Melihat penampilan wajah surat kabar Kompas terbitan pertama, tidak seorang pun di antara para pemula surat kabar itu optimis korannya akan berusia panjang.
SEMULA koran tersebut akan diberi nama Bentara Rakyat. Ada dua pertimbangan kenapa dinamai Bentara Rakyat. Menurut Frans Seda, pertama nama ini diambil dari sebuah mingguan yang terbit di Flores tahun 1946-1958, Bentara Katolik , yang kemudian juga menerbitkan Anak Bentara, khusus untuk remaja.
Bentara sendiri bisa diartikan sebagai pembawa pesan (herald, messenger). Pertimbangan kedua, saat itu PKI menerbitkan koran Harian Rakyat yang memiliki pembaca luas. Dengan menggunakan kata Rakyat, selain ciri katoliknya jadi tersamar juga ingin menunjukkan bahwa kata tersebut bukan monopoli PKI. Maklum saat itu PKI selalu membawa-bawa rakyat dalam perjuangan mereka.
Nama Kompas baru muncul tatkala Frans Seda menghadap Bung Karno untuk melaporkan kesiapan penerbitan korannya. Begitu mendengar nama Bentara Rakyat, Bung Karno menimpali, “Aku akan memberi nama yang lebih bagus … Kompas. Tahu toh apa itu Kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan rimba!”
Menurut Frans Seda sebagaimana dikutip dari buku tentang PK OJONG, Hidup sederhana Berpikir Mulia, pengurus yayasan dan redaksi menyetujui usulan Bung Karno itu. Dan jadilah nama Harian Kompas. Pada pertemuan itu diputuskan pula bahwa harian tersebut harus bersifat independen, berusaha menggali sumber berita sendiri karena sumber-sumber berita yang ada sudah dipolitisasi, mengimbangi secara aktif pengaruh komunis dan kawan-kawannya dengan tetap berpegang pada kebenaran, kecermatan, sesuai profesi dan moral pemberitaan.
Waktu terbitnya pun diputuskan pagi hari agar tidak menyaingi Sinar Harapan yang terbit sore hari. Modal, fasilitas peralatan kantor seadanya, terserah bagaimana para pengasuh dan pemrakarsanya berupaya, kalau perlu dari kantung sendiri. Edward Linggar, salah seorang calon wartawan, membuat rancangan logonya dalam semalam untuk menggantikan logo Bentara Rakyat yang sudah disiapkan. Logo rancangan Edward tersebut hingga tahun 2010 masih digunakan walau sudah dengan penyempurnaan.
Bagaimana logo tersebut diciptakan, almarhum Edward bercerita pada saya:
Pada awal Juni 1965, Pak Ojong masuk kantor Jalan Pintu Besar Selatan membawa segepok kertas gambar bertuliskan Kompas yang dibuat dalam berbagai bentuk. Hampir semuanya dibuat dengan tipe huruf Gotik yang melingkar-lingkar macam skets atau vignet. Pak Ojong dan Pak Jakob melihat-lihat gambar tersebut untuk memilih mana yang pantas untuk dijadikan kop koran Kompas. Tidak begitu jelas, siapa pembuat gambar atau tulisan tersebut.
Akhirnya Pak Ojong memanggil saya yang ketika itu usia 21 tahun.“Tolong Saudara pilih mana yang cocok untuk kop Kompas,” katanya. Sebenarnya Pak Ojong sudah menyiapkan kop koran berjudul Bentara Rakyat namun setelah Frans Seda bertemu Bung Karno dan disarankan agar nama korannya diganti dengan Kompas, mau tidak mau mereka harus mengubah kopnya.
Semalaman saya menimbang-nimbang namun rasanya tak ada satu pun dari calon kop itu yang kena di hati. Saya yang baru sebulan bergabung di Kompas, menyaksikan betapa kesederhanaan menjadi dasar hidup dan sikap lingkungan baru itu. Kantor yang sederhana, fasilitas yang sederhana, sikap para pimpinan yang begitu sederhana. Apalagi jika melihat penampilan Pak Ojong, baju putih lengan pendek dan tidak dimasukkan ke dalam celana, sangat jelas tercermin kesederhanaannya.
Dari pengamatannya itu saya berkesimpulan, tak ada satu pun dari gambar-gambar itu yang cocok dengan jiwa para pengelolanya. Maka saya pun kemudian mencoba membuat kop baru dengan huruf yang lebih sederhana dan mudah dibaca. Paginya coretan kop Kompas itu saya serahkan kepada Pak Ojong. “Pak kayaknya tidak ada yang pas untuk kita. Bagaimana kalau dibuat sederhana saja seperti ini.”
Hari itu juga diputuskan, kop buatan saya itulah yang digunakan ketika Kompas terbit. Semula kop itu kecil dan tipis, kemudian dalam perkembangannya beberapa kali disempurnakan dan jadilah seperti sekarang.
**
CIKAL bakal pengelola Kompas adalah tenaga dari Majalah Intisari: Pak Ojong, Pak Jakob, Adisubrata, dan Irawati. Adisubrata masuk sebulan sebelum Intisari terbit (Agustus 1963) sedangkan Irawati secara resmi masuk bulan Maret 1964 tetapi sudah magang sejak bulan September 1963. Menjelang Kompas terbit, Adisubrata dan Irawati diminta menangani Intisari. Mengingat majalah Intisari terbit sebulan sekali, keduanya juga menulis untuk Kompas.
Sumber berita saat itu dikuasai LKBN Antara yang sudah menjadi komunis, sehingga Kompas pun mencari sumber berita lain dari majalah, surat kabar, dan radio luar negeri. Dan agar tidak tergantung pada berita Antara yang sudah “merah”, Pak Jakob dan Pak Ojong merekrut tenaga-tenaga muda yang sama sekali belum pernah bekerja di penerbitan. Pedoman ini penting karena bekas wartawan pastilah sudah terpengaruh bias politik maupun cara kerja di surat kabarnya terdahulu. Maklum saat itu muatan politik koran-koran sangatlah kental.
Dan agar isi koran bukan hanya melulu soal politik yang bisa membosankan pembaca, Kompas diisi dengan artikel dan wawancara. Seringkali artikel tersebut mendukung berita yang ada. Dengan demikian selalu ada yang eksklusif, selalu ada isi yang lain daripada koran lain. Itu sebabnya ketika terbit, banyak orang menjuluki Kompas sebagai koran majalah.
Untuk mendapatkan tenaga yang “segar” Pak Ojong dan Pak Jakob “memburu” para siswanya. Saat itu Pak Ojong mengajar Dasar-dasar Organisasi dan Teknik Pemberitaan di Fakultas Ilmu Pendidikan UI, Jurusan Publisistik. Sedangkan Pak Jakob mengajar di Perguruan Tinggi Publisistik (terakhir bernama IISIP). Selain memburu mahasiswanya, keduanya juga menghimpun anak-anak muda yang tergabung dalam PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI), teman-teman bekas seminari, dan kenalan yang berminat jadi wartawan.
Untuk mendukung pelaksanaan penerbitannya, direkrut pula beberapa tenaga yang sudah berpengalaman, antara lain Roestam Afandi dan Tan Soei Sing yang kemudian berganti nama menjadi Indra Gunawan. Roestam pagi bekerja di LKBN Antara, sore hingga malam di Kompas. Dan karena Kompas saat itu hanya terbit 4 halaman, pekerjaan tambahan itu tidak menjadi masalah. Mengingat statusnya masih ganda, Roestam baru menjadi karyawan tetap tahun 1966. Sementara Tan Soei Sing yang sudah berpengalaman di PIA (Persbiro Indonesia yang kemudian dimerger ke Antara), langsung menjadi karyawan Kompas.
Para wartawan pada penerbitan hari pertama terdiri atas tujuh orang yaitu Threes Soesilastoeti Padmosepoetro (alm), Tan Tik Hong (Harthanto, alm), Tan Soei Sing (Indra Gunawan), Djoni Lambangdjaja (alm), Theodorus Ponis Purba (alm), Tinon Prabowo (alm), dan Edward Liem (Linggar/alm). Setelah itu bergabunglah, Erka Muchsin (kemudian menjadi Erka Azhar/alm), August Parengkuan, dan lain-lain.
Pelatihan untuk wartawan dilakukan sekitar sebulan sebelum terbit. Mereka dilatih memendekkan berita dari LKBN Antara, menerjemahkan artikel atau berita dari surat kabar atau majalah luar negeri, menuliskan berita yang disiarkan radio dan sebagainya. Semua itu di bawah bimbingan langsung Pak Jakob dan Pak Ojong. Pak Jakob banyak memberi tugas reportase sedangkan Pak Ojong terjemahan. Walau koran belum terbit, mereka sudah mendapat gaji. Jumlah karyawan hingga akhir tahun 1965 sekitar 20 orang.
Kompas terbit pertama dengan berita utama Konperensi Asia Afrika ke II Ditunda Empat Bulan. Koran empat halaman tersebut pertama kali dicetak di Percetakan Negara Eka Grafika, Kramat Raya. Dummy Kompas pertama dibuat tanggal 24 Juni 1965. Nomor percobaan ini dibuat tiga hari berturut-turut sebelum akhirnya terbit secara resmi tanggal 28 Juni 1965. Oplah hari pertama 4.828 eksemplar.
**
MENARIK untuk diikuti bagaimana Harian Kompas edisi pertama terbit. Majalah intern karyawan Kelompok Kompas Gramedia (KKG) bernama Buletin Kita (kemudian berubah menjadi Infokita) dalam edisi Juni 1981 memuat kisahnya.
Minggu 27 Juni 1965, menjelang tengah malam. Jalan Kramat Raya Jakarta sudah sepi. Pertunjukan terakhir Bioskop Rivoli juga telah berakhir dan penonton beberapa jam lalu berhamburan pulang. Tinggal beberapa becak yang masih mangkal pada malam yang dingin itu.
Namun tidak jauh dari situ, di sebuah percetakan , kegiatan justru baru saja mulai. Beberapa orang berkumpul di dalam Percetakan Negara (PN) Eka Grafika yang saat itu mencetak Harian Abadi (seharusnya Karya Bhakti, red), mengelilingi mesin cetak lembar (sheet) merk Duplex.
Semua mata memandang ke arah satu titik, tempat para pencetak memasang rol tinta. Sebentar-sebentar di antara mereka ada yang melihat arlojinya, seolah tidak sabar dan was-was. Suasananya mirip sebuah penantian lahirnya bayi pertama.
Ketika mesin cetak mulai dijalankan, lantas kertas-kertas menyentuh spanraam berisi susunan timah isi surat kabar yang kemudian digilas rol-rol tinta, PKO tersenyum dan bergumam, “Sebentar lagi. Sebentar lagi keluar….”
Selain PKO ketika itu ada juga JO beserta beberapa wartawan di antaranya Theodorus Purba, Tinon Prabowo, Tan Soei Sing (Indra Gunawan), Eduard Liem (Edward Linggar), Roestam Afandi, Djoni Lambangdjaja, August Parengkuan, dan Tan Tik Hong (Harthanto). Wartawatinya, Erka Muchsin (Erka Azhar) dan Threes Susilastuti, menanti penuh harap di rumah.
Di sudut lain, duduk di kursi menghadapi meja korektor (proof reader) adalah Kang Hok Djin, Kang Tiaw Liang, Dimjati, Maryono, Hen Liang, No Gien, dan Petrus Hutabarat.
Ketika koran pertama Kompas muncul di mesin cetak, tepuk tangan pun menyambutnya. Diiringi kilatan dari kamera Sudardja (wartawan foto Majalah Penabur) suasana seketika berubah ramai. Jabang bayi telah lahir. Harian Kompas pertama tertanggal 28 Juni 1965 itu pagi harinya mulai dipasarkan.
**
KOMPAS pertama terbit empat halaman. Berita utama di halaman satu ketika itu berjudul KAA II Ditunda Empat Bulan. Sementara Pojok Kompas di kanan bawah mulai memperkenalkan diri, Mari ikat hati, Mulai hari ini, Dengan, Mang Usil.
Di halaman pertama pojok kiri atas tertulis nama staf redaksi. Pemimpin Redaksi: Drs Jakob Oetama, Staf Redaksi: Drs J. Adisubrata, Lie Hwat Nio SH, Marcel Beding, Th. Susilastuti, Tan Soei Sing, J. Lambangdjaja, Tan Tik Hong, Th. Ponis Purba, Tinon Prabowo, Eduard Liem.
Melihat penampilan wajah surat kabar Kompas terbitan pertama, tidak seorang pun di antara para pemula surat kabar itu optimis korannya akan berusia panjang. Dibandingkan dengan penampilan surat kabar lain ketika itu, penampilan wajah Kompas kurang bersaing. Apalagi percetakan yang mencetak Kompas kurang menjanjikan perbaikan. Namun demikian, kegigihan dan semangat para pimpinan dan pemula justru membuat Kompas tetap hidup.
Kompas edisi pertama memasang 11 berita luar negeri dan tujuh berita dalam negeri di halaman pertama. Sementara rubrik Tajuk Rencana ketika itu masih belum ada, namun di halaman II ada tulisan Lahirnya Kompas, tajuknya surat kabar ini. Di halaman II pula terdapat lima berita luar negeri dan dua berita dalam negeri, ditambah tiga artikel satu di antaranya menyangkut luar negeri. Di halaman ini pula ada kolom hiburan Senyum Simpul.
Halaman III ketika itu antara lain berisi tiga artikel, satu di antaranya luar negeri. Ada pula ulasan mengenai penyakit ayan dari Dr. Kompas. Sedangkan halaman IV antara lain berita dan artikel luar negeri (2) dan satu dalam negeri. Di halaman ini hanya tercatat dua berita olahraga, satu di antaranya mengenai Persiapan Tim PSSI ke Pyongyang.
Iklan ketika itu pun masih kurang dari separuh halaman. Dari enam iklan, satu di antaranya dari Redaksi berupa formulir permintaan untuk berlangganan Kompas. Iklan yang paling besar dan bergambar hanya satu yaitu obat batuk dan cacingan. Tentu saja semua hitam-putih.
PKO dan JO dibantu beberapa wartawan yang kebanyakan belum berpengalaman, merintis penerbitan Kompas dengan sarana seadanya. Ruang kerja pada pagi hari menumpang di kantor Majalah Intisari, Jalan Pintu Besar Selatan 86-88, milik PT Kinta. Pada siang hari wartawan pinjam mesin ketik dan mengetik berita di salah satu ruang Majalah Penabur, Kramat Raya, dan malamnya redaktur bertugas di sebuah ruangan percetakan PN Eka Grafika, dekat Majalah Penabur. Dalam keadaan semacam itulah Kompas lahir.
(Bersambung)
Mamak Sutamat, wartawan purnatugas Harian Kompas 1970-2004.***
Tulisan sebelumnya:
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews