Pemudik Gadungan [10] Mudik ke Hatimu

Mudik dengan begitu menjadi konsep mental. Kita mudik ke mana kita memiliki masa lalu yang membahagiakan.

Jumat, 28 Juni 2019 | 13:22 WIB
0
536
Pemudik Gadungan [10] Mudik ke Hatimu
Ilustrasi keluarga (Foto: Liputan6.com)

Bapak saya dari Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat. Ibu saya dari Tiku, Agam, yang berjarak 70 kilometer dari Ulakan. Ibu dari ibu saya dari Labuhan, 20 kilometer dari Tiku. Jika ditelusuri, sebelum ke Labuhan, neneknya datang dari Bawan dan yang dari Bawan ini turun dari Maninjau, keduanya masih di Kabupaten Agam.

Ayah dari ibu saya dilahirkan seorang perempuan yang berasal dari Gasan, masih satu keturunan dengan Siti Manggopoh. Ayah dari kakek saya adalah seorang pedagang Arab Yaman yang berlabuh di kampung kediaman ibu kakek saya di Katiagan, kini masuk Kabupaten Pasaman Barat. Di seberang Katiagan ini adalah Labuhan. Secara patrilineal, kebiasaan Arab, ibu saya adalah keturunan Arab.

Nenek garis ayah saya dari Ulakan. Jika ditelusuri lebih jauh, sampai beberapa kali nenek, berdasarkan garis matrilineal, nenek dari bapak ini berasal dari Paninggahan di pinggir Danau Singkarak yang kini masuk Kabupaten Solok.

Ayah dari bapak saya berasal dari Sunur, kini masuk Kota Pariaman. Beberapa kali Bapak menyebut kami keturunan Tuanku Bamban, anak buah Tuanku Imam Bonjol yang ikut menyerbu Tapanuli Selatan. Nama ini muncul dalam sebuah liputan Majalah Tempo mengenai kontroversi Tuanku Rao. Nama Bamban ini yang diabadikan bapak saya kepada anak-anaknya. Bambani.

Asal-muasal bapak juga bisa ditelusuri dari gelar di depan namanya, Bagindo. Dalam adat Pariaman, gelar Bagindo menunjukkan asal keturunan bangsawan Pagarruyung. Gelar ini diwariskan dari ayah ke anak. Begitu saya menikah, saya otomatis memiliki gelar Bagindo di depan nama. Jika pakai dasar ini, asal bapak saya secara garis keturunan laki-laki juga dari Luhak Tanah Datar di mana Pagarruyung berada.

Anak saya lebih rumit. Sebagai anak laki-laki, dia berhak mewarisi gelar Bagindo dari saya setelah menikah nanti. Dari ibunya, dia bersukukan Koto. Nenek ibunya, dari garis ibu, adalah keturunan Koto dari Alang Laweh, Padang. Alang Laweh dianggap sebagai daerah awal di Padang. Dari garis bapak istri, berasal dari Kubang, 50 Kota. Kakek dari ibu istri saya juga seorang Belanda.

Lalu ke mana kami mudik yang paling pas?

Orang Minangkabau merunut asalnya atau mudiknya berdasarkan garis keturunan ibu. Saya, jika mengikuti sistem matrilineal, berasal dari Maninjau, Luhak Agam. Namun sampai hari ini, saya tak tahu di bagian Maninjau mana nenek moyang saya itu berasal. Yang saya tahu, kampung saya adalah Tiku yang kira-kira 35 kilometer jauhnya dari Maninjau.

Anak saya pasnya mudik ke Kota Padang, sama dengan ibunya. Apalagi dia juga dilahirkan di sana. Namun sebagai anak yang dibesarkan di Jakarta, tentu dia berhak mengklaim Jakarta sebagai kampung halamannya ketika misalnya suatu hari merantau ke luar Jakarta atau ke luar negeri.

Saya bisa mudik ke Tiku, selain tempat ibu dan saya dilahirkan, juga di sanalah kami besar. Almarhum ibu dimakamkan di Tiku. Meski, sebenarnya, di Tiku pun, ibu bukan terkategori orang asli Tiku karena berasal dari Labuhan, 20 kilometer ke utara Tiku. Karena orang di Jakarta tahunya semua bagian di Sumatera Barat sebagai Padang, ketika saya sebut Tiku tentu tak tahu. Saya lebih mudah menyebut asal dari Padang.

**

Seorang Batak yang memiliki ibu dan ayah asli Batak di dekade kedua abad 21 ini mengirimkan sampel DNA-nya ke dua layanan uji DNA di Amerika Serikat. Hasil tes lembaga pertama menyimpulkan dia adalah 98,7 persen asli Asia Tenggara. Tes lembaga kedua menyebut 98 persen gennya sama dengan Asia Timur dan orang asli Amerika. Namun menariknya dia memiliki DNA Asia Selatan (India) dan DNA suku Yakut yang berasal dari Turki.

Dan tes itu menemukan juga dia membawa sejumlah gen Neanderthal namun tidak signifikan. Dia tidak mendapatkan gen yang toleran terhadap laktosa atau susu. Toleransi terhadap susu ini berkembang setelah Homo sapiens kawin dengan sepupunya, Neanderthal, yang telah memiliki gen toleran terhadap susu.

Potret gen orang Batak ini menjelaskan dengan gamblang pernyataan David Reich, genetikawan Harvard, dalam bukunya "Who We Are and How We Got Here" bahwa sebelum komunitas gen yang berbahasa Austronesia mendominasi kawasan barat Indonesia (artinya termasuk Batak), sudah lebih dulu ada penutur Austroasiatik dari utara yang kini dominan di Thailand, Kamboja dan Vietnam. Migrasi gen ini juga sesuai dengan temuan linguistik di mana ada kata-kata dalam rumpun bahasa Austroasiatik yang dipakai dalam Bahasa Dayak yang termasuk rumpun Austronesia.

Rumpun Austroasiatik lebih dulu memasuki wilayah barat Indonesia. Kemudian setelah itu datanglah rombongan besar penutur Austronesia yang kini menjadi bahasa dominan di wilayah yang membentang dari Samudera Pasifik hingga Samudera Hindia.

Austroasiatik berasal dari daratan Asia. Sementara Austronesia, menurut Peter Bellwood dan diamini David Reich, berasal dari Taiwan. Namun ada satu pendapat lain, Austronesia ini berawal dari Sundaland yang kini sudah menjadi lautan di antara Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, dan Jawa.

Baca Juga: Pemudik Gadungan [1] BBM Menipis, Jantungpun "Empot-empotan"

Temuan-temuan genetika ini membuktikan bagaimana tipisnya selaput ras yang kita miliki. Nenek moyang kita bisa jadi berasal dari bermacam latar belakang dan itu artinya kampung halaman juga beragam. Penemuan-penemuan terbaru genetika juga membuktikan manusia-manusia modern hari ini membawa gen-gen manusia purba. Manusia purba itu punah bukan digantikan begitu saja oleh Homo sapiens, melainkan secara gradual melalui penaklukan, perkawinan, atau dominasi.

Setiap orang non-Afrika memiliki gen Neanderthal dan Denisovan. Bahkan orang yang kini disebut ras Melanesia juga memiliki satu gen manusia purba lainnya. Jadi, ketika puluhan ribu tahun lalu, sekelompok Homo sapiens berjalan kaki keluar dari benua Afrika, masuk ke Eropa, Timur Tengah, Eurasia, Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara, mereka menemukan sudah ada manusia lain di tinggal di daerah-daerah itu. Terjadilah kawin-mawin sehingga gen mereka bercampur. Orang-orang Nepal dan orang-orang Papua di pegunungan memiliki gen Denisovan yang lebih banyak yang membuat mereka lebih tahan cuaca dingin karena sel darah mereka lebih pipih dari umumnya manusia lain.

Orang Afrika sendiri juga tidak kalah bervariasi gennya. Mereka membawa gen-gen manusia yang lebih kuno, sehingga variasi fisik orang-orang Afrika lebih beraneka ragam daripada non-Afrika. Jadi, kita, manusia hari ini, tidak ada yang bisa mengklaim sebagai murni atau lebih unggul dari yang lain sehingga menentang perkawinan beda suku atau bangsa. Justru percampuran itu yang menjadi kunci kesuksesan umat manusia bertahan sampai hari ini.

Dan meskipun dinyatakan bahwa setiap Homo sapiens di dunia ini bermigrasi dari Afrika, namun terjadi juga arus balik kembali ke Afrika. Tidak mengherankan jika ada orang-orang di Ethiopia sana yang juga mengklaim dirinya sebagai keturunan Yahudi.

**

Konsep "Mudik" atau "Pulang ke Hulu" ("mudik" dalam bahasa Minang juga berarti "hulu") dengan demikian sebenarnya sangat relatif. Anda bisa menyebut tempat di mana Anda dibesarkan sebagai kampung halaman. Anda juga bisa menyebut kampung asal ayah atau ibu atau keduanya sebagai kampung halaman. Namun situasi makin rumit jika ayah dan ibu dari ayah atau ibu bukan berasal dari kampung yang mereka tinggali. Misal, orang Jawa yang sudah beberapa generasi tinggal di Sumatera Utara apakah masih menyebut Jawa sebagai tempat mudiknya.

Di awal abad 20, ketika Jakarta masih Batavia, ada sebuah sensus penduduk yang memperlihatkan data menarik. Ternyata saat itu, orang Minangkabau memiliki jumlah yang signifikan di Batavia, lebih dari 20 persen. Namun hari ini, sensus-sensus terbaru, orang yang mengaku Minangkabau di Jakarta sudah kurang dari 5 persen.

Dan saya menemukan, banyak orang Jakarta yang saya kenal memiliki keturunan Minangkabau, namun mereka lebih mengidentifikasi diri sebagai orang Jakarta bahkan Betawi. Jarak yang begitu jauh antara dia dan kakek atau neneknya yang berasal dari Minangkabau menyulitkan dia mengklaim diri sebagai orang Minangkabau juga.

Tidak usah sampai dua keturunan untuk melebur, ada orang-orang Minangkabau yang merantau ke Jakarta juga ikut bergabung di organisasi-organisasi kemasyarakatan berbasis etnis seperti Forum Betawi Rempug. Semakin Indonesia mapan, konsep-konsep identitas pun mulai didefinisikan ulang. Anak saya mungkin dewasa nanti akan mengklaim sebagai orang Jakarta sekaligus orang Minang sekaligus Indonesia.

Mudik dengan begitu menjadi konsep mental. Kita mudik ke mana kita memiliki masa lalu yang membahagiakan. Jika hati Anda adalah pada keluarga Anda, Anda sudah mudik setiap saat menghabiskan waktu bersama mereka. Mudik adalah pulang ke mana hati Anda berada.

(Selesai)

***

Tulisan sebelumnya: Pemudik Gadungan [9] Hikayat Teh, Kopi dan Cokelat