Statistik Kematian

Orang-orang yang kalah dalam Pilpres dan busuk hatinya dengan tega menggoreng isu orang meninggal sebagai bahan serangan politik. Mereka mencerca KPU.

Jumat, 10 Mei 2019 | 21:43 WIB
0
361
Statistik Kematian
Kivlan Zen (Foto: Riau1.com)

Menurut data Bappenas, proyeksi angka kematian di Indonesia pada 2019 itu sejumlah 1,8 juta setahun atau sekitar 0,65% dari 260 juta penduduk. Jika dibagi per hari, ada 5000 penduduk meninggal saban harinya.

Gimana kalau dari 260 juta orang Indonesia itu, diambil secara acak sekitar 7 juta orang. Mereka semua dipakaikan kaos merah. Diarahkan untuk berkegiatan bersama.

Jila mengikuti pola statistik angka kematian rata-rrata penduduk Indonesia, dari 7 juta orang yang dipakaikan kaos merah, ada potensi yang meninggal sekitar 135 orang setiap hari. Kalau empat hari mungkin bisa mencapai 500 orang.

Lalu apakah kita bilang karena mereka memakai kaos merah maka jadi penyebab ada yang meninggal? Gimana jika pakaian 7 juta orang itu diganti dengan kaos hijau? Berapa yang meninggal?

Gak akan berubah.

Mau pakai kaos hijau atau merah, pola dan jumlah yang meninggal tentu mengikuti patern. Secara statistik mengikuti pola yang umum.

Ok, sekarang kita ganti. Ketutujuh juta orang itu gak pakai kaos merah atau hijau. Tapi mereka adalah orang yang terkibat aktif dalam Pemilu 2029. Ada petugas KPPS, Panwas, KPU, Panwascam, Polisi, TNI, dan semua elemennya.

Saat ini dari jumlah itu ada 500 orang yang meninggal. Rentang waktunya mulai dari pencoblosan sampai sekarang. Lebih dari tiga minggu atau 21 hari.

Pertanyaannya, apakah kejadian itu sesuatu yang luar biasa? Maksudnya luar biasa adalah sesuatu yang keluar atau menyimpang dari pola umum. Kalau potensi orang meninggal dari 7 juta orang adalah 136 orang sehari, berapa jumlahnya dalam tiga minggu?

Apakah mereka semua meninggal karena jadi petugas Pemilu? Atau karena memakai kaos merah? Apa bedanya?

Bedanya adalah cara memandang. Orang-orang yang kalah dalam Pilpres dan busuk hatinya dengan tega menggoreng isu orang meninggal sebagai bahan serangan politik. Mereka mencerca KPU. Tujuannya bukan buat para almarhum dan almarhumah. Kalau soal itu sih, mereka gak peduli. Tujuanya sebagai alat meneriakkan protes karena kekalahannya.

Mereka jenis mahluk yang sama dengan orang yang pada Pillada Jakarta tahun lalu mengusir jenazah yang hendak disholatkan. Sama-sama biadab.

Kebusukan hati mereka ini, seolah pura-pura bersimpati. Pura-pura beragama. Padahal sesungguhnya gak peduli pada mayat dan jenazah. Gak peduli pada kesedihan keluarga yang ditinggalkan.

Saking busuknya perilaku mereka sampai ada yang tega meminta makam para pahlawan demokrasi itu untuk dibongkar. Tidak ada yang lebih biadab dibanding mereka yang memanipulasi kematian orang lain demi syahwat politiknya.

Mereka juga yang teriak-teriak people power. Lalu berharap dari people power itu ada yang tewas. Lalu menggoreng isunya agar muncul konflik lebih besar lagi. Lalu Indonesia diseret dalam kubangan darah. Mengerikan.

Bagi mereka, nyawa manusia tidak ada artinya. Mereka hanya mementingkan diri dan kekuasaanya saja. Bagi mereka nyawa rakyat pantas untuk dikorbankan. Lalu mereka ramai-ramai menari di atas kesedihan keluarga yang ditinggalkan.

Bagi mereka, agama dan kematian ada bungkus dari sebuah gerakan politis.

Sampai sekarang anaknya Widji Thukul juga gak tahu dimana ayahnya. Korban penculikan jaman Orde Baru. Toh, mereka sama sekali gak peduli.

"Mas, ngomongnya berat banget. Aku jadi lapar," keluh Abu Kumkum.

Eko Kuntadhi

***