Tajuk Kompas Soal Jurnalisme Pembangunan

Harian Kompas sempat dibreidel penguasa Orde Baru karena menulis berita yang dianggap tabu oleh pemerintah, dan dilarang terbit pada 21 Januari 1978 selama dua minggu.

Minggu, 30 Juni 2019 | 07:07 WIB
0
834
Tajuk Kompas Soal Jurnalisme Pembangunan
Jakob Oetama (Foto: Kompas.id)

Ketika Kompas menurunkan Tajuk Rencana ini, saya masih wartawan baru yang belum genap sebulan diangkat di media tersebut. Tidak heran, jika saya banyak mengkliping editorial atau Tajuk Rencana harian di mana saya kerja, demi lebih memahami sikap media saya. Kebetulan, Tajuk yang ditulis Pemimpin Redaksi Kompas, Jakob Oetama di bawah ini saya kliping. Sehingga harus mengetiknya ulang untuk saya sajikan dalam artikel ini.

Jurnalisme Pembangunan yang dikenalkan Kompas di awal dekade pertama dari tiga dekade pemerintahan Orde Baru, menurut Jakob Oetama merupakan jurnalisme yang otonom, independen, yang tak boleh diatur oleh unsur dari luar baik itu pemerintah atau bahkan pemimpin perusahaannya sendiri kecuali oleh para pengelola (Redaksi) nya.

Dan di dalam keterbatasan dan belenggu kebebasan berekspresi di era Orde Baru, dengan caranya sendiri Kompas tetap eksis, otonom, namun tetap kritis pada saatnya. Dan bahkan sempat dibreidel, diberangus penguasa Orde Baru karena menulis berita yang dianggap tabu oleh pemerintah, dan dilarang terbit pada 21 Januari 1978 selama dua minggu. Waktu itu sedang maraknya korupsi, dan berkecamuknya bisnis keluarga Istana, sementara Soeharto mencalonkan diri presiden untuk ketiga kalinya...

Di bawah ini, saya kutip lengkap Tajuk Rencana Kompas yang terbit bertepatan dengan hari ulang tahun Kompas ke-10 pada 28 Juni 1975:

TAJUK KOMPAS

28 Juni 1975

 Kompas 10 Tahun

Hari ini, Sabtu 28 Juni, Kompas genap berusia sepuluh tahun. Usia yang masih pendek untuk kehidupan surat kabar. Namun karena mengasuh surat kabar di negera-negara sedang membangun seperti negeri kita ini ibarat berlayar di antaran “Scyla dan Caribdis”, maka umur sepuluh tahun merupakan alasan cukup untuk berterima kasih.

Bersyukur kepada Allah, karena kita percaya, segala kejadian sekurang-kurangnya berlangsung dengan sepengetahuanNya. Kepada masyarakat pembaca yang setya dari permulaan hingga kini, dan yang jumlahnya terus berkembang hingga mencapai 205.000 sekarang ini. Kepada pemerintah, yang karena adanya lembaga Surat Ijin Terbit dan Surat Ijin Cetak, memegang nasib surat kabar. Juga kepada semua pembantu.

Sejak semula, tatkala surat kabar ini terbit, kami para pengasuhnya berpegang pada pendirian berikut ini: surat kabar haruslah otonom, tidak didikte atau diatur oleh orang lain, kecuali oleh para pengasuhnya sendiri. Juga tidak oleh kelompok atau lembaga yang menerbitkannya.

Sudah barang tentu, otonomi itu berfungsi di dalam kerangka luas yang disepakati. Tak pernah akan bisa berkembanglah surat kabar yang setiap kali dicampuri dari luar. Apalagi jika campur tangan itu simpang siur menurut selera atau kepentingan masing-masing pihak yang merasa mempunyai andil dalam penerbitan tersebut.

Karena otonomlah, maka surat kabar juga lantas bisa menjalankan fungsi-fungsi yang sewajarnya menjadi tugas suatu harian dalam masyarakat majemuk seperti masyarakat kita. Di antaranya menjadi mimbar tempat berdialog berbagai pendapat dan kelompok masyarakat. Inilah sebabnya harian Kompas berusaha sejauh mungkin memberi tempat kepada berbagai pendapat dan perasaan dalam masyarakat. Dengan demikian terjalinlah proses demokratisasi, proses musyawarah, proses keterbukaan sikap, bukan ketertutupan.

Masyarakat bangsa memerlukan pegangan bersama untuk hidup memasyarakat. Pegangan bersama ini lebih-lebih lagi dibutuhkan oleh suatu masyarakat yang mempunyai berbagai arus kultur dan pandangan hidup. Kita mengembangkan perbedaan untuk memperkaya dan mengkreatifkan persatuan. Itulah sebabnya harian ini ikut berusaha memfungsionalkan pegangan kita bersama dalam Pancasila.

Pengalaman di sini dan dimanapun menunjukkan, bahwa untuk memperbaiki taraf hidup dan martabat rakyat banyak, diperlukan pemerintahan kuat, efektif dan bersih. Pemerintahan semacam ini secara relatif bisa tercapai, apabila ia mampu menghasilkan sesuatu (to get things done), membuka diri untuk dikontrol dan dikoreksi, mengingat kekuasaan itu cenderung untuk bersalah guna, dan apabila bisa diusahakan adanya komunikasi terus-menerus dengan rakyat.

Baca Juga: Kompas dan Jurnalisme Pembangunan

Di satu pihak, Pemerintah harus kuat dan efektif agar mampu mencapai sesuatu; misalnya di bidang-bidang pembangunan. Di lain pihak tidak semua persoalan masyarakat bisa diselesaikan oleh sistem sosial politik dan sosial ekonomi yang manapun; apalagi diselesaikan serentak, sekaligus. Ada masalah-masalah yang tak bisa diselesaikan secara praktis. Sedangkan yang bisa dipecahkan pun memerlukan proses waktu.

Di hadapkan pada kenyataan itu, Pemerintah tidak hanya harus rasionil, praktis dan pragmatis. Tapi dengan kenegarawanan dan pertimbangan-pertimbangan sosial-psikologisnya iapun harus bisa memberikan kepuasan batin kepada masyarakat, menciptakan ruangan untuk proses akomodasi, sehingga semua pihak merasa benar-benar ikut-serta. Diperlukan selalu suatu ruangan untuk semakin memperkuat proses identifikasi.

Di sinilah kita menempatkan fungsi kontrol dan kritik surat kabar: untuk ikut menjaga agar Pemerintah dan aparaturnya, tapi juga masyarakat, kelompok-kelompok dan lembaganya, tidak menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan. Dan apabila gejala dan kecenderungan ke sana mulai menampakkan diri, maka segera bisa diperingatkan. Jelas urusan ini berunsur subyektif. Dari sebab itu diperlukan sikap tenggang rasa dan timbang rasa dari semua pihak.

Kontrol dan koreksi dalma konteks di atas juga berfungsi untuk memberikan kepada semua kelompok dalam masyarakat rasa diperhatikan kepentingannya. Di samping itu juga memberikan ruangan untuk  proses akomodasi dan identifikasi, mencegah mengendapnya rasa frustrasi dan meluaskan rasa diikut-sertakan.

Pembangunan semakin menunjukkan betapa perlunya rangsangan dari atas dipertemukan dengan potensi-potensi dinamis dalam masyarakat. Bagi surat kabar, hal itu berarti ikut mengusahakan untuk menggali, memperkenalkan dan mengembangkan potensi-potensi kreatif-dinamis dalam masyarakat dan berbagai kelompok dengan profesinya. Inilah menurut hemat kami hakekat dari “jurnalisme pembangunan”.

Pembangunan berencana dan bertahap mengandung arti: tidak semua persoalan ditangani dan dipecahkan sekaligus. Ada unsur waktu, unsur seleksi, unsur prioritas. Diusahakan, agar pembongkaran atau pembaharuan yang satu tidak menyebabkan terbongkarnya seluruh sistem.

Semakin nyata pulalah kebenaran yang selama inipun dikukuhkan oleh banyak pihak, bahwa tujuan pembangunan adalah manusia. Manusia sebagai totalitas dan persona yang memasyarakat. Maka pada akhirnya, kriteria manusia itulah yang harus dijadikan ukuran segala proses dan aspek pembangunan serta penyelenggaraan kekuasaan untuk pembangunan. Hanya dengan sikap dasar demikian itulah setiap kali bisa dicegah berprosesnya sistem politik dari hasil yang tak dikehendaki (counter productive).

Demikianlah beberapa pokok pikiran yang melandasi azas dan cara kerja harian ini selama sepuluh tahun berdirinya. Membangun, memperbaharui, menerima rangsangan-rangsangan, bahkan menggalakkan rangsangan-rangsangan, tapi tetap berakar pada bumi Indonesia dan warisan kebudayaannya. 

***