Robohnya Koalisi Kami, Lain Prabowo Lain Hillary

Cara terbaik bagi Prabowo Subianto adalah segera mengakui kemenangan lawan, namanya akan tercatat dalam sejarah sebagai capres yang ksatria, tetapi itu tidak dilakukannya.

Jumat, 7 Juni 2019 | 06:57 WIB
0
903
Robohnya Koalisi Kami, Lain Prabowo Lain Hillary
Donald Trump, Hillary Clonton, Prabowo Subianto (Foto: Tribunnews.com)

Semula koalisi dibentuk dengan semangat memenangi pertarungan. Lantas pertemanan antarpartai pun terjalin. Namun tatkala kemenangan jauh panggang dari api, koalisi pun berguguran seperti rontoknya dedaunan di musim semi. Meminjam judul novel AA Navis "Robohnya Surau Kami", tidak terlalu keliru kalau harus dikatakan "robohnya koalisi kami".

Empat sekawan yang menjalin perteman -Gerindra, PAN, PKS, Demokrat- berlangsung hanya semusim, musim Pilpres. Bagi koalisi ini, musim pancaroba yang paling mengerikan sekaligus mematikan terjadi pada 17 April 2019, saat 55,50 persen rakyat menjatuhkan pilihan pada Presiden yang didukung koalisi lawan. Capaian 44,50 dengan selisih 16,5 juta suara adalah musim kering yang mematikan itu. Koalisi pun bubar menyelamatkan diri masing-masing.

Masih ada upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi, tetapi itu upaya menegakkan benang basah, sekadar mengalihkan isu kerusuhan 21-22 Mei agar tidak diterakan pada pendukung koalisi dengan Prabowo Subianto sebagai capresnya. Menunjukkan kepada MK bahwa separuh dari 16,5 juta suara itu sebagai kecurangan itu ibarat menulis di atas permukaan air yang mengalir deras.

Benar bahwa Gerindra alias Partai Gerakan Indonesia Raya milik Prabowo telah mempersilakan dua partai rekan sekoalisi dalam Pilpres 2019, yaitu Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional meninggalkan koalisi, tetapi itu lebih dari sekadar ungkapan "mutung" alias kecewa kalau tidak mau dikatakan marah besar.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Andre Rosiade mengatakan, "Kalau Demokrat mau berkoalisi dengan Jokowi silakan saja, itu haknya Demokrat. Jadi intinya itu haknya Demokrat, kami tidak perlu mencampuri urusan rumah tangganya Demokrat."

Sesungguhnya, tanpa pernyataan itupun Gerindra sudah pasti akan ditinggalkan para petualang politik semacam PAN dan Demokrat, wong kepentingan mereka itu jangka pendek semata.

PKS belum memancarkan sinyal kuatnya, tetapi dengan lolosnya ambang batas parlemen yang ditentukan di mana PKS memperoleh kursi yang signifikan, urusan Pilpres dan siapa yang menjadi presidennya bukan hal penting lagi. Sudah "out of date", bukan hal yang menarik lagi. Secara kepartaian PKS aman dan tidak harus ngotot mempertahankan capres dari partai lain.

Jika tiga kawan seiring sudah balik badan, maka tinggal Gerindra sendirian.

Baca Juga: AHY Sudah ke Istana, Benarkah Jokowi Butuh Menteri Milineals?

Manuver Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono, kakak-beradik putera SBY yang juga pemegang saham terbesar Demokrat, bertemu dengan Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri pada saat Idul Fitri, Rabu 5 Juni 2019 lalu. Ini "silaturahmi" yang tidak biasa dari Demokrat, apalagi dikontraskan dengan tidak silaturahminya kakak-beradik ini ke Prabowo, capres sekoalisi.

Jauh sebelumnya Sekjen Partai Demokrat Hinca Pandjaitan menyebut usia koalisi Adil Makmur, nama koalis pendukung capres Prabowo, sudah berakhir seiring dengan pengumuman hasil pemilu oleh KPU pada 22 Mei 2019 lalu, yang kemudian didahului kerusuhan itu. "Jangan kau paksa kami main bola terus, capek juga," kata Hinca dengan gaya bicara khas anak Medan.

Pun PAN. Lewat Wakil Ketua Umum-nya, Bara Hasibuan, terang-terangan menyebut koalisi penyokong Prabowo- Sandiaga Uno sudah berakhir. "Secara de facto sudah selesai," tekan Bara.  

Dua pernyataan menohok dari dua rekan sekoalisi itulah yang membuat Andre mengatakan bahwa Gerindra tak ingin ikut campur.  Tentu tidak mau ikut campur dalam urusan Demokrat dan PAN.

Menurut Andre, persoalan pindah koalisi adalah urusan masing-masing partai. Benar bahwa fokus Gerindra adalah "melawan kecurangan" mengikuti gugatan sengketa hasil Pilpres di MK. Bahkan akibat "kecurangan" itu ia optimistis MK akan memenangkan Prabowo sekaligus mengabulkan gugatan mereka mendiskualifikasi kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin. 

Tetapi, adakah di dunia ini seorang Presiden menduduki kekuasaan dari hasil mendiskualifikasi si pemenang? Kalaupun MK mendiskualifikasi kemenangan Jokowi-Ma'ruf, bagaimana dengan pemilih mayoritas yang 55,50 persen sedangkan dalam demokrasi berlaku azas 50% + 1 di mana satu suara pun sangat menentukan. Dan ini 16,5 juta suara!

Cara terbaik bagi Prabowo Subianto adalah segera mengakui kemenangan lawannya. Dengan demikian namanya akan tercatat dalam sejarah politik mutakhir sebagai capres yang ksatria, yang tidak kalah oleh Hillary Clinton saat mengakui kemenangan Donald Trump dalam sebuah pidato yang mengesankan itu.

Tetapi ini pun sudah terlambat, apalagi Prabowo tidak melakukannya.

Ia kalah tanpa sedikitpun "memenangi" remeh-temeh di luar kekalahannya itu.

Beda dengan Hillary.

***