Srintil dan Pariyem

Cephas berjasa besar mendokumentasikan budaya Jawa melalui foto-fotonya untuk Kesultanan Ngayogyakarta, Persatuan Arkeologi Hindia Belanda dan KITLV.

Selasa, 2 November 2021 | 21:03 WIB
0
119
Srintil dan Pariyem
Pose foto Srintil (Foto: Dok. pribadi)

Ronggeng Dukuh Paruk -Ahmad Tohari- dan Pengakuan Pariyem -Linus Suryadi- adalah dua novel berlatar perempuan Jawa di masa lalu yang sangat berkesan bagi saya. Baik Srintil maupun Pariyem, kedua tokoh dalam novel tersebut, sedikit banyak menjadi korban dari sistem nilai yang berlaku di masyarakat masa itu.

Hidup mereka menjadi tak mudah. Tragis, bila kita lihat dalam kacamata kita saat ini. Pergumulan-pergumulan batin mereka sedikit banyak membuat pedih kita yang membaca. Tapi apakah perempuan modern telah bebas dari sistem nilai yang diskriminatif dan mengekang?

Saya kira masih, bahkan tentu saja lahir diskriminasi-diskriminasi baru bagi perempuan. Menjadi lebih berkesempatan di satu sisi, tetapi ada juga sisi yang lebih tak adil. Dan di luar dugaan saya, abad 21 justru banyak terjadi benturan budaya, antara menjadikan masyarakat lebih terbuka, open mind atau makin orthodox dan primordial.

Perempuan-perempuan yang tidak hidup dalam nilai-nilai ideal masyarakat (termasuk saya) terus mengalami kegalauan tak bertepi. Narasi-narasi relijius (terutama narasi Kristen) menyebutnya berada dalam pergumulan. Lama saya sering berpikir, mengapa kata pergumulan yang dipakai dan bukan kata pergolakan?

Hasil googling tak memberi saya perbedaan dua kata itu. Kedua kata sama-sama merujuk pada arti bergelut dan 'mendalami serius'. Lalu seorang sahabat berkata, pergolakan merujuk sesuatu yang besar, beramai-ramai, sedang pergumulan hanya terjadi di dalam diri (inner). Ia pun menunjuk contoh kalimat: Pergolakan petani kacang tanah melawan lintah darat.

Ah ya, kata saya. Anggap saja begitu. Pergumulan adalah sejenis dialog pada diri sendiri. Kadang juga meratapi diri sendiri, seperti saya saat rindu setengah mati. Saya pun teringat pergumulan batin Srintil dan Pariyem.

Meski sama-sama liris, Srintil dan Pariyem memandang jalan hidupnya dengan berbeda. Keduanya menerima nasib, tetapi Pariyem terasa lebih pasrah, nrimo ing pandum. Apakah itu yang disebut sumarah? Entah. Yang saya rasa, Pariyem tak membawa kisah sedihnya menjadi rasa duka. Ia terasa tetap bergembira. Ia akan kuat jika itu demi anaknya.

Mungkin rindu pun seperti itu. Tak akan mematikan kita meski rasanya seperti sudah jatuh ditimpa tangga dan masih difitnah tetangga. Aku kan kuat sepanjang engkau baik-baik saja... uhuk. Mungkin kita bisa meneladani Pariyem.

Lanjut, darimana saya mendapat gambaran fisik tentang perempuan Jawa masa lalu? Terutama dari foto-foto legendaris Kassian Cephas, fotografer profesional pertama di Indonesia. Cephas berjasa besar mendokumentasikan budaya Jawa melalui foto-fotonya untuk Kesultanan Ngayogyakarta, Persatuan Arkeologi Hindia Belanda dan KITLV.

Dulu saya mengira, perempuan Jawa masa lalu tak pernah tersenyum. Karena demikian yang digambarkan foto-foto Cephas tersebut. Baru berpuluh tahun kemudian saya tahu penyebabnya.

Sederhana saja, karena teknologi kamera masa itu belum 'anti shake'. Maka pose tersenyum atau tertawa akan membuat hasil foto goyang, lamur atau blur.

Bahkan untuk suatu pose, seseorang harus diam selama setengah jam, sebelum kamera bisa mengabadikan cahaya ke dalam plat film.

Sungguh berpose masa itu seperti bermeditasi. Harus tenang, tabah dan tahan goyang. Foto ini dibuat sembari mengingat Srintil, Pariyem dan Kassian Cephas...

Dan berusaha tenang dalam rindu yang tak tertahankan....

***