Melacak (dengan) Masa Lalu

dalam penanganan contatc tracing berkait menggilanya paparan virus corona di jaman pandemi, Pemerintah Indonesia menolak pemakaian aplikasi contact tracing. Lebih memilih cara manual.

Senin, 2 Agustus 2021 | 07:37 WIB
0
121
Melacak (dengan) Masa Lalu
Tracing Covid-19 (Foto: ugm.ac.id)

Nun pada jaman dahulu kala, lembaga survey yang melakukan pemeringkatan (rating) siaran televisi di Indonesia, menggunakan pola diary. Dengan memilih responden tertentu di daerah tertentu, beberapa lembaga survey menyodorkan form mingguan. Untuk mencatat dalam seminggu menonton acara televisi apa saja dan berapa lama.
Pada form isian, tercetak kolom tanggal dan jam, serta kolom-kolom lain untuk masing-masing nama stasiun TV.

Persoalannya, apakah kita menonton televisi sembari mencatat? Pada praktiknya, form isian dikumpulkan seminggu sekali itu, baru akan terisi (atau diisi) ketika petugas survey datang mengambil form tersebut dan memberikan form baru. Demikian rutinitas seminggu sekali. Mengambil form isian, dan mengganti dengan yang baru.

Meski disebut metode ‘diary’, nyatanya ‘laporan mingguan’ itu praktiknya diisi seminggu sekali dan sekaligus. Yang terjadi akhirnya hanya menyodorkan data dari dan secara ingatan. Pengisi form sembari mengingat-ingat, apa saja yang telah ditonton selama seminggu? Lha, mangsalahnya, TV tidak ditonton satu orang. Mungkin suatu ketika ditonton anak, ibu, bapak, bergantian, dan tentu beda-beda. Belum lagi jika setiap kamar ngadep TV sendiri-sendiri.

Belum pula jika yang mengisi ternyata bukan pemilik TV, tetapi PRT dari keluarga yang menjadi responden itu. Sang PRT tidak tahu harus ngisi apa. Tentu juga merasa aneh jika mesti menanyai tuan dan nyonya rumah nonton apa saja dalam seminggu itu.

Pola diary itu berjalan tahunan. Toh dipakai sebagai ukuran stasiun TV dan agency periklanan. Akibat lebih jauh, hal itu berpengaruh besar pada orientasi program dan wajah pertelevisian di Indonesia --hingga kini. Terjadi kesalahan pembacaan. Top rating media, dianggap equel atau sama dan sebangun dengan nilai kualitas. Padal tak ada hubungan antara rating tinggi dengan kualitas program. Tergantung tingkat literasi masyarakat. Bisa jadi, rating tinggi namun secara nilai intrinsik rendah.

Dalam perkembangan kemudian pola diary diganti agak modern dikit. Menerapkan metode people meter. Setiap responden ‘dipinjami’ alat semacam chip (decoder), yang bisa ditempelkan ke pesawat TV. Alat itu, kan otomatis merekam apa saja yang disetel pada pesawat TV. Meski hanya sedetik nonton salah satu stasiun televisi, akan tercatat. Dengan alat remote control dan keengganan adanya iklan komersial, penonton TV punya keleluasaan memindah-mindah channel.

Hingga hari ini, lembaga rating di Indonesia masih menggunakan pola sama. Tak ada perubahan berarti. Demikian juga penggunaannya. Metode statified random ini juga dipakai beberapa lembaga polling berkait para calon presiden yang disodorkan. Bahkan sampai ke calon bupati dan kepala desa. Tingkat akurasi? Jika masih ada tangan manusia di situ, yang bisa digerakkan dengan otak kotor dan pikiran kotor, data bisa dimanipulasi. Tergantung pada centhelan.

Berbeda dengan Jepang, semua produk baru televisi, salah satu syaratnya boleh dipasarkan jika dilengkap chip atau alat sensor yang bisa mendetek serta melaporkan ke pusat data penyiaran negara itu. Negara yang akan punya data, rakyatnya nonton apa saja dari media televisi apa aja di sana. Untuk kontrol rakyat? Merampas hak private individu? Tidak. Negara hanya mendapatkan angka atau data. Tak ada urusan apakah warganya menonton film porno atau menonton acara yang memaki-maki pemerintah.

Seperti kerja senyap para telik sandi jaman dulu, hanya untuk sebagai mata dan telinga raja, agar pemimpin tahu feedback dari kebijaksanaan dan tindakan apa yang mesti dilakukan sebagai antisipasi. Kontrol kekuasaan pada aspek ethos pemimpin.

Data inteijen, atau katakan data tontonan TV itu, hanya untuk dibaca agar negara atau pemerintah mengetahui kebijaksanaannya, berdasar argumentasi dan pengetahuan atas kondisi masyarakat. Dengan cara itu, pemerintahan Jepang mengetahui apa yang disukai dan tidak disukai rakyatnya, atas berbagai hal yang muncul lewat media televisi. Bukan untuk mengancam atau menindas selera masyarakat.

Dengan pengantar seperti saya tuliskan di atas, saya hanya ingin menyampaikan; Hingga dalam penanganan contatc tracing berkait menggilanya paparan virus corona di jaman pandemi, Pemerintah Indonesia menolak pemakaian aplikasi contact tracing. Lebih memilih cara manual. Kenapa tidak memakai aplikasi teknologi komunikasi dan informasi canggih yang tersedia? Alasan Pemerintah sederhana; Tidak ingin dianggap memata-matai rakyatnya.

Alasan yang mengada-ada. Terkesan sangat nganu dan horor. Lhah, membebaskan rakyat jual-beli nomor perdana dengan registrasi online, sementara lewat HP pula mobilitas pemakainya bisa diakses dan direkam dalam aplikasi GPS itu? Karena setiap keputusan Pemerintah, selalu persoalan pokoknya ada udang dibalik bisnis kebijakan. Soal vaksin, soal laptop dikbud yang spek-nya rendah tapi muahal banget. Coro aja bisa ketawa melihat hal itu. Sayangnya, coro tak bisa melihat hal itu. Bisa didenda 5jt atau dibui tiga hari.

Karena mangsalahnya, kalau menggunakan lacak kontak teknologi tinggi, siapa mitra yang diajak? Siapa saja di barisan di belakangnya? Itu juga pertanyaan yang muncul, kenapa Wishnutama diganti Sandiaga Uno sebagai menteri pariwisata. Begitu juga kenapa dokter Terawan diganti Budi Sadikin selaku menteri kesehatan. Dan seterusnya. Semua tergantung legacy apa yang mau diberikan Jokowi, dalam gebrakan terakhirnya. 

@sunardianwirodono

***