Tentang Pitik Trondhol

Pengumuman KPU yang dipercepat semacam strategi untuk mentrodoli pihak yang kalah, kekalahan yang sudah diketahui 2 jam setelah Pilpres selesai dilakukan.

Selasa, 11 Juni 2019 | 07:50 WIB
0
4164
Tentang Pitik Trondhol
Pitik trondhol (Foto: Iwan Muljono)

Budaya Jawa itu menyediakan sedemikian banyak pasemon, perumpamaan, peribahasa untuk menggabarkan situasi aktual yang saya pikir aktual sepanjang zaman. Kali ini saya ingin bercerita tentang ayam trondol, yang sebenarnya bisa punya banyak pengertian.

Pertama, ayam kecil yang jumlahnya (biasanya) cukup banyak, dan dianggap (paling) bodoh. Agak aneh memang, bagaimana manusia bisa membedakan ayam pinter dan ayam bodoh. Tapi sebenarnya mudah saja, ayam bodoh di hari gini, kalau ketemu motor lewat biasanya mudah panik. Ia biasanya lalu lari-lari ngawur, nabrak sana nabrak sini.

Biasanya kalau di pinggir jalan raya, jenis inilah yang paling mudah disambar kendaraan lewat. Tentu saja langsung bablas. Jadi kalau lihat, ada bangkai ayam dengan bulu berhamburan di pinggir jalan. Dapat dipastikan ia sejenis ayam trondol.

Dalam peribahasa Jawa, ada ungkapan "pitik trondol diumbar ing pedaringan". Secara harafiah ini mirip peribahasa Melayu: tikus mati di lumbung! Pedaringan itu tempat menyimpan beras, bentuknya bisa apa saja peti, lemari, atau omah lumbung.

Pointnya, si ayam ini sekalipun diumbar, dilepasliarkan di sekitar lumbung. Tetap saja cuma clingak clinguk mematuki tanah. Ia bukanlah penjaga yang baik, tapi sekaligus bukanlah pencuri yang cukup cerdas. Ia hanya bahan tertawaan! Persis seperti: ah sudahlah....

Pemaknaan kedua, berkait dengan kultur adu jago atau sabung ayam. Biasanya salah satu bahan taruhan, bila salah satu atau kedua penjudi sudah tak punya lagi uang atau sesuatu untuk dipertaruhkan. Ia akan mempertaruhkan, si ayam jago-nya itu sendiri.

Ingat zaman Pendawa terlibat judi adu dadu kopyok dengan Kurawa, lalu ia dikerjain Sengkuni. Setelah tak ada lagi yang dipertaruhkan, taruhan terakhir adalah Drupadi, permaisuri Yudhistira. Tentu itu bukan maunya Pendawa, apalagi Yudhistira.

Ini siasat licik Sengkuni, seorang tokoh antagonis yang dibela mati-matian oleh CN. Ia dianggap simbol korban kebengisan fitnah masa lalu. Sehingga di sisa hidupnya ia abdikan diri sebagai provokator, cerita ironik yang mengada-ada menurut saya.

Baca Juga: Prabowo Cuma Sekadar Pion?

Ketika akhirnya Drupadi dimenangkan, maka munculah niat jahat Kurawa untuk menelanjanginya. Karena tak tega melihatnya, para Dewa turun tangan membuat keajaiban, dengan membuat kain jarik yang dipakainya tak pernah habis lilitannya. Laksana air yang tak habis ditimba, hingga para Kurawa teler kehabisan tenaga tak mampu membuka aurat Drupadi. Hanya konde rambutnya yang bisa diurai, dan sejak itu ia tak mau menyanggulnya kembali. Hingga tiba Perang Baratayudha, dan ia mengkeramasnya dengan darah Dursasana yang dianggapnya paling mempermalukan harga dirinya.

Dalam istilah Jawa, apa yang terjadi pada Drupadi laksana ayam jago itu, ia telah di-trondoli. Ayam yang kalah sebagai taruhan, biasanya untuk mempermalukan si pemilik lama dicabuti bulunya, hingga tinggal tampak kulitnya. Dibiarkan lepas berlarian menanggung malu, hingga akhirnya mungkin mati disembelih....

Apa relevansinya dengan kondisi hari ini?

Saya melihat fenomena ini terjadi di kubu Prabowo dan tim sorak horenya. Mungkin dengan strategi populisme untuk menang cepat. Ia menggunakan hoax, ujaran kebencian, dan fitnah. Tentu sasarannya adalah masalah kelas paling bawah, yang paling susah, dan mudah terbakar.

Ia menggunakan "para ayam trondol" ini, tidak hanya sekedar sebagai obyek tetapi sekaligus subyek. Terbukti dan dapat dilihat, biasanya jika si pelaku ditangkap, lalu mimbik-mimblik minta maaf, minta diampuni kesalahannya. Menganggap diri hanya emosi sesaat, atau malah justru menjudge diri sebagai korban dari informasi yang salah.

Baca Juga: Robohnya Koalisi Kami, Lain Prabowo Lain Hillary

Mereka ini jumlahnya banyak sekali, dan tak memandang SSE (status sosial ekonomi). Semakin pesimis orang memandang hidup di masa depannya, ia layaknya pitik trondol. Orang yang sebenarnya kelas paling rapuh, sangat mudah dipermalukan, lalu disembelih begitu saja. Tentu saja saya prihatin, berapa banyak orang yang dikorbankan begitu saja, untuk bukan suatu kemenangan yang sejati.

Dan puncaknya adalah peristiwa ketika KPU mempercepat pengumuman hasil Perhitungan Pilpres dan Pileg. Ini semacam strategi untuk mentrodoli pihak yang kalah. Suatu kekalahan yang sebenarnya sudah diketahui 2 jam setelah hajatan pemilihan selesai dilakukan.

Lalu untuk apa People Power atau Gerakan Kedaulatan Rakyat itu dilakukan? Jawabannya sederhana: kita ini masyarakat sinetron, kita tidak cukup nonton sinetron di telepisi tapi juga butuh di dunia nyata. Mosok acara adu jago gak ada sinetronnya....

Terakhir apakah semua trondol itu jelek? Setidaknya ada seorang pengarang atau penggubah lagu Tarling favorit aya asal Indramayu bernama asli Sutono tapi lebih populer dipanggil Nono Trondol atau Trondhol Melody. Lagunya paling populer "Juragan Empang" bisa menasional, padahal berteks bahasa gaya Cirebonan. Sayang musisi berbakat ini telah meninggal tahun 2016. Jika mengenangnya, saya suka tersenyum sipu sendiri deweke pancen trondhol tenan.....

Oh ya, ayam jago (sejati) sudah berkokok mengabarkan kemenangan yang diumumkan secara dipercepat. Mengingatkan gerompolan pitik trondhol dipersilahkan menepi dulu, daripada pada kesamber....

Sing penting: menang rasah umuk, kalah mbok rasah do ngamuk!

***