Feodemokrasi dan Teknokratisme Dangkal di Indonesia

Kita bisa sungguh mendidik apa yang penting dan mendalam bagi semua peserta didik di Indonesia. Sudah waktunya, feodemokrasi dan teknokratisme dangkal menjadi masa lalu yang kelam.

Rabu, 16 Oktober 2019 | 18:34 WIB
0
271
Feodemokrasi dan Teknokratisme Dangkal di Indonesia
Ilustrasi kekuasaan (Foto: rumahfilsafat.com)

Sebagai sistem politik yang diakui seluruh dunia sekarang ini, demokrasi amatlah unik. Ia memiliki pola serupa sekaligus tak sama di berbagai tempat. Ia menampung perbedaan corak budaya ke dalamnya. Akibatnya, dua negara bisa memiliki demokrasi sebagai tata politiknya, namun berbeda di dalam bentuk maupun penerapannya.

Demokrasi menikah dengan budaya setempat. Beberapa negara masih menganut sistem kerajaan, namun dengan balutan konstitusi demokratis di dalamnya. Beberapa negara menganut demokrasi murni dengan menghapus sama sekali sisa-sisa pola kerajaan dari masa lalu. Uniknya, Indonesia menjauh dari dua pola umum tersebut.

Keunikan yang Beracun

Di Indonesia, demokrasi mengambil bentuk feodemokrasi. Artinya, bentuk tata politiknya demokrasi. Namun, mental pelakunya masih kerajaan dari masa lalu, yakni mental feodalisme. Beberapa corak unik, dan merugikan, dari pola semacam ini akan dibahas lebih jauh.

Teknokratisme dangkal juga menjadi ciri unik demokrasi di Indonesia. Teknokratisme adalah paham yang menggunakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara buta dan naif untuk memajukan sebuah bangsa. Teknokratisme menolak pencarian ilmiah yang berbekal ketekunan, budaya egaliter dan sikap kritis. Teknokratisme hanya tertarik pada buahnya saja, yakni teknologi siap pakai, tanpa mau bertekun di dalam proses pencarian dan penemuan ilmiah.

Teknokratisme justru lahir dari kesalahpahaman terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kesalahpahaman itu bercampur dengan ambisi untuk maju di satu sisi, dan kemalasan untuk belajar di sisi lain. Tampilan luar bisa modern. Gelar pendidikan bisa tinggi. Namun, tidak ada semangat pencarian kebenaran dan penemuan di dalamnya, yang justru merupakan inti dari ilmu pengetahuan dan teknologi.

Feodemokrasi

Lima hal kiranya menjadi dampak langsung dari feodemokrasi di Indonesia. Pertama, orang mengejar jabatan publik, seperti pegawai negeri ataupun wakil rakyat, bukan untuk melayani kepentingan bersama, tetapi untuk meraih kehormatan. Mereka ingin menjadi bangsawan-bangsawan di masyarakat demokratis. Tak heran, banyak orang yang tak kompeten justru kini menjadi pejabat negara.

Dua, mental gila hormat ini terus berlanjut, ketika mereka menduduki posisi pejabat publik. Di jalan raya, mereka ingin didahulukan, walaupun tidak ada keperluan mendesak. Di berbagai forum, mereka senang diundang jadi pembicara, walaupun tak ada isi bermutu yang ingin disampaikan. Mental bangsawan semacam ini sebenarnya sudah ketinggalan jaman, dan tak layak hidup di masyarakat demokratis.

Tiga, seperti mungkin sudah diduga, mental gila hormat bermuara pada kinerja yang buruk. Ini hampir menjadi hukum baja di dalam organisasi. Orang-orang yang hanya peduli pada kehormatan dan kekayaan tidak akan mampu memberikan sumbangan nyata bagi kebaikan bersama. Sebaliknya, mereka justru menjadi beban bagi perkembangan organisasi.

Empat, salah satu bentuk buruknya kinerja adalah berkembangnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Karena banyak pejabatnya ditunjuk bukan karena kemampuan, tetapi karena hal-hal lain, seperti kedekatan pribadi ataupun kemudahan melakukan korupsi, maka budaya busuk ini pun tersebar di berbagai organisasi negara di Indonesia. Korupsi dilakukan secara massal, dan ditutupi bersama-sama. Akibatnya, pembuktian pun seringkali sangat sulit dilakukan.

Lima, secara keseluruhan, seluruh sistem politik pun akan menjadi lambat dan boros. Segala hal menjadi sulit dilakukan, karena harus melalui jalur birokrasi yang korup dan lambat. Suap menjadi hal yang diterima secara umum, walaupun tak disampaikan secara publik. Indonesia pun gagal dalam persaingan mewujudkan keadilan dan kemakmuran di dalam politik global.

Jika hal ini didiamkan, maka Indonesia akan menjadi negara gagal. Inilah negara yang tak mampu menyediakan keamanan, stabilitas, keadilan dan kemakmuran bagi warganya. Kemiskinan, korupsi dan kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin terjadi begitu luas. Terorisme dan krisis lingkungan hidup akan mengikuti.

Teknokratisme Dangkal

Demokrasi di Indonesia tidak hanya berisi feodalisme, tetapi juga teknokratisme dangkal. Empat hal kiranya perlu diperhatikan. Pertama, teknokratisme berpijak sepenuhnya pada data. Kenyataan di depan mata pun kerap kali diabaikan. Inilah yang disebut ilusi ilmiah, yakni ketika ilmu pengetahuan memberikan gambaran yang berbeda dengan apa yang sesungguhnya terjadi.

Dua, teknokratisme adalah sebentuk kedangkalan. Teknologi digunakan untuk membangun proyek-proyek besar. Penampilan fisik jauh lebih diutamakan, daripada perubahan yang sifatnya mendasar dan berkelanjutan. Pola semacam sudah lama terjadi di Indonesia sejak jaman Orde Baru, dan belum berubah sampai sekarang.

Tiga, semua ini tentu membutuhkan sumber daya. Hutang luar negeri pun menjadi satu jalan. Jalan lainnya adalah dengan menjadi banci investasi. Pada kadar yang tepat, hutang dan investasi bisa membawa kemajuan pesat. Namun, jika terjadi kecanduan pada keduanya, maka kedaulatan ekonomi dan politik bangsa pun akan terancam.

Empat, teknokratisme tidak akan bisa menyelesaikan tantangan-tantangan bangsa sampai ke akarnya. Ia bagaikan kosmetik yang menutupi jerawat, tetapi tidak menyembuhkan apapun. Jika akar masalah, mulai dari korupsi, kemiskinan, kesenjangan ekonomi, terorisme, radikalisme dan persoalan lingkungan, hanya disentuh secara permukaan, maka ia akan menjadi bom waktu. Ia akan meledak di suatu waktu, dan merugikan banyak pihak.

Akar dan Jalan Keluar

Demokrasi yang berbalut feodalisme dan teknokratisme adalah demokrasi semu. Ia adalah demokrasi palsu yang hanya sekedar kata, namun tak ada isi yang bermutu. Demokrasi kosmetik semacam ini berbiaya tinggi, namun kinerjanya amat rendah. Dua hal kiranya penting diperhatikan.

Pertama, ini semua terjadi, karena miskinnya pemahaman tentang demokrasi dan modernisasi. Keduanya diimpor dari peradaban Barat, tanpa sikap kritis. Tidak ada usaha untuk mendalami sejarah dan filsafat yang mendasari demokrasi maupun modernisasi yang melahirkan teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Kita hanya mau membeli buahnya, tanpa mau sibuk menanam.

Dua, sikap tidak kritis di seluruh bidang kehidupan adalah akar masalah semua ini. Kita suka meniru dan bersaing, tanpa paham hakekat dari apa yang kita tiru, dan pola sesungguhnya dari persaingan yang sedang terjadi. Kita latah mengikuti bangsa lain, tanpa menggunakan akal sehat dan sikap kritis. Tak heran, kita tidak hanya mengimpor demokrasi palsu dan teknologi siap pakai, tetapi juga paham radikal dan teroristik dari negara lain.

Dengan melampaui dua akar masalah ini, kita bisa mulai keluar dari jebakan feodalisme dan teknokratisme dangkal yang menghantui bangsa kita. Pendidikan berperan besar dalam hal ini. Pendidikan bukan hanya soal hafalan dan kepatuhan buta terhadap moral, agama dan tradisi, tetapi juga pada pemahaman mendasar soal politik, filsafat dan sejarah. Sikap kritis dan pengembangan akal sehat juga harus menjadi roh utama pendidikan Indonesia.

Ini tentu dimulai dengan memilih orang-orang yang bermutu di berbagai lembaga pendidikan. Dengan begitu, berbagai kebijakan dan peraturan terbelakang bisa dimusnahkan. Kita lalu bisa sungguh mendidik apa yang penting dan mendalam bagi semua peserta didik di Indonesia. Sudah waktunya, feodemokrasi dan teknokratisme dangkal menjadi masa lalu yang kelam di Indonesia.

***