Asal Muasal Kompas [3] Bermodal Kesahajaan

Penerbitan dan perkembangan koran itu sendiri seringkali tak terduga, seolah karena Penyelenggaraan Ilahi, karso Gusti, kata orang Jawa.

Minggu, 28 April 2019 | 06:49 WIB
0
1157
Asal Muasal Kompas [3] Bermodal Kesahajaan
Jakob Oetama (Foto: Visual Interaktif Kompas)

APABILA ruang kerja redaksi di lantai atas, maka di lantai bawah dipakai untuk keperluan pracetak. Semua naskah dari redaksi diproses di lantai tersebut sebelum dicetak. Salah satu mesin zet-nya, sekarang masih dapat dilihat di lobi Gedung KKG di Palmerah Selatan. Mesin tersebut masih nampak bagus karena begitu pindah  system pracetak sekitar tahun 1980an, mesin ini dimuseumkan.

Di depan pintu masuk, berderet meja dan kursi para korektor yang bertanggung jawab atas ketepatan pengesetan naskah. Tentu saja mereka bekerja dalam suhu yang panas dan pengap oleh uap timah serta suara hingar bingar lalu lintas kendaraan yang melintas. Maklum, begitu keluar pintu langsung jalan besar Jl. Pintu Besar Selatan yang lalu lintasnya selalu ramai.

Lebih masuk ke dalam, duduk almarhum Hartanto, staf redaksi yang sejak kakinya diamputasi karena penyakit diabetes, diberi tempat di situ sehingga tidak perlu naik-turun tangga ke ruang redaksi. Beliau ini menangani rubrik Surat Pembaca. Karena posisi tempat duduknya yang strategis itu, ia pun selalu jadi tempat bertanya saat para wartawan datang pagi hari. “Bagaimana Pak Jakob pagi ini,” demikian kira-kira pertanyaan rutin setiap wartawan kepada Hartanto. Dia dianggap tahu karena setiap pagi Pak JO tentu melewati tempat duduknya sebelum naik ke tangga, sehingga tegur sapa tentunya terjadi.

Jika Hartanto menjawab oke, maka para wartawan itu pun terus ke atas untuk menunggu brifing atau instruksi tugas hariannya. Tapi kalau jawabannya “tampaknya kurang oke”, maka mereka pun balik kanan, berkumpul dulu di bawah lalu jalan bersama ke kedai nasi campur yang terletak di arah kiri Stasiun Kota sebelum jalan masuk Jalan Pinangsia. Di situ mereka ngopi atau sarapan dulu, sebelum ramai-ramai kembali ke kantor dan memberanikan diri ke atas atau langsung kabur ke tempat tugas masing-masing.

Kalaupun sudah masuk ke ruang redaksi, maka yang mereka lakukan adalah langsung mengambil tempat duduk di kursi tamu plastik. Mereka tidak banyak ngobrol satu sama lain, melainkan asyik membaca koran. Yang menarik adalah gaya membacanya, sebab semuanya mengangkat korannya tinggi-tinggi, menutupi wajah masing-masing. Oo, rupanya mereka berusaha menyembunyikan diri agar tidak terlihat oleh Pak JO, karena takut kena panggil atau teguran mengenai hasil pekerjaan mereka.

“Mas Robby! Kalau berita you cuma begitu-begitu saja membuatnya, maka sama saja atau malah lebih baik kalau Pak Nalik yang saya bawain tape recorder dan daftar pertanyaan untuk Pak Adam Malik!” demikian contoh teguran Pak JO yang selalu diingat RB Sugiantoro. Pak Nalik yang dimaksud itu adalah pesuruh kantor yang ketika itu telah berusia hampir 60 tahun dan sudah bekerja di tempat itu dari masa Keng Po dan Star Weekly dahulu.

Kalau pagi-pagi sudah ada yang ditegur keras, maka para wartawan lapangan yang saat itu duduk di sofa plastik makin mengkeret dan dengan berbagai cara diam-diam meninggalkan kantor. Itulah Pintu Besar Selatan, awal tertempanya koran dan para pengasuhnya, sekitar tahun 1969 hingga pindah ke Palmerah Selatan pada tahun 1972. Di sini pulalah lahir wartawan-wartawan handal dan kader pimpinan Kompas, koran terbesar di Indonesia.

**

KESAHAJAAN memang menjadi modal utama penerbitkan Harian Kompas. Penerbitan dan perkembangan koran itu sendiri seringkali tak terduga, seolah karena Penyelenggaraan Ilahi, karso Gusti, kata orang Jawa.

Pada tahun 1964 Partai Katolik sebenarnya sudah minta izin untuk menerbitkan koran dengan nama Gagasan Baru. Partai itu merasa, Partai Komunis Indonesia (PKI) dapat menyebarluaskan gagasannya dengan cepat bahkan mampu mempengaruhi Bung Karno karena menerbitkan Koran Harian Rakyat. Partai Katolik ingin mengimbanginya dengan cara yang sama. Tetapi ide menerbitkan koran ini kandas karena ketiadaan izin dari Kodam V/Jaya.

Suatu hari pada awal tahun 1965, Letjen Ahmad Yani selaku Menteri/Panglima TNI-AD menelepon rekan sekabinetnya, Drs. Frans Seda. Jenderal Yani melemparkan gagasan untuk menerbitkan koran melawan pers komunis yang saat itu dimotori Harian Rakyat. Pada saat itu Bung Karno atas desakan PKI menutup semua koran yang anti-PKI. Angkatan Darat risau, kemudian mendekati partai-partai termasuk Partai Katolik agar menerbitkan koran sebagai media alternatif.

Frans Seda yang saat itu Menteri Perkebunan segera membicarakan gagasan Ahmad Yani tersebut dengan Ignatius Josef Kasimo (pimpinan Partai Katolik). Dalam pembicaraan itu ikut serta Pak Ojong dan Pak Jakob Oetama karena keduanya dianggap sudah berpengalaman menerbitkan media cetak. Pertemuan mereka pertama kali diadakan di kantor BPEI (Bank Pembangunan Ekspor Indonesia) milik J. Kasimo di Asemka, daerah Kota.

Walaupun didukung penuh oleh Panglima TNI-AD, toh permintaan izin menerbitkan koran tidaklah mudah. Kodam Jaya yang saat itu sudah cenderung ke “kiri” berusaha mencegah dengan berbagai cara. Salah satunya mensyaratkan bahwa penerbit harus punya bukti kesediaan orang untuk berlangganan atau punya anggota minimal berjumlah 3.000 orang.

Frans Seda selaku salah satu ketua partai segera mengerahkan massa di Pulau Bunga, Flores, untuk ramai-ramai menandatangani pernyataan sebagai calon pelanggan lengkap dengan nama, alamat, dan tanda tangan masing-masing. Tak pelak lagi, semua anggota partai, guru-guru sekolah, dan anggota Koperasi Kopra Primer di Kabupaten Ende Lio, Kabupaten Sikka, Flores Timur segera bergerak. Dan karena persyaratan yang susah itu toh dapat dilengkapi, tak ada alasan lain untuk menolaknya, maka izin itu pun keluar.

Saat itu Pak Ojong dan Pak Jakob sudah menerbitkan majalah Intisari sejak tahun 1963. Karena dianggap sudah berpengalaman, Frans Seda pun membujuk keduanya untuk mengelola koran harian. Semula keduanya menolak karena situasi politik, infrastruktur, dan keadaan ekonomi pada saat itu tidak menunjang untuk penerbitan koran. Apalagi media partai tidak mungkin bisa bersikap independen, padahal sifat media seharusnya menjadi alat kontrol sosial masyarakat. Media partai tak mungkin bisa berkembang karena ia tidak mungkin bisa bersikap adil, apalagi independen.

Namun ketika sejumlah surat kabar yang dikelompokkan dalam BPS (Badan Pendukung Sukarnoisme) dibreidel, maka penerbitan koran alternatif menjadi mendesak. Jika ini dibiarkan maka yang ada hanyalah koran komunis saja. Hal inilah yang mendorong Pak Ojong dan Pak Jakob walaupun dengan enggan hati, akhirnya menerima tawaran tersebut. Syaratnya, koran tersebut harus bersifat umum, bukan koran partai. Ketika hal itu disetujui maka keduanya mulai bergerak. Mereka akan mencoba menerobos monopoli pemberitaan yang ketika itu dikuasai komunis dengan jalan berlangganan majalah dan surat kabar langsung dari luar negeri.

Rintisan awal, mereka mendirikan Jajasan Bentara Rakjat tanggal 16 Januari 1965 di Notaris FJ Mawati, Jakarta. Modal dasarnya, sesuai akta, Rp. 100.000. Pendirinya selain pimpinan puncak Partai Katolik juga semua pimpinan organisasi di bawahnya sedangkan pengurusnya IJ Kasimo (ketua), Drs. Frans Seda (wakil ketua), FC Palaunsuka (Penulis I), Drs. Jakob Oetama (Penulis II), dan Mr. Auwjong Peng Koen yang kemudian menjadi Petrus Kanisius Ojong (bendahara). Dalam operasionalnya, Pak Ojong dan Pak Jakob mendapat otonomi penuh sebagai pengasuh sehari-hari koran yang akan terbit itu.

Secara riil berapa modal untuk menerbitkan Kompas, susah dihitung. Saat itu bisa dikatakan bahwa semua perangkat yang digunakan adalah milik PT Kinta. Awalnya Majalah Intisari menggunakan sarana PT Kinta, kemudian Kompas menggunakan sarana yang dipinjam Majalah Intisari. Sarana ini meliputi ruang kerja, mesin ketik, telepon, pengurusan administrasi, hingga percetakannya. “Dalam hal ini PT Kinta sangat berjasa,” begitu pengakuan Pak Jakob.

Sarana lain ditanggung ramai-ramai, Pak Jakob dapat mobil Mazda kotak dari Frans Seda sedangkan Pak Ojong menggunakan mobil Opel Caravan milik Star Weekly. J. Kasimo menyumbangkan sebuah mobil pickup, Majalah Intisari meminjamkan sebagian pendapatannya, Pak Jakob menyediakan kamarnya untuk kantor Redaksi siang di Mess Majalah Penabur, daerah Kramat. Bahkan menurut pengakuan almarhum Frans Seda, Pak Ojong sempat menggadaikan rumahnya ke bank untuk tambahan modal

(Bersambung)

Mamak Sutamat, wartawan purnatugas Harian Kompas 1970-2004.

***

Tulisan sebelumnya:

Asal Muasal Kompas [2] Mulai dari Teknologi Cor Timah