Perawat Raisa

Raisa dan adik-adiknya akan terus membuat Ashari lebih sibuk. Sampai ia rela menurunkan pangkatnya sendiri menjadi humas Unair. Hasil lebih penting dari status.

Selasa, 5 Mei 2020 | 05:51 WIB
0
235
Perawat Raisa
Khofifah dan Robot Raisa (Foto: Disway.id)

Perawat baru itu bernama pendek: Raisa. Tapi langkahnya panjang: tidak pernah lelah. 

Raisa adalah juga satu-satunya perawat yang tidak akan pernah tertular Covid-19.

Dia seorang, eh, sebuah robot.

Tempat dinas Raisa di Rumah Sakit Universitas Airlangga. Yang dikhususkan untuk pusat penanganan Covid-19 di Surabaya.

Penempatan pertama Raisa sebenarnya di lantai 5. Itulah lantai khusus untuk ICU. Tapi di ICU itu pekerjaannyi tidak sebanyak kemampuannyi.

Akhirnya Raisa dimutasi ke lantai 4 --yang beban kerjanya lebih besar.

Raisa dilahirkan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Bidannyi terdiri dari 4 dosen dan 12 mahasiswa --elektro, komputer, informatika, dan mesin. Kepala bidannya: Rudy Dikairono ST, MT --dosen Fakultas Teknik Elektro ITS.

Dengan hadirnya Raisa, beban perawat di rumah sakit itu berkurang --terutama beban mental. Kemungkinan tertular sangat berkurang.

Raisa-lah yang lebih sering berhubungan dengan pasien. Dia yang lebih sering ke kamar pasien --mengantarkan obat, alat ukur suhu, atau makanan minuman. 

Kadang Raisa perlu agak lama di dekat pasien. Yakni ketika pasien memerlukan dialog dengan perawat atau dokter. Raisa memang dilengkapi kamera dan screen. Pasien bisa bertanya kepada perawat yang wajahnya muncul di layar. Lalu si perawat menjawab lewat layar itu.

Begitu tugas di kamar itu selesai Raisa kembali ke ”meja kerja”-nyi: kumpul bersama perawat jaga di ujung lantai itu. 

Raisa yang satu ini belum sepenuhnya ”dewasa”. Raisa sengaja dilahirkan dengan kecerdasan terbatas. Dia masih harus dibantu dengan remote control.

Bukan karena ITS tidak mampu. Tapi karena waktu. ”Robot ini harus sudah jadi dalam dua minggu,” ujar Rudy Dikairono.

Waktu itu ”cepat berfungsi” lebih utama daripada ”kecerdasan yang sempurna”. Apalagi yang diprioritaskan adalah faktor keamanan perawat dan dokter. Bukan tingkat kecanggihannya. 

Dengan hadirnya Raisa, kadar pertemuan langsung perawat dengan pasien turun 60 persen. Begitulah keterangan perawat di rumah sakit itu.

Tentu saya tidak bisa melihat langsung kerja Raisa di lantai 4 itu. Prosedur ke RS itu sangat ketat. Apalagi saya adalah jenis orang yang paling rawan tertular --tiap hari saya justru minum obat penurun imunitas.

Tapi saya bisa minta tolong seorang dokter. Saya titip pertanyaan untuk perawat di sana. Saya kenal dokter itu. Si dokter kenal perawat itu. ”Turun 60 persen,” adalah kata-kata perawat ke DI’s Way lewat sang dokter.

Raisa terbukti bisa menunjukkan prestasi kerja. Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa pun memesan lagi dua Raisa. Sedang anggaran dari Kementerian Ristek Dikti masih cukup untuk membuat satu Raisa lagi. Berarti akan ada tiga Raisa baru di Rumah Sakit Unair.

”Yang satu sudah selesai. Dua Raisa lainnya bisa jadi dalam enam hari ke depan,” ujar Rudy.

Rudy kini lagi menyelesaikan S3 di ITS. Yang penelitiannya juga tentang robot. Khususnya robot sepak bola. ”Robot sepak bola itu paling advance,” ungkap Rudy.

Baca Juga: Tirani Minoritas

Ia sendiri bukan pemain bola. Hanya suka menontonnya. Tapi membuat robot sepak bola sungguh sulit. ”Tiap tahun ada pertemuan ahli robot sepak bola,” kata Rudy. ”Tahun ini mestinya di Prancis. Batal gara-gara Covid-19,” tambahnya.

Rudy ini anak Sidoarjo --dari Desa Sukodono. Sampai sekarang ia masih tinggal di desa itu. Tiap hari PP ke ITS di kawasan timur Surabaya. 

Tentu SMA-nya juga di Sidoarjo --SMAN 1, satu kandang dengan Rektor ITS sekarang.

Setamat S-1 Elektro ITS, Rudy ambil double degree: di ITS dan di Fachhochschule Darmstadt, Jerman.

Tim ITS, katanya, bisa membuat Raisa hanya dalam dua minggu berkat pengalaman panjangnya.

ITS sudah punya tim robot yang mapan. Tiap tahun ada saja gelar juara yang diraih. Baik tingkat nasional maupun internasional. 

Misalnya tim robot sepak bola itu --juara nasional. Itulah robot sepak bola pertama ITS --dengan penggerak roda. Tahun berikutnya lebih maju lagi. Disebut robot Ichiro --penggeraknya sudah bukan roda lagi. Pemain sepak bolanya sudah berlari dengan kaki.

Lalu diciptakan lagi robot Barunastra --robot kapal. Yang kita tahu pergerakan kapal itu juga begitu sulitnya --terutama saat ”take off” dan ”landing”.

Tiga robot ITS itu semuanya sudah serba otomatis. Bisa diandalkan. Motonya: Satu hati. Untuk negeri. Wani! 

Jadi, bahwa Raisa masih perlu pakai remote control itu karena memang diinginkan begitu.

Hampir saja saya tidak mengenal Raisa. Kalau saja Rektor ITS, Prof. Ir. Mochamad Ashari, M.Eng., Ph.D, tidak usil. Tiba-tiba saja saya baca, di medsos, Prof Ashari jadi humas Unair. Tanpa dibayar dan tanpa SK. Rektor ITS itu mempromosikan Unair.

Prof Ashari rektor ITS (kiri) dan Rektor Unair, Prof M.Nasih (dua dari kiri).

Ups... Ternyata mempromosikan ITS juga. Lewat prestasi tim robotiknya itu. ”Nama Raisa sendiri usulan dari Unair,” ujar Prof. Ashari. Waktu belum dibawa ke Unair namanya masih Raitsa --ada huruf ”i-t-s” di dalamnya. 

Raisa, kata Prof Ashari, adalah hasil kerja sama dua universitas besar di Surabaya itu. 

Prof. Ashari baru satu tahun jadi rektor ITS. Ia seperti ”anak hilang” yang kembali ke ibu kandungnya. Lima tahun lamanya Ashari ”berjuang” di Bandung. Di luar ITS. Untuk menjadi rektor Universitas Telkom pertama. Yakni gabungan empat sekolah tinggi Telkom --yang merger menjadi Universitas Telkom. Prof. Ashari-lah bidan penggabungan itu.

Tahun lalu Universitas Telkom menduduki peringkat satu universitas swasta di Indonesia. Dengan jumlah mahasiswa 30.000 orang. 

Kini Prof. Ashari sudah pulang ke kandang. Ia alumnus Elektro ITS. Rumahnya di Sidoarjo. Di Desa Wonoayu --dekat pesantren besar Bumi Shalawat milik Gus Ali. 

Setamat S-1 Ashari mencari beasiswa sendiri. Belum ada email waktu itu. Semua proposal ia kirim lewat faksimile. Usahanya berhasil. Ia diterima di Curtin University di Perth, Australia Barat. Di situ Ashari menyelesaikan gelar S-2 dan S-3 nya.

Meski rektor ITS, Prof. Ashari tetap tinggal di Desa Wonoayu. Tidak mau pindah ke Surabaya. ”Saya memilih bersama ibu di Wonoayu. Tinggal ibu. Ayah sudah meninggal,” ujarnya.

Ayah-ibunya asli Desa Wonoayu itu. Petani. Mencangkul dan menanam padi. Tapi 4 anaknya mentas semua: dua doktor, satu dokter, satu lagi direktur BUMN besar.

Ashari rajin mempromosikan Raisa. Apalagi akan segera lahir Raisa-Raisa berikutnya. Dengan nama depan tetap Raisa.

Adik Raisa itu kemungkinan akan diberi nama Raisa Tiara. Tugasnya di lantai 2. Adiknya lagi bisa saja bernama Raisa BCL --Backer Calm Down Labour. Untuk lantai 3. Adik ketiga di lantai 4: Raisa Rosa --ransum, obat, salep, antiseptik.

Adik-adik Raisa dibuat lebih pintar. Bisa mengukur suhu dan lain-lain. Sedang Raisa sendiri akan balik ke lantai 5 --ke ICU. Tapi Raisa akan cuti dulu dua-tiga hari. Agar kameranya bisa muter-muter. Untuk memonitor berbagai sudut ruang ICU. Dokter dan perawat ICU bisa tidak sering-sering ke dalam. 

Raisa dan adik-adiknya akan terus membuat Ashari lebih sibuk. Sampai ia rela menurunkan pangkatnya sendiri menjadi humas Unair. Hasil lebih penting dari status. 

Dahlan Iskan

***