Kompas dan Jurnalisme Pembangunan

Kompas diperbolehkan terbit lagi, setelah di antaranya menyepakati untuk tidak memberitakan (di antaranya) kritik tentang bisnis keluarga istana serta dwi fungsi ABRI.

Jumat, 28 Juni 2019 | 22:21 WIB
0
1215
Kompas dan Jurnalisme Pembangunan
Saya dan

Belum sebulan saya diangkat jadi wartawan Kompas, para senior saya iseng “ngerjain saya”. Waktu itu sedang berlangsung acara pembukaan Pameran Lukisan koleksi Kompas, serta Pameran “Indonesia dalam 250 Foto Kompas” dalam rangka menyambut Hari Jadi Kompas ke-10 di Galeri Cipta Taman Ismail Marzuki, di Cikini Raya Jakarta Pusat pada Rabu 25 Juni 1975. Hari Jadi Kompas sendiri masih tiga hari dari saat itu, yakni 28 Juni.

“Kamu anak baru kan? Harus mewawancarai Pak Ojong tuh.... Kalau nggak? Kamu nggak jadi diangkat,” kata Roestam Affandi, waktu itu Redaktur Malam, pejabat penting surat kabar itu yang biasanya bertugas menurunkan naskah-naskah berita terakhir, dan juga Tajuk Rencana (Editorial) yang biasanya ditulis Pemimpin Redaksi Kompas, Jakob Oetama. (Roestam Affandi sudah lama almarhum).

Senior-senior lain di kejauhan Galeri Cipta TIM malam itu pun mengiyakan. Hayuk... Wawancarai tuh, Pemimpin Umum Harian Kompas, mumpung Menterinya (Menpen Mashuri, kala itu) belum datang.

Ditantang seperti itu, tentunya keciiil..... Pak Ojong langsung saya hampiri dengan notes di tangan, dan kamera terserempang di lengan. Ada mungkin seperempat jam, saya wawancarai beliau. Berapi-api Pak Ojong menerangkan tentang pameran yang menyuguhkan lukisan-lukisan para maestro, koleksi Kompas.

Selain mempunyai hobi mengoleksi keramik kuno, mendiang Pak Ojong juga dikenal gemar mengoleksi lukisan-lukisan para maestro pelukis seperti Affandi, S Sudjojono, Hendra, Trubus dan beberapa pelukis muda seperti Srihadi dan sejumlah maestro pelukis Bali seperti Ida Bagus Made Poleng dan sebagainya.

Seluruh lukisan para maestro Indonesia itu serta keramik-keramik kuno koleksi Kompas yang dibeli Pak Ojong itu, sampai sekarang masih tersimpan utuh di sebuah gudang khusus bawah tanah berpendingin milik Kompas di Palmerah Selatan.

Sedangkan 250 foto Indonesia yang dipamerkan di Galeri Cipta TIM di Cikini pada peringatan Hari Jadi Kompas ke-10 pada Juni 1975 itu, terdiri dari berbagai foto rekaman wartawan Kompas, yang dipilih oleh fotografer andalan Kompas waktu itu, Kartono Ryadi (juga sudah almarhum).

Senior-senior saya pada nyengir dari kejauhan, ketika saya berhasil mewawancara Pak Ojong di Galeri Cipta TIM, seperti permintaan mereka. Kebetulan, pak Ojong belum mengenal wajah saya. Maklum wajah baru. Padahal, Pak Ojong dikenal cermat, dan mengenali semua wajah wartawan Kompas dan bahkan juga banyak di antara sekitar 500 karyawan Kompas kala itu.

Pak Ojong selalu datang lebih pagi dari para karyawannya di kantor Redaksi Kompas (bekas bangunan kuno pabrik obat Konimex di Jalan Palmerah Selatan, yang bentuknya khas loji, dengan kaca mosaik warna-warni). Dan sering kali, dia menyapa satu per satu karyawan yang ditemuinya sembari menanyakan, bagaimana pekerjaannya, atau kondisi keluarganya. Ojong dikenal humanis, meski sikapnya keras tak kenal kompromi. Korupsi Rp 5 ribu pun pasti dia pecat.

Seusai wawancara yang tak berapa lama itu, Pak Ojong bertanya pada saya. “Mas dari media mana?” tanyanya serius. Saya jawab, saya dari Kompas. Pak Ojong langsung membalikkan badan dengan senyum kecut, “Aaaah, kamu.....,” katanya. Mungkin dikiranya aku wartawan dari media lain, bukan Kompas, he, he, he....  Senior-senior dari kejauhan pada nyengir. Rasaiiin lu, diplonco, kata mereka....

Tulisan berita yang terbilang perdana di Kompas Kamis 26 Juni 1975 kala itu, saya lampirkan klipingnya dalam artikel saya (di atas) ini. Wawancara Pak Ojong, hanya saya kutip satu baris. Mohon maaf, ya Pak Ojong...

Menteri Penerangan Mashuri yang membuka Pameran Lukisan Koleksi Kompas dan Indonesia dalam 250 Foto Kompas, menyambut antusias upaya Kompas menghadirkan “Wajah Indonesia dalam 250 Foto” kala itu.

Waktu itu 1975, Orde Baru, Soeharto, memang sedang segar-segarnya berkuasa meski sebenarnya sudah hampir 10 tahun, dari total 32 tahun ia berkuasa. Suasana saat itu masih segar dengan langkah “desoekarnoisasi” dan pelabelan PKI. Sehingga, setiap orang atau kelompok dicap PKI oleh Soeharto? Jangan harap bisa berkutik dan berkiprah di Negara Kesatuan Republik Indonesia...

Menteri Penerangan Mashuri, dalam sambutannya waktu itu, menyambut gembira Kompas yang menurutnya, “Mendapat peluang besar untuk menjalankan tugas-tugas pers sehat dalam mendukung pelaksanaan program-program nasional sesuai dengan fungsi pers dalam alam Demokrasi Pancasila,” kata Mashuri. Khas sekali, kalimat-kalimat bernada “pembangunan” dari pejabat-pejabat menteri, anggota Kabinet Pembangunan Soeharto.

Harmoko? Waktu itu belum Menpen berkali-kali sampai lengsernya Soeharto 1998. Harmoko, pada Juni 1975 waktu itu masih Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat, dan kebetulan juga hadir di Pameran Lukisan Koleksi Kompas dan Indonesia dalam 250 Foto di Taman Ismail Marzuki.

Harmoko memuji Kompas, yang memberi arti positif dalam memaknai Hari Jadinya ke-10, dengan “menerapkan pola hidup sederhana serta menyebarkan hasil kebudayaan Indonesia melalui pameran karya-karya seniman Indonesia kali ini,” katanya, “sekaligus juga menanamkan rasa cinta pada usaha dokumentasi, yang tercermin dalam koleksi foto-foto yang merupakan dokumentasi sejarah bagi masyarakat Indonesia....”

Baca Juga: Trik Harian Kompas Menaklukkan Prabowo untuk Sebuah Wawancara Ekslusif

Kata “Pembangunan” memang menjadi satu kata kunci di era awal Orde Baru kala itu, sehingga kata tersebut merasuk tak hanya dalam label Kabinet Soeharto, akan tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan Indonesia. Termasuk pula kehidupan jurnalistik, sehingga Jakob Oetama pun mengenalkan sebuah terminologi baru, “Jurnalisme Pembangunan” kala itu.

(Saya kutip lengkap di artikel lain, Tajuk Rencana Kompas pada Hari Jadi Kompas 28 Juni 1975 yang ditulis Pemimpin Redaksi Kompas, Jakob Oetama tentang “Jurnalisme Pembangunan” yang dilakukan Kompas di Era pemerintahan otoriter Orde Baru).

Di Kampus pun, terminologi Pembangunan juga menyusup. Dalam salah satu mata kuliah di kampus saya, sebuah perguruan tinggi filsafat di Jembatan Serong Jakarta Pusat kala itu, dosen favorit saya Johny Muller yang seorang pastor Katolik asal Jerman namun ia warga negara Indonesia (sebelum diusir Orde Baru karena sebuah artikelnya di Kompas tentang Soeharto), juga memberi mata kuliah khas pada zamannya, Sosiologi Pembangunan...

Nah, Jurnalisme Pembangunan yang diputuskan Kompas dan dirumuskan secara jelas oleh salah satu pendirinya, Jakob Oetama, diungkapkan dengan lugas dalam Tajuk Rencana Kompas, persis  pada hari Jadi Kompas yang ke-10 pada Sabtu 28 Juni 1975 di Halaman IV.

(Tajuk ini saya kliping, lantaran sebagai wartawan baru kala itu, saya merasa perlu memahami arah dan sikap Kompas, yang ternyata dirumuskan oleh salah satu pendirinya sebagai “Jurnalisme Pembangunan”).

Terminologi “Pembangunan” di dekade pertama Orde Baru memang bermakna khas, bukan semata-mata mengandung arti membangun infrastruktur, akan tetapi juga membangun sikap baru sesuai alam politik pasca Soekarno. Jika di era Soekarno, dikenal terminologi Demokrasi Terpimpin, maka Soeharto mengenalkan yang namanya “Demokrasi Pancasila”. Di era Soeharto, kebebasan memang ada batasnya. Dan bahkan dibatasi tegas, dengan rambu-rambu “the dos and don’ts” mana yang boleh ditulis atau diucapkan di depan publik, mana yang nggak boleh. Atau bahkan tabu sama sekali ditulis...

Jakob Oetama beberapa kali ditawari untuk menjadi Menteri Penerangan di era “Pembangunan” ini. Tapi, alih-alih jadi Menteri. Ia malah mendorong Harmoko untuk menerima tawaran itu, dan Jakob memilih merdeka di dunia jurnalistik, mengelola media sampai masa tuanya saat ini.

Pada era serba penuh pembatasan di era Orde Baru, Jakob Oetama justru mengembangkan trend sendiri di dunia jurnalistik, yang ia namai Jurnalisme Pembangunan.

Dalam Tajuk Rencana pada Hari Jadi ke-10 Kompas 28 Juni 1975 jelas ia ungkapkan, bahwa pada hakekatnya, Jurnalisme Pembangunan yang dia kembangkan di era Orde Baru itu harus otonom meskipun berada dalam atmosfer pemerintahan yang serba mengatur.

“Tidak didikte atau diatur oleh orang lain, kecuali oleh para pengasuhnya sendiri. Juga tidak oleh kelompok atau lembaga yang menerbitkannya...,” tulis Jakob, dalam Tajuk Rencananya di Kompas.

Otonomi itu, menurut Jakob Oetama, berfungsi dalam kerangka luas yang disepakati. “Tak pernah akan bisa berkembanglah surat kabar yang setiap kali dicampuri dari luar. Apalagi jika campur tangan itu simpang siur menurut selera atau kepentingan masing-masing pihak yang merasa mempunyai andil dalam penerbitan tersebut..,” tulisnya dalam Tajuk.

Artinya, jurnalisme Kompas tidak hanya harus otonom (merdeka) dari campur tangan pemerintah, kepentingan pihak luar,  akan tetapi bahkan juga oleh perusahaannya sendiri, grup Kompas yang menerbitkannya, selain pengelola (redaksi) nya...

“Karena otonomlah, maka surat kabar juga lantas bisa menjalankan fungsi-fungsi yang sewajarnya menjadi tugas suatu harian dalam masyarakat majemuk seperti masyarakat kita. Inilah sebabnya, harian Kompas berusaha sejauh mungkin memberi tempat kepada berbagai pendapat dan perasaan dalam masyarakat. Dengan demikian, terjalinlah proses demokratisasi, proses musyawarah, proses keterbukaan sikap, bukan ketertutupan,” tulis Jakob Oetama dalam tajuknya tersebut.

Masyarakat bangsa, menurut Jakob Oetama, memerlukan pegangan bersama untuk hidup memasyarakat. Pegangan bersama itu lebih-lebih lagi dibutuhkan oleh suatu masyarakat yang mempunyai arus kultur dan pandangan hidup.

“Kita mengembangkan perbedaan untuk memperkaya dan mengkreatifkan persatuan. Itulah sebabnya harian ini ikut berusaha memfungsionalkan pegangan kita bersama dalam Pancasila,” tulis Jakob Oetama dalam tajuknya.

Baca Juga: Asal Muasal Kompas [1] Pintu Besar Selatan

Tidak urung, Gubernur DKI Jaya Ali Sadikin pun ikut mengucapkan sambutan, yang dimuat di halaman depan Kompas dalam sebuah boks di sisi kiri bawah. Menurut Ali Sadikin, Kompas kala itu “Tidak hanya menjadi koran yang besar dalam hal oplagnya (kala itu 208.000 eksemplar perhari), akan tetapi juga pengaruhnya...,” tulis Gubernur hebat, yang dikenal melalui berbagai pembangunan infrastruktur dan prasarana lainnya yang memajukan Jakarta sebagai Ibu Kota negeri ini.

Tidak heran, jika Kompas kala itu, menjadi “langganan” berbagai instansi pemerintah. Tiada hari tanpa Kompas di meja pejabat negeri, tak hanya di Jakarta, akan tetapi juga di berbagai daerah Indonesia. Sehingga motto “ditulis di media lain, tidak terlalu berarti, asal jangan di Kompas” pun terdengar di dari mulut berbagai pejabat pemerintah kala itu.

Maka, tidak heran jika setiap hari, telpon di kantor Kompas berdering, menerima teguran pejabat-pejabat tinggi era Orde Baru, setiap kali ada berita yang kritis, dan membuat mereka kebakaran jenggot. Bahkan pada 21 Januari 1978 selama dua minggu, Kompas dibreidel, dilarang terbit lantaran memuat berita sensitif Orde Baru. Kala itu, berkecamuk demo-demo dan aksi jalanan dari para mahasiswa dan berbagai kalangan rakyat, yang mengritik Soeharto.

Kompas diperbolehkan terbit lagi, setelah di antaranya menyepakati untuk tidak memberitakan (di antaranya) kritik tentang bisnis keluarga istana serta dwi fungsi ABRI. Bahkan Ali Sadikin pun, kala menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, pada Juni 1975 itu masih aktif berpangkat Letnan Jendral TNI (KKO, Korps Komando Angkatan Laut).

Itu sekelumit Kompas dengan Jurnalisme Pembangunannya di awal era Orde Baru, pada dekade pertama dari tiga dekade pemerintahan Soeharto... 

Jimmy S Harianto, wartawan Kompas 1975-2012

***