.

Namun, jika disadari lebih dalam, kematian selalu mengintai kita setiap saat. Sejak lahir, kita selalu sudah menuju kematian. Bahkan, Martin Heidegger, pemikir Jerman, memahami manusia sebagai mahluk yang berada menuju kematian (Sein zum Tode). Setiap detiknya, sejak kita lahir, sebenarnya, kita sudah selalu sekarat.

Kita sering lupa akan hal ini. Kita merasa, kematian adalah sebuah perkecualian. Kematian dianggap sebagai peristiwa luar biasa. Tidak. Kematian itu sealami angin bertiup, dan burung bernyanyi.

Pandangan Salah

Sayangnya, kita sering diracuni oleh pandangan salah tentang kematian. Kita hidup dalam masyarakat yang punya pandangan sesat tentang kematian. Kematian dianggap kekalahan. Lihat saja film-film yang diputar di media. Kematian adalah kekalahan final dari musuh yang dibenci.

Maka, kematian harus dihindari. Orang harus hidup sehat, supaya usianya panjang. Orang harus berdoa keras, supaya diberikan umur panjang. Apapun caranya, kematian harus dihancurkan dari kehidupan.

Kematian pun dianggap penyakit. Inilah pandangan para teknolog modern yang mencoba menyiasati kematian. Kemajuan teknologi rekayasa genetik seolah memungkinkan hal ini. Pandangan sesat ini hanya membuat kita bingung, dan menderita, ketika kematian menjemput.

Bagi mereka yang masih muda dan sehat, kematian terasa jauh. Kerap kali, mereka merasa, bahwa mereka tak pernah mati. Tubuh sehat. Tabungan berlimpah. Karir gemilau. Siapa punya waktu untuk berbicara atau berpikir soal kematian?

Kematian pun lalu hanya menjadi berita di media. Kematian, dengan kata lain, selalu terjadi pada orang lain. Namun, tak lama, kematian pasti datang. Ia bisa menjemput teman atau kerabat, tetapi juga bisa menjemput diri kita.

Kematian, pada akhirnya, hanya soal antri. Siapa yang duluan yang berangkat? Siapa yang belakangan? Hanya itu pertanyaannya. Tak ada perkecualian.

Dekonstruksi Kematian

Di awal 2020, Sadhguru, seorang Yogi asal India, menulis buku yang menggemparkan dunia. Judulnya adalah Death: An Inside Story (Kematian, Kesaksian dari Orang yang Telah Mengalaminya). Ia berkata, “Ini adalah buku untuk mereka yang akan mati.” Pendek kata, inilah buku untuk kita semua.

Buku ini berbicara tentang kematian secara lugas. Tidak ada filter dari penulis. Ia menuliskan seluruh pengetahuan dan pengalamannya tentang kematian. Saya sendiri merasa agak ngeri, ketika membaca buku ini secara intensif.

Berbicara kematian, Sadhguru tidak mengutip kisah-kisah. Ia menolak untuk berbicara dongeng tentang kematian. Tak ada surga yang digunakan untuk menipu orang. Tak ada neraka yang digunakan untuk menakuti orang. Tak ada manipulasi khas agama-agama sesat.

Sejatinya, bagi Sadhguru, kita tidak pernah mati. Yang ada hanya perubahan. Kita terus hidup, namun dengan cara hidup yang baru. Kita berpindah dari satu dimensi ke dimensi lainnya.

Perubahan (yang disebut “kematian”) tersebut terjadi secara perlahan. Ketika tubuh rusak, entah karena sakit atau kecelakaan, orang tak langsung pergi. Energi keluar secara perlahan dan bertahap. Di beberapa tempat, orang bahkan bisa kembali hidup, setelah ia dinyatakan meninggal oleh dokter.

Setelah “Kematian”

Perubahan (kematian) tersebut terjadi sesuai dengan pola kehidupan yang sebelumnya dijalani. Setiap orang punya kebiasaan dalam hidupnya. Kebiasaan itulah yang tersisa sebagai energi, ketika orang “mati”. Di dalam tradisi India, kebiasaan itu disebut juga sebagai karma, yakni pola tindakan kita yang membentuk kepribadian dan kebiasaan.

Misalnya, kita biasa berbuat jahat. Kita biasa berbuat tidak adil dalam hidup. Kita biasa menindas. Kita biasa iri dan dengki pada orang lain.

Baca Juga: Tarian Kematian

Setelah kematian, kebiasaan membenci dan jahat inilah yang tersisa. Tidak ada lagi kepribadian. Yang ada hanya energi yang suka jahat dan membenci. Penderitaan pun tak bisa dihindari.

Sebaliknya, jika kita hidup dalam sikap baik dan penuh kasih, itulah yang tersisa, ketika kita “mati”. Kita menjadi energi lembut yang penuh kebaikan. Kita menjadi energi yang juga penuh dengan kebahagiaan. Maka dari itu, sangatlah penting bagi kita untuk hidup baik dan saling mengasihi.

Setelah itu, energi yang ada akan mencari tubuh baru. Inilah dasar berpikir untuk proses kelahiran kembali, atau reinkarnasi. Energi jahat dan penuh kebencian akan menemukan tubuh yang jahat dan penuh kebencian. Energi yang baik dan penuh kasih juga akan menemukan tubuh yang baik dan penuh kasih.

Sadhguru juga menekankan pentingnya meditasi. Dalam arti ini, meditasi adalah jalan untuk melatih kesadaran. Kita belajar untuk sadar sepenuhnya dari saat ke saat di dalam hidup kita. Kita tidak hanyut ke dalam pikiran ataupun emosi, melainkan tetap bangun dan sadar dalam segala keadaan.

Ketika “mati”, kesadaran yang terlatih bisa membuat kita terbebas dari derita. Kita bisa memilih untuk dilahirkan kembali, atau tidak. Dalam tradisi Asia, orang yang tidak terlahir kembali adalah orang yang bebas. Ia telah mengalami Mukti, Moksha atau Nirvana. Jika energi sadar ini memilih untuk terlahir kembali, maka ia akan menjadi orang yang hebat, baik orang suci atau penguasa besar.

Keluarga dan Apa yang Tersisa

Bagaimana dengan peran keluarga di dalam “kematian”? Sadhguru menegaskan, bahwa keluarga sebaiknya menjauh di dalam proses kematian. Kehadiran keluarga bisa membuat orang gelisah, entah karena kenangan lama, ataupun kekecewaan yang belum selesai. Karena gelisah dan cemas, orang lalu tak bisa “meninggal” dengan tenang.

Jika orang telah dirasa untuk mendekati “kematian”, maka ia perlu dibiarkan hidup sendiri di alam terbuka. Hutan dan pegunungan bisa menjadi tempat yang tepat. Ia harus melihat dirinya sebagai bagian dari alam, dan akan kembali ke alam itu sendiri. Hanya dengan begini, “kematian” bisa menjadi proses yang damai dan melegakan.

kemat

Baca Juga: Statistik Kematian

Seringkali terjadi, keluargalah yang tak bisa melepas. Disini pentingnya ritual, yakni untuk membantu keluarga melepas yang telah “mati” dengan damai. Ada berbagai bentuk ritual pengantar kematian. Setiap peradaban punya ciri khasnya masing-masing.

Barang-barang orang yang telah meninggal harus segera disebar ke berbagai tempat. Keluarga tak boleh memilikinya secara eksklusif. Paling baik, barang-barang dari orang yang meninggal disumbangkan untuk mereka yang sungguh membutuhkan. Dengan ini, energi yang terlepas pada proses “kematian” bisa pergi dengan damai, tanpa ikatan.

Hantu?

Sebenarnya, kita ini semua adalah hantu. Kita adalah energi. Ada energi yang masih ada di dalam tubuh. Ini berarti orang masih hidup. Ada energi yang sudah terlepas dari tubuh, dan disebut “mati”.

Setelah “mati”, kepribadian menghilang. Yang tersisa adalah energi dengan kebiasaan tertentu. Kerap kali energi tersebut belum lenyap secara utuh. Ia masih tersisa, dan menjadi hantu bagi banyak orang.

Sebabnya beragam. Biasanya adalah ikatan yang amat kuat dengan dunia, atau dengan keluarga yang ditinggalkan. Ikatan yang begitu kencang, sehingga menarik energi hidup seseorang, sehingga tak bisa pergi dengan sempurna.

Hantu semacam ini tak ada akal sehat. Ia tak memiliki kehendak. Ia juga tak memiliki kepribadian. Ia hanya energi yang tersisa, dan sekedar ada. Ada beberapa ritual untuk melenyapkan hantu. Artinya, energi tersebut bisa didorong untuk kembali melebur seutuhnya dengan semesta.

Kematian adalah Kehidupan

Pada akhirnya, kematian adalah kehidupan itu sendiri. Kematian adalah perubahan semata dari satu cara hidup, ke cara hidup lainnya. Maka, ia tak perlu ditakuti. Ia juga tak perlu ditabukan.

Kematian perlu dipahami apa adanya. Ia perlu dipandang dengan sehat dan obyektif. Hanya dengan begini, orang bisa menjalani proses kematian dengan tenang dan damai. Hidupnya pun juga dijalani dengan penuh kelegaan.

Akhirnya kata, untuk Glenn Fredly dan para korban pandemik maupun konflik di seluruh dunia, tak ada kata selamat tinggal. Yang lebih tepat adalah, selamat menempuh hidup baru. Itulah yang sesungguhnya terjadi. Semoga menemukan pencerahan di kehidupan selanjutnya.

***