Cephas berjasa besar mendokumentasikan budaya Jawa melalui foto-fotonya untuk Kesultanan Ngayogyakarta, Persatuan Arkeologi Hindia Belanda dan KITLV.
Ronggeng Dukuh Paruk -Ahmad Tohari- dan Pengakuan Pariyem -Linus Suryadi- adalah dua novel berlatar perempuan Jawa di masa lalu yang sangat berkesan bagi saya. Baik Srintil maupun Pariyem, kedua tokoh dalam novel tersebut, sedikit banyak menjadi korban dari sistem nilai yang berlaku di masyarakat masa itu.
Hidup mereka menjadi tak mudah. Tragis, bila kita lihat dalam kacamata kita saat ini. Pergumulan-pergumulan batin mereka sedikit banyak membuat pedih kita yang membaca. Tapi apakah perempuan modern telah bebas dari sistem nilai yang diskriminatif dan mengekang?
Saya kira masih, bahkan tentu saja lahir diskriminasi-diskriminasi baru bagi perempuan. Menjadi lebih berkesempatan di satu sisi, tetapi ada juga sisi yang lebih tak adil. Dan di luar dugaan saya, abad 21 justru banyak terjadi benturan budaya, antara menjadikan masyarakat lebih terbuka, open mind atau makin orthodox dan primordial.
Perempuan-perempuan yang tidak hidup dalam nilai-nilai ideal masyarakat (termasuk saya) terus mengalami kegalauan tak bertepi. Narasi-narasi relijius (terutama narasi Kristen) menyebutnya berada dalam pergumulan. Lama saya sering berpikir, mengapa kata pergumulan yang dipakai dan bukan kata pergolakan?
Hasil googling tak memberi saya perbedaan dua kata itu. Kedua kata sama-sama merujuk pada arti bergelut dan 'mendalami serius'. Lalu seorang sahabat berkata, pergolakan merujuk sesuatu yang besar, beramai-ramai, sedang pergumulan hanya terjadi di dalam diri (inner). Ia pun menunjuk contoh kalimat: Pergolakan petani kacang tanah melawan lintah darat.
Ah ya, kata saya. Anggap saja begitu. Pergumulan adalah sejenis dialog pada diri sendiri. Kadang juga meratapi diri sendiri, seperti saya saat rindu setengah mati. Saya pun teringat pergumulan batin Srintil dan Pariyem.
Meski sama-sama liris, Srintil dan Pariyem memandang jalan hidupnya dengan berbeda. Keduanya menerima nasib, tetapi Pariyem terasa lebih pasrah, nrimo ing pandum. Apakah itu yang disebut sumarah? Entah. Yang saya rasa, Pariyem tak membawa kisah sedihnya menjadi rasa duka. Ia terasa tetap bergembira. Ia akan kuat jika itu demi anaknya.
Mungkin rindu pun seperti itu. Tak akan mematikan kita meski rasanya seperti sudah jatuh ditimpa tangga dan masih difitnah tetangga. Aku kan kuat sepanjang engkau baik-baik saja... uhuk. Mungkin kita bisa meneladani Pariyem.
Lanjut, darimana saya mendapat gambaran fisik tentang perempuan Jawa masa lalu? Terutama dari foto-foto legendaris Kassian Cephas, fotografer profesional pertama di Indonesia. Cephas berjasa besar mendokumentasikan budaya Jawa melalui foto-fotonya untuk Kesultanan Ngayogyakarta, Persatuan Arkeologi Hindia Belanda dan KITLV.
Dulu saya mengira, perempuan Jawa masa lalu tak pernah tersenyum. Karena demikian yang digambarkan foto-foto Cephas tersebut. Baru berpuluh tahun kemudian saya tahu penyebabnya.
Sederhana saja, karena teknologi kamera masa itu belum 'anti shake'. Maka pose tersenyum atau tertawa akan membuat hasil foto goyang, lamur atau blur.
Bahkan untuk suatu pose, seseorang harus diam selama setengah jam, sebelum kamera bisa mengabadikan cahaya ke dalam plat film.
Sungguh berpose masa itu seperti bermeditasi. Harus tenang, tabah dan tahan goyang. Foto ini dibuat sembari mengingat Srintil, Pariyem dan Kassian Cephas...
Dan berusaha tenang dalam rindu yang tak tertahankan....
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews