Sulitnya Menjadi Perempuan Timor

Menjadi perempuan berarti menjadi perawat kehidupan. Menjadi perempuan juga berarti hidup dalam dilema. Ia dipuja dan dibutuhkan, namun dijajah sepanjang jalan kenangan.

Jumat, 21 Mei 2021 | 00:26 WIB
0
333
Sulitnya Menjadi Perempuan Timor
Padang berlatar Fatukopa

Seorang pemikir perancis bernama Jacques Rousseau pernah berkata:

"Manusia dilahirkan bebas, namun dimana-mana, ia dipenjara."

Kira-kira begitulah nasib perempuan. Ia dilahirkan bebas, namun dimana-mana, ia dipenjara.

Di penjara oleh apa? dipenjara oleh sistem kolot yg ingin mendominasi. Jadi musuh utama perempuan adalah mental patriarki. Apa itu mental patriarki? mental patriarki adalah mental yang menindas perempuan dengan menggunakan ajaran-ajaran tradisional yang ditafsirkan secara bodoh dan serampangan. Mental ini seringkali diabiarkan dan akhirnya semacam menjadi sistem sosial yang di legalkan.

Dalam kebudayaan kita, sistem ini begitu halus sehingga sebagian perempuan pun tidak merasakannnya. Jadi untuk menjelaskan hal ini, saya punya satu cerita dalam keluarga saya.

Ceritanya begini:

Saya punya seorang sepupu (laki-laki) yg seusai tamat SMA, ia kembali ke kampung. Disana ia menikah dengan seorang perempuan yg ia kenal saat berkunjung ke sebuah kecamatan. Keluarga akhirnya berkumpul untuk melangsungkan acara adat (Masok minta). Setelah itu mereka akhirnya dikarunia 3 orang anak. Dalam beberapa tahun, keluarga kecil mereka baik-baik saja. Hanya saja, semua berubah saat sepupu saya mulai bekerja di kantor koperasi. Ia sering kali keluar ke beberapa kecamatan untuk menagih utang. Karna pekerjaan inilah, saudara saya akhirnya bertemu dan berkenalan dengan perempuan lain.

Setelah berkenalan, kehidupan keluarga mereka berubah. Sepupu saya sering marah-marah dan memukul istrinya. Ia pun menyuruh istrinya untuk meninggalkan rumah mereka.

Beberapa bulan kemudian, sepupu saya mulai membawa perempuan yg ia kenal ke rumah mereka. Ia kenalkan perempuan baru ini kepada ayah dan ibunya.

Istri sah yg memiliki 3 orang anak ini hnya bisa menangis. ia tdk tau harus mengadu kemana. Ia pun malu dan bingung karna sudah diusir oleh suaminya. Jika ia memilih untuk tetap bertahan, ia sudah tidak dianggap lagi. Sedangkan kalau dia memilih untuk meninggalkan suaminya, bagaimana dengan tiga orang buah hatinya.

Oh iya, dalam bahasa daerah kita, diceraikan biasa disebut dengan mpoli. Kalau tidak salah bahasanya seperti itu. Mpoli artinya diceraikan/dibuang/ditinggalkan.

Lanjut soal cerita diatas. Singkat cerita, istri sah dari sepupu saya ini akhirnya memilih meninggalkan suaminya. Ia membawa tiga orang anaknya kembali ke orang tuanya. Sesampainya dikeluarganya, 3 orang anaknya ia titipkan kepada kedua orang tuanya, lalu beberapa bulan kemudian ia memilih menjadi TKW di Malaysia.

Cerita diatas adalah kisah nyata yang terjadi sekitar 5 tahun lalu.

Saya hanya mau mengajak kita untuk coba memikirkan masalah seperti ini dari sudut pandang perempuan.

Coba bayangkan, sudah punya 3 orang anak lalu suaminya memilih bersama perempuan lain. Yg jadi pertanyaannya adalah bagaimana nasip 3 orang anak tersebut yg akan tumbuh dan besar tanpa kasih sayang orang tua? lalu coba kita pikirkan perasaan seorang perempuan yang diceraikan dan diperlakukan seolah tidak berharga. Bayangkan, laki-laki yg adalah sepupu saya, membawa perempuan lain ke rumah mereka. kebetulan selama ini mereka tinggal dirumah tua atau tinggal bersama orang tua laki-laki. Salah satu hal yg membuat saya tidak bisa bayangkan adalah saat diceraikan, diusir dari rumah, bagaimana perasaan perempuan tersebut? Ia harus malu pada keluarga laki-laki, juga malu pada orang kampung yang sudah mengnggap rendah perempuan yg telah di ceraikan.

Dalam kondisi seperti itu tentunya perempuan akan depresi. Posisi perempuan akan sangat rentan pada banyak masalah-masalah sosial lainnya.

Cerita seperti yang terjadi diatas sangatlah banyak dalam kehidupan kita. Sayangnya, dalam masalah2 seperti itu sudah dianggap biasa dlm kebudayaan kita. Laki-laki bahkan tidak pernah disalahkan. Yang sering terjadi adalah perempuan yang dianggap tidak mampu memuaskan suami, tidak becus urus keluarha dan lain-lain.

Cerita diatas hnya contoh saja bahwa dalam kebudayaan kita banyak bersembunyi sistem patriarki yang membuat posisi perempuan selalu berada dibawah. Untuk itu, kita perlu dengan jeli untuk melihat kebudayaan kita agar hal-hal seperti diatas bisa kita lawan dan kalau bisa kita hilangkan sistem patriarki seperti itu.

Dan untuk melawan hal itu, perempuanlah yg harus berani untuk bersuara dan melawan. Perempuan harus betul-betul mampu melihat setiap masalah yang terjadi dgn jernih agar tidak malah menyalahkan perempuan dgn cepat-cepat mendukung posisi laki-laki.

Banyak berita yg kalau kita baca dimedia. Perempuan hnya disuruh mengurus anak dan masalah2 di rumah saja, sedangkan laki-laki bebas bepergian kemana pun. Saat anak kekurangan susu, laki-laki masih terus santai dengan menarik rokok tanpa henti. Jika ada masalah dlm rumah tangga, perempuanlah yg akhirnya dikorbankan. Kalau perempuan dikorbankan, makan anak juga ikut dikorbankan.

Selanjutnya, tolong didik anak laki-laki dan perempuan tanpa membeda-bedakan. Jangan menanam sistem patriarki pada anak laki-laki seglhingga dia boleh memukul saudara perempuannya, karna kalau tidak, ini akan terus terbawa sampai kelak ia berumah tangga.

Kita semua memasuki gerbang kehidupan melalui perempuan. Sebagian besar manusia menjadi penghuni rahim perempuan selama sembilan bulan. Disanalah kehidupan tercipta. Ketika pertama kali menginjak dunia, kita juga dibimbing oleh perempuan. Cara-cara dunia juga pertama kali diajarkan oleh perempuan. Perempuanlah yang sesungguhnya menjadi tulang punggung keluarga. Tanpa perempuan, keluarga akan tersesat di jalan.

Sayangnya, hampir di seluruh penjuru dunia, perempuan dipenjara. Budaya memenjarakannya. Masyarakat menjajahnya. Perempuan memberi, namun ia tak pernah sungguh dihargai.

Dia tak boleh belajar. Kecerdasan dianggap sebagai sumber pemberontakan yang menganggu harmoni masyarakat. Dia bahkan tak boleh bekerja. Seumur hidupnya, semua keputusannya didikte oleh lingkungan sosialnya, terutama para laki-laki.

Sebagai ibu dari kehidupan, perempuan harus keluar dari penindasan. Ia mesti sadar, bahwa peran sosial yang ia jalani bukanlah sebuah kemutlakan. Pilihan ada di tangannya, asal didasari kesadaran, bahwa kehidupan bertopang di bahu mereka. Ia mesti bangkit dari perasaan tak berdaya yang ditimpakan kepadanya oleh masyarakat.

Namun, ini semua tergantung dari perempuan itu sendiri. Bisa dibilang, kunci perubahan sosial adalah perubahan di dalam cara perempuan memandang dunianya.

Menjadi perempuan berarti menjadi perawat kehidupan. Menjadi perempuan juga berarti hidup dalam dilema. Ia dipuja dan dibutuhkan, namun dijajah sepanjang jalan kenangan. Sudah waktunya, dilema ini diakhiri. Kita perlu mendorong pembebasan kaum perempuan. Setiap saat.

***