Narasi Elastis Angka Kemiskinan

Jika rakyat bisa bertahan di atas garis kemiskinan selama masa survey, penguasa pun mulai memainkan intervensi fiskal untuk program-program sosial kemasyarakatan.

Kamis, 20 Juni 2019 | 10:12 WIB
0
477
Narasi Elastis Angka Kemiskinan
Ilustrasi angka kemiskinan (Foto: Sindonews.com)

Data  Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan,  jumlah penduduk miskin per Maret 2018 tercatat sebanyak 25,95 juta orang atau 9,82%. Jumlah tersebut turun dibandingkan periode survei sebelumnya September 2017 yang mencatatkan 26,58 juta orang miskim atau 10,12%.

Penurunan angka kemiskinan sebesar 0,3% dalam satu semester dan 0,83% dalam setahun terakhir digadang-gadang sebagai satu prestasi tersendiri bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, tingkat kemiskinan satu digit diglorifikasi sebagai pencapaian pertama kali sejak krisis ekonomi tahun 1998 silam.

Secara politik, pencapaian tersebut tentu akan menjadi modal penting bagi Jokowi menjelang pemilihan presiden (Pilpres) 2019 lalu. Narasinya adalah bahwa angka kemiskinan yang terus menurun menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam memajukan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Namun bagi sebagian kalangan, pergeseran angka kemiskinan acap kali dianggap sebagai objek politisasi semata.

Walhasil, pelbagai pertanyaan terkait parameter, metodologi, sampel yang digunakan, kondisi riil warga, tetiba lahir dan menjadi bahan perbincangan yang hangat. Apalagi jika isu semacam ini dicemplungkan ke pelataran politik yang sudah sangat terpolarisasi seperti hari ini. Aksi saling sindir antarpolitisi mendadak menjadi objek rekreasi politik yang tercerabut dari realitas kemiskinan masyarakat Indonesia itu sendiri.  

Secara konseptual, kemiskinan dalam perspektif BPS dibedakan menjadi dua macam berdasarkan standar penilaiannya. Pertama, Kemiskinan Relatif. Standar penilaian kemiskinan relatif berpedoman pada standar kehidupan yang ditentukan dan ditetapkan secara subjektif oleh masyarakat setempat dan bersifat lokal, serta mereka yang berada di bawah standar penilaian tersebut dikategorikan miskin secara relatif.

Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan pada distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu. 

Sementara itu, perhatiannya terfokus pada golongan penduduk "termiskin", misalnya 20 persen atau 40 persen lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin. Dengan demikian, ukuran kemiskinan sangat bergantung pada distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk.

Walhasil, dengan menggunakan definisi tersebut, berarti "orang miskin selalu hadir bersama kita". Garis kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara dan antarwaktu, karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.

Baca Juga: Agama, Kemiskinan dan Politik Kekuasaan

Kedua, Kemiskinan Absolut. Standar penilaian kemiskinan secara absolut merupakan standar kehidupan minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang diperlukan, baik makanan maupun non makanan. Standar kehidupan minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar disebut sebagai garis kemiskinan.

BPS mendefinisikan garis kemiskinan sebagai nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam sebulan agar dapat memenuhi kebutuhan dasar asupan kalori sebesar 2.100 kkalori/hari per kapita (garis kemiskinan makanan) ditambah kebutuhan minimum non makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang, yaitu papan, sandang, sekolah, dan transportasi serta kebutuhan individu dan rumah tangga dasar lainnya (garis kemiskinan non makanan).

Garis kemiskinan absolut nilainya tetap dalam hal standar hidup, sehingga garis kemiskinan absolut mampu membandingkan kemiskinan secara umum.

Garis kemiskinan absolut sangat penting jika seseorang akan mencoba menilai efek dari kebijakan anti-kemiskinan antarwaktu, atau memperkirakan dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan (misalnya, pemberian kredit skala kecil, dll).

Nah BPS menggunakan konsep kemiskinan absolut melalui pendekatan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan tersebut, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Kemudian baru dapat dihitung persentase penduduk miskin terhadap total penduduk. Konsep ini dipakai BPS sejak 1998 supaya hasil penghitungan konsisten dan terbanding dari waktu ke waktu (apple to apple).

Secara teknis, garis kemiskinan merupakan gambaran nilai rupiah yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok makanan dan nonmakanan. Pada Maret 2018, garis kemiskinan berada pada angka Rp 401.220 per kapita per bulan atau sekitar Rp 13.400 per kapita per hari. Artinya, penduduk dengan pengeluaran lebih dari angka tersebut, dapat dikategorikan sebagai penduduk tidak miskin. Mengapa angkanya hanya sebesar itu?

Menurut pemerintah melalui paparan Bappenas, garis kemiskinan sudah memenuhi standar, bahkan di atas standar Internasional. Batas Rp 400 ribu per kapita per bulan setara US$ 2,5 PPP (Purchasing Power Paritas atau Paritas Daya Beli) /hari dengan konversi 1 US$ PPP = Rp 5.341,5. Menurut pemerintah, angka tersebut adalah baseline Bank Dunia tahun 2011 yang masih dipakai pemerintah saat ini. Satuan US$ PPP atau Purchasing Power Parity (paritas daya beli) merupakan standar Bank Dunia untuk mengukur batas kemiskinan. Bank Dunia menggunakan batas 1,9 US$ PPP untuk extreme poverty dan 3,2 US$ PPP sebagai batas poverty. Namun sayangnya, satuan tersebut berbeda dengan kurs dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot .

Terlalu kecilnya satuan yang digunakan tentu melahirkan pertanyaan, apakah ukuran kemiskinan yang dipatok BPS cukup untuk memenuhi 2.100 kalori per hari jika harga bahan pokok ternyata terpantau cukup mahal. Sebut saja misalnya jika harga telur Rp.30.000/kg, harga beras Rp 12.000/kg, harga cabe yang sering melangit, dan lain-lain? Namun angkanya akan sangat berbeda jika pemerintah berani memakai satuan US$ dari pasar spot.

Baca Juga: Kebohongan dan Skenario Kemiskinan yang Digelembungkan

Misal pada bulan Maret 2018 yang tercatat sebesar Rp 13.700, maka garis kemiskinan bisa berada di angka Rp 1.027.500 per kapita per bulan jika memakai standar Bank Dunia di atas. Angka tersebut 2,5 kali lebih besar dari standar kemiskinan yang dipakai BPS pada periode waktu yang sama. Jika dipakai untuk garis kemiskinan, maka lebih dari 50 persen orang Indonesia akan mendadak masuk ke dalam kategori miskin. 

Dan jika kita cermati alasan pemerintah di balik penurunan angka kemiskinan, salah satu penyebab utama penurunan angka kemiskinan adalah intervensi pemerintah dalam bentuk lonjakan dana bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat miskin. Hingga akhir kuartal I 2018, penyaluran bansos naik signifikan hingga 87,6%. Curangnya, penyaluran tersebut ternyata bertepatan dengan dilaksanakannya survei sosial ekonomi nasional (Susenas) pada Maret 2018 yang menjadi sumber penghitungan angka kemiskinan saat ini. Logikanya,  jika anggaran bansos dikurangi oleh pemerintah, maka otomatis jumlah orang miskin akan kembali naik.

Mari kita lihat postur APBN-nya, anggaran bansos tahun ini mencapai Rp 78,2 triliun atau naik 41% dibandingkan tahun sebelumnya. Jumlahnya juga paling tinggi pada masa pemerintahan Jokowi. Tahun 2016, alokasi dana bansos hanya sebesar Rp 49,61 triliun. Kenaikan alokasi bansos menjelang masa Pilpres sebenarnya bukan kali ini saja terjadi, walau di era Jokowi untuk tahun ini kenaikannya terbilang luar biasa. Selama dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga ditemukan hal serupa, yakni pada 2008-2009 dan 2013-2014. Pada 2009, dana bansos naik 27% dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan pada 2013, alokasinya naik 21%.

Lantas bagaimana hasilnya? Jika membandingkan indikator kemiskinan dalam dua rezim, pemerintahan SBY periode I mampu menurunkan kemiskinan sebesar 2,51% dari 16,66% pada 2004 menjadi 14,15% pada akhir 2009. Selanjutnya, pada periode kedua, pemerintahan SBY menorehkan hasil lebih baik dengan menurunkan 3,19% angka kemiskinan dari 14,15% menjadi 10.96%. Rata-rata penurunannya per tahun 0,57%. Sedangkan, selama empat tahun pemerintahan berjalan, Jokowi berhasil menurunkan angka kemiskinan sebesar 1,14% atau rata-rata 0,28% per tahun. Dalam kacamata pukul rata, tentu terlihat jelas bahwa SBY jauh lebih mumpuni ketimbang Jokowi dalam hal penurunan angka kemiskinan.  

Kemudian strategi pengakalan angka kemiskinan lainya adalah dengan melakukan intervensi laju inflasi. Pada Juni 2018, inflasi tercatat sebesar 0,59% dan 1,9% sepanjang tahun kalender (Januari-Juni 2018). Sedangkan inflasi tahun ke tahun (Juni 2018 dibanding Juni 2017/YoY) mencapai 3,12%. Sayangnya, pemerintah mengendalikan, bahkan menekan harga pangan, dengan menjaga pasokannya, termasuk melakukan impor.

Selain itu, di saat harga minyak dunia terus naik, pemerintah juga berusaha keras menahan harga bahan bakar minyak (BBM). Caranya dengan menaikkan anggaran subsidi energi. Tak hanya sampai di situ, pemerintah melalui PT PLN juga menahan kenaikan tarif dasar listrik dengan memperbesar subsidinya. Bahkan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan subsidi listrik hingga akhir tahun ini akan membengkak. Nilainya mencapai Rp 59,99 triliun, meningkat dari target pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar Rp 52,66 triliun.

Dengan kondisi-kondisi di atas, rasanya cukup menantang untuk mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya urusan kemiskinan masyarakat Indonesia di mata pemerintah atau penguasa hanya perkara utak-atik angka, tak lebih. Jika masyarakat bisa tertahan di atas garis kemiskinan karena inflasi yang rendah, maka pemerintah akan menahan laju inflasi dengan berbagai cara,  termasuk dengan mengimpor bahan-bahan kebutuhan pokok untuk menjaga rantai pasok.

Dan jika rakyat bisa bertahan di atas garis kemiskinan selama masa survey, maka penguasa pun mulai memainkan intervensi fiskal untuk program-program sosial kemasyarakatan agar daya beli tetap memenuhi atau berada di atas standar minimal garis kemiskinan. Jadi jelas bahwa pemerintah hanya peduli dengan "penjagaan" angka kemiskinan saja,  bukan dengan pemberantasan kemiskinannya. 

***