Ketika Plastik Kalahkan Takir, Tum, Tempelang Dan Pincuk Saat Ramadan

Perlukah aturan yang mengatur penjual agar membatasi kemasan plastik atau memberikan edukasi eco lifestyle dengan kembali mengenalakan daun sebagai pembungkus tradisional?

Minggu, 12 Mei 2019 | 06:15 WIB
0
1130
Ketika Plastik Kalahkan Takir, Tum, Tempelang Dan Pincuk Saat Ramadan
Ilustrasi kolak dalam kemasan plastik (Foto: Kompas.com)

Tiap sore menjelang, hampir disetiap ruas jalan yang saya lewati berderet aneka rupa tajil berbuka puasa yang menggugah selera. Pedagang musiman memanfaatkan sebagian trotoar hingga bahu jalan untuk memamerkan etalase tanpa kaca. Hanya berupa meja sederhana yang diatasnya ditata aneka rupa dagangan ala mereka.

Pada umumnya berupa menu pembuka baik itu makanan khas puasa atau pun minuman yang terlihat segar tiara tara.

Gelas-gelas plastik sekali pakai disusun berjejer .Kadang ada yang disusun secara bertumpuk 2 higga 3  gelas keatas layaknya hendak membangun menara. Warna makanan dan minuman tersebut terlihat jela menyolok mata. Ya, mereka memang sangaja mengundak pembeli yang biasanya kalap mata saat belanja menu takjil untuk berbuka.

Lima hari sudah puasa ramadan berlangsung dengan segala pernik cerita. Urusan menu berbuka saya mencoba meminimalisir pembelian menu berbuka yang dijual dalam bungkus plastik, ataupun gelas plastik. Tercatat baru sakali. Itupun dalam jumlah yang tidak banyak. Cukup 1 gelas es buah, dan 1 gelas plastik kolak.

Setelahnya, saya berinisiatif untuk membuat sendiri tanpa harus membeli. Bukan bermaksud pelit bahkan tidak mau berbagi rejei dengan mereka yang berusaha mencari peruntungan dengan berdagang menu takjil di pinggir jalan. Melainkan saya terhenyak saat selesai menyantai takjil berbuka yang dikemas dengan kemasan plastik.

Sepele saja, tempat sampah yang berukuran tidaklah seberapa di depan kontarakan saya mendadak penuh dengan gelas kemasan takjil. Bayangkan saja, jika 1 rumah membeli minimal 2-3 bungkus takjil kemasan gelas plastik maka jika dalam 1 kompleks ada 5-7 rumah, itu berarti 10- 21 gelas.  plastik menjadi sampah utama sesaat setelah berbuka puasa. Belum ditambah lagi aneka plastik pembungkus yang menyertai. 

Duh, mana selama ramadan, petugas kebersihan tidak setiap hari mengangkat sampah. JAdilah tempat sampah kami luber oleh aneka plastik pembungkus takjil berbuka. Akhirnya, saya pun mengalah. Menahan diri untuk tidak setiap hari membeli Takjil. Saya memilih membuat es buah, bubur kacang hijau, hingga kolak sendiri. Relatif mengurangi sampah plastik selama ramadan. 

Zaman memang telah berganti. Beberapa tahun belakangan penjual dan pembeli makanan dimanjakan dengan aneka kemasan/wadah pembungkus yang tidak saja dianggap praktis, namun juga menarik. Hampir semua menikmati hadirnya pembungkus plastik tak terkecuali saat ramadan selama sebulan kedepan.

Hanya sedikit yang tergerak hatinya untuk mulai melakukan puasa plastik. Itupun diawali pada sebuah kondisi yang sedikit memaksa , dimana penggunakan kantong plastik pada beberapa brand pasar modern, diharuskan menambah sekian rupiah bagi penggunanya.

Nah, saat puasa begini masihkah ada yang peduli?.  Mari kita cermati ketika kita harus menghitung sampah plastik kemasan gelas sekli pakai bekas takjil berisi kolak, es campus, biji salak ataupun lainnya. Jika 1 pedagang dalam 1 hari menghabiskan 100 cup gelas plastik, di sebuah komplek ada 10 pedagang , dalam 1 kota ada 100 pedagang, maka dalam 30 hari siapa yang sanggung menghitung penambahan sampah plastik akibat konsumsi takjil selama puasa?.Siapkah kita dengan ratusan juta sampah plastik pasca ramadan?.

Ingatan saya pun melayang merindukan sisi lain ramadan saat usia saya kecil. Kala itu belum musim cup/gelas plastik untuk membungkus aneka minuman/makanan seperti sekarang. Selepas Ashar, anak-anak kecil merengek kepada orang tuanya untuk membeli aneka menu berbuka. Sebagian Ibu-ibu yang tidak mau repot di dapur memilih membeli kolak, ongol-ongol, puli hingga menu masakan siap saji lain.

Baca Juga: OLIMO, Olie Ramah Lingkungan Temuan Anak Bangsa

Zaman dulu , Penjual musiman saat ramadan memajang panci-panci besar berisi kolak, bubur kacang hijau atau sayuran lain. Tidak memajang kemasan plastik berisi aneka makanan/minuman yang bisa langsung terlihat oleh pembelinya.

Anak-anak  yang tinggi badannya belum mencapai 1 meter, terkadang harus berjinjit atau minta digendong agar bisa melihat isi panci-panci besar tersebut. Tak jarang pembeli membawa wadah dari rumah berupa rantang alumunium, ataupun rantang plastik atau mangkok/piring. 

Bagi pembeli yang tidak membawa wadah dari rumah, penjual dengan setia menggunakan daun pisang yang sudah dipotong lebar sebagai pembungkus.  Sebagain daun pisang sudah dibentuk menjadi Takir.

Tempat berbentuk segi empat dari daun pisang dengan sematan lidi di kanan kiri bisa digunakan untuk membungkus makana berkuah seperti kolak. Ada pula yang dibentuk tempelang, semacam kerucut anti bocor yang mebih budah dibuat. Sementara Tum dan pincuk daun pisang, digunakan untuk membungkus makanan tanpa kuah.

Ah, zaman sekarang kemana gerangan takir, tempelang, tum dan pincuk daun pisang? Oleh karena lahan yang berkurang  maka daun pisang menjadi jarang? Atau geliat zaman yang menjadikan plastik sebagai pemenang yang menawan bagi penikmat aneka panganan ramadan?. Jadi bagaimana kita harus mensikapi?. Bijak menempatkan diri dalam membeli, kurangi sampah plastik sekali pakai dengan membawa wadah sendiri, atau membuatnya sendiri dirumah. 

Perlukah ada aturan yang mengatur penjual agar membatasi kemasan plastik? atau memberikan edukasi eco lifestyle dengan kembali mengenalakan daun sebagai pembungkus tradisional? Ah keduanya butuh proses dan waktu yang tidak sebentar. Sementara bagi pembeli yang sudah seharian menahan lapar, tak sedikit yang mau peduli akan dampak sampah plastik dikemudian hari.

***