Media Lokal, Community Engagement dan Jurnalisme Solusi

Era disrupsi menyebabkan bergugurannya media, terutama tabloid dan majalah. Kebanyakan yang berguguran adalah media Jakarta yang berumur tidak lebih dari 25 tahun.

Senin, 23 September 2019 | 21:51 WIB
0
395
Media Lokal, Community Engagement dan Jurnalisme Solusi
Koran Pikiran Rakyat (Foto: Pikiran Rakyat)

Salah satu kekuatan media di daerah adalah kedekatannya dengan audiens-nya di daerah tersebut, atau dalam bahasa Inggrisnya dikenal dengan istilah community engagement (keterikatan komunitas). Media-media di daerah-daerah sebetulnya memiliki keuntungan luar biasa, berupa kedekatan dengan masyarakat setempat, sebab bagaimanapun juga, pers daerah adalah cermin bahkan sudah menjadi bagian dari budaya setempat.

Pikiran Rakyat misalnya selalu dikaitkan dengan masyarakat Bandung dan Jawa Barat. Kedaulatan Rakyat adalah wajah budaya dari Yogyakarta dan sekitarnya. Suara Merdeka dianggap representasi kultur Jawa Tengah. Bali Pos adalah media miliknya orang Bali. Di Sumatera Utara ada tiga media berpengaruh yang memiliki basis komunitas yang berbeda. Harian Waspada dengan basis komunitas Melayu, Harian Sinar Indonesia Baru (SIB) berbasis suku Batak, dan Analisa yang merupakan media andalan warga Tionghoa.

Media-media ini memiliki kedekatan dengan akar rumput, atau memiliki community engagement yang kuat. Apa itu community engagement?

the process of working collaboratively with and through groups of people affiliated by geographic proximity, special interest, or similar situations to address issues affecting the wellbeing of those people. It is a powerful vehicle for bringing about environmental and behavioral changes that will improve the health of the community and its members. It often involves partnerships and coalitions that help mobilize resources and influence systems, change relationships among partners, and serve as catalysts for changing policies, programs, and practices (CDC, 1997, p. 9).

(…yaitu proses kolaborasi kerja di dalam atau bersama kelompok yang terikat secara geografis, atau oleh kepentingan yang sama, juga terikat dalam situasi yang sama untuk mengangkat isu yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat ini. Community engagement ini merupakan kendaraan yang sangat kuat untuk membawakan perubahan perilaku dan lingkungan yang akan memperbaiki kesehatan masyarakat. Dia juga selalu meliputi kerjasama dan koalisi yang membantu memobilisasi sistem pengaruh dan sumber daya, mengubah hubungan antar mitra, dan menyediakan katalis untuk mengubah kebijakan, program dan praktik-praktik [CDC, 1997, hal 9])

Media-media nasional tidak seberuntung media daerah dari segi keterikatan komunitas. Struktur populasi metropolitan Jakarta yang terdiri dari berbagai suku di Indonesia membuat posisi kultural (cultural positioning) media ibu kota tidak tajam.

Bagi orang Sunda, media Kompas bukan merupakan afiliasi budaya. Tidak juga bagi orang Batak, Menado, dan sebagainya. Bagi Persija, Kompas tidak dipandang sebagai corong suara. Tapi bandingkan misalnya Persib dengan Pikiran Rakyat, PSIM dengan Suara Merdeka, atau PSMS dengan Waspada.

Relevansi Community Engagement di Era Disrupsi

Media massa sekarang memasuki era disrupsi. Banyak media cetak berguguran. Era disrupsi menyebabkan bergugurannya media, terutama tabloid dan majalah. Kebanyakan yang berguguran adalah media Jakarta yang berumur tidak lebih dari 25 tahun. Koran daerah masih tetap berjaya, kalaupun ada yang gugur itu karena mismanajemen atau faktor lain. Surabaya Post misalnya, gugur karena putra-putri Tutty Azis (pendiri) tidak berminat bisnis media. Prof. Dr. Iwan Jaya Azis mengajar di Amerika.

Media daerah sebetulnya memiliki kesempatan untuk menancapkan kukunya secara kultural di komunitas mereka berada. Sebetulnya media daerah sudah memiliki kepekaan kuat terhadap persoalan kemasyarakatan lokal. Tradisi laporan mendalam (indepth reporting) sampai laporan investigasi(investigative reporting) sudah sering dilakukan.

Masalah kurang gizi, akses terhadap air bersih, kesehatan, kemiskinan, pendidikan, dan lain-lain sering dikupas.  Persoalannya, apakah setelah laporan mendalam itu kemudian pemerintah atau pihak terkait lainnya menyelesaikan masalah tersebut? Dengan kata lain, apakah jurnalisme kita sudah mengarah kepada jurnalisme solusi?

Dalam pandangan saya, ada tiga tahap jurnalisme solusi:

Tahap pertama, melaporkan persoalan lokal dan melaporkan solusi dalam satu laporan. Misalkan, bisa saja sebuah media lokal melaporkan tentang peristiwa kurang gizi di daerahnya. Kemudian, media juga bisa melaporkan contoh daerah lain yang bisa menyelesaikan persoalan itu dengan baik. Media bisa mengungkap bagaimana kekeringan mendera daerah itu, tetapi media juga mengangkat bagaimana daerah lain mengatasi kekeringan.

Jurnalisme solusi tahap pertama ini akan memberi inspirasi bagi pemerintah daerah, dan memberikan harapan bagi masyarakat lokal.

Tahap kedua, selain melaporkan peristiwa dan contoh solusi, media juga bisa memfasilitasi pertemuan lintas pemangku kepentingan lokal. Tujuannya adalah mencari titik temu dan usaha bersama melakukan penyelesaian. Media bisa memfasilitasi diskusi terpumpun (focus group discussion-FGD), yang melibatkan pemerintah lokal, masyarakat, kampus, dan unsur lainnya.

Pertemuan ini akan menyamakan persepsi semua pemangku kepentingan. Masing-masing akan mengungkapkan peran maupun kekurangannya. FGD seperti ini akan mengurangi saling curiga, serta memahami kekuatan dan kekurangan masing-masing. Media menjadi pengorganisasi masyarakat (community organiser) yang melahirkan komitmen bersama untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat lokal.

Tahap ketiga, media lokal ikut terjun aktif mengeksekusi perubahan di lapangan melalui penyelenggaraan program dan proyek. Program adalah aktivitas peningkatan kapasitas sumberdaya manusia lokal, sedangkan proyek adalah aktivitas pengadaan fisik. Media lokal bisa mengadakan program pelatihan guru misalnya, atau menyelenggarakan proyek pembangunan sarana mandi, cuci, dan kakus (MCK) misalnya.

Pada tahap ketiga ini media lokal betul-betul menjadi partner negara pada tingkat lokal. Negara memiliki keterbatasan. Anggaran pendapatan dan belanja daerah rata-rata tidak cukup untuk membangun daerah. Ada hal-hal darurat yang tidak bisa ditanggulangi birokrasi. Tugas negara adalah membangun sistem agar semua rakyat menikmati hak-hak dasar. Akan tetapi dengan terciptanya sistem, tidak serta merta rakyat bisa memanfaatkannya karena berbagai keterbatasan.

Sebagai contoh misalnya, negara sudah bisa membangun sistem jaminan kesehatan nasional (JKN). Dengan sistem ini, maka rakyat miskin pun bisa berobat gratis. Negara menanggung biaya medis (medical cost) warganegara. Akan tetapi tidak semua rakyat bisa memanfaatkannya, karena mereka tidak memiliki ongkos transportasi dari desa ke pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), atau dari kampungnya ke rumah sakit di kota.

Selain itu juga mereka tidak punya uang untuk membekali anggota keluarga yang menunggu di rumah sakit. Apalagi jika kerabat yang menunggu itu bekerja sebagai buruh harian. Ini merupakan biaya kemasyarakatan (societal cost) yang tidak bisa dipikul rakyat miskin.

Dengan tingkat kepercayaan yang tinggi dari masyarakat, media lokal bisa memobilisasi dana masyarakat untuk mengatasi hal-hal yang tidak tertangani pemerintah, seperti mengatasi societal cost tadi. Praktik-praktik ini sebetulnya sudah terjadi meski masih terbatas.

Ketika ada bencana misalnya, media massa berbondong-bondong membuka dompet kemanusiaan. Umumnya masyarakat antusias menyumbang melalui media. Media kemudian mengumumkan nama-nama penyumbang serta memberitakan penggunaan dana itu dalam bentuk program dan proyek.

Keterlibatan media dalam usaha-usaha filantropi ini sudah diperbolehkan oleh Dewan Pers. Pada 29 Januari 2013, Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengesahkan Kode Etik Filantropi Media Massa. Kode etik ini merupakan acuan yang digunakan media massa dalam mengelola kegiatan kedermawanan masyarakat, di luar peran utamanya sebagai penyampai informasi dan hiburan.

Pasal 2 ayat 1 pedoman ini menyebutkan, untuk menampung seluruh sumbangan dari masyarakat, pengelola sumbangan masyarakat di media massa wajib membuka rekening bank tersendiri (khusus) yang terpisah dari rekening perusahaan. Dalam hal ini, sebaiknya media massa membuat yayasan tersendiri. Pasal 4 ayat 3 menyebutkan, pengelola sumbangan masyarakat di media massa ditetapkan dalam sebuah surat keputusan perusahaan atau yayasan yang dibentuk media massa.

Kehadiran Yayasan sebetulnya bisa memperkuat posisi media massa lokal di tengah komunitas. Ruang redaksi (newsroom) bisa bekerja sama dengan yayasan. Redaksi dengan yayasan bisa merencanakan liputan dengan topik isu sosial. Misalkan media lokal bisa menurunkan laporan tentang desa-desa yang belum memiliki jamban umum.

Reporter diminta bekerja lebih detail, tidak hanya menyebutkan jumlah MCK yang dibutuhkan. Kalau bisa juga mencari lokasi kemungkinan MCK itu akan dibangun. Jauh dekatnya lokasi akan menentukan biaya pembangunan. Semakin terpencil sebuah dusun, biaya pembangunan akan makin besar karena ongkos transportasi material yang besar.

Dari laporan itu, yayasan bisa merancang program pembangunan MCK, dan menuliskannya dalam bentuk proposal. Dengan kekuatan jejaringnya yang luas, media massa bisa mengajak pihak-pihak lain untuk menyumbang projek pembangunan MCK tersebut. Media bisa menggandeng perusahaan besar untuk mengucurkan dana Corporate Social Responsibility (CSR)-nya. Yayasan bisa saja mengalokasikan sebagian kecil dari dana itu untuk iklan di media massa. Dengan demikian, media massa pun mendapat penghasilan (revenue) dari yayasan.

Bila media lokal yang sejak awal sudah memiliki keterikatan dengan masyarakat mempertajam perhatiannya dengan menerapkan jurnalisme solusi, maka niscaya brand media itu akan semakin kuat di masyarakat. Semakin banyak menyelesaikan persoalan masyarakat, maka media tersebut sudah menjadi media hakiki.

Media hakiki adalah media yang tidak hanya memediasi informasi, akan tetapi memediasi semua potensi masyarakat untuk menyelesaikan persoalan kemasyarakatan. Maka masyarakat tidak lagi memandang brand tersebut sebagai koran, radio atau televisi, akan tetapi menjadi pilar budaya dan sosial. Brand tersebut tidak hanya ada di top mind, tapi sudah menjadi sahabat masyarakat.

***

Keterangan: Artikel ini sudah tayang sebelumnya di blog personal Budhiana.id.