Jokowi soal Dana Rp26 Triliun di Perguruan Tinggi

Pekerjaan rumah bagi Jokowi yang sangat berat. Jokowi harus melawan dan merobohkan sistem pendidikan yang tidak menghasilkan pendidikan yang berkualitas.

Senin, 5 Agustus 2019 | 05:52 WIB
0
438
Jokowi soal Dana Rp26 Triliun di Perguruan Tinggi
Presiden Joko Widodo dan motor Gesits (Foto: Tribunnews.com)

Jokowi punya tugas berat. Untuk mendukung pembangunan SDM (sumber daya manusia), Visi Indonesia, dia harus membenahi boroknya: Kemenristekdikti. Serangkaian kegagalan bukan hanya penghamburan dana riset di perguruan tinggi yang raib tanpa hasil. Jumlahnya bejibun Rp 26 triliun.

Jokowi pun tahu masalahnya. Salah satu hasil dari dana riset Rp130 triliun itu cuma ada satu yang dikenal publik yakni motor listrik Gesits.

“Sekarang ini tersebar di kementerian dan lembaga sehingga fokusnya ke mana itu yang ingin kita benahi,” kata Jokowi di Istana Negara pada Sabtu (16/2/2019).

Jokowi paham ada masalah mendasar yakni peran dan tugas Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Selama ini Kemenristekdikti tidak memiliki blue print tentang riset di perguruan tinggi di Indonesia.

Rp130 Triliun Tanpa Hasil

Dana sebesar Rp26 triliun itu dipakai seperti Anies Baswedan mengelola dana hibah di DKI. Artinya, Kemenristekdikti menunggu proposal riset dari perguruan tinggi di Indonesia. Lalu, dikucurkanlah dana antara Rp 200 juta sampai Rp 300,000 juta, kadang ada yang lebih. Maka dilakukanlah riset oleh pengaju riset. Hasilnya laporan dalam bentuk paper, kajian ilmiah, tulisan, doang.

Bagaimana kelanjutan menjadikan PT (perguruan tinggi) di Indonesia menjadi universitas riset seperti di Amerika Utara, Eropa Barat, Singapura, Tiongkok, Korea Selatan, Australia? Jauh panggang dari api. Dana besar Rp 26 triliun kali 5 tahun (sampai 2019), masa Jokowi = Rp 130 triliun, menguap dan hanya menjadi tumpukan file, dan bahan laporan. Mau bukti?

Indikator Kegagalan Kemenristekdikti

Salah satu indikator mutu dan keberhasilan PT adalah peringkat dari lembaga kredibel. Nah UI misalnya. UI ada di peringkat ke-601 di dunia. Sementara National University of Singapore (NUS) berada di peringkat 11. Jangan membayangkan MIT atau Harvard atau Stanford. Hanya ada 22 universitas di Indonesia yang masuk dalam peringkat 500 besar Asia, menurut Quacquarelly Symonds (QS).

Mengamati peringkat PT di Asia membuat mata kita terbelalak. Kaget. Ternyata, peringkat universitas terbaik di Asia didominasi oleh Singapura, Tiongkok, Hong Kong, dan Korea Selatan. Indonesia tidak masuk ke dalam peringkat hanya untuk level Asia. Gagal total.

Inilah urutan peringkat 1-10 di Asia, National University of Singapore (NUS) , the University of Hong Kong, Nanyang Technological University (NTU), Singapura, Tsinghua University, Peking University, Fudan University, Tiongkok, The Hong Kong University of Science and Technology, Hong Kong, KAIST - Korea Advanced Institute of Science & Technology, Korea Selatan, The Chinese University of Hong Kong (CUHK), dan Seoul National University, Korea Selatan.

Untuk peringat 1-50 di dunia, hanya dua negara Asia Tenggara yang bisa menembus 50 besar Asia yakni Universiti Malaya (19), Malaysia, dan Chulalongkorn University (44). Lagi-lagi Indonesia kedodoran tidak ada yang masuk ke sana. Keok. Kalah dengan Malaysia dan Thailand.

Yang lebih parah lagi, ternyata QS membuat ranking berdasarkan 50% ditentukan oleh reputasi akademis dan pengelola universitas (rektor dan pengurus universitas). Artinya, ranking sebagai indikator keberhasilan dan prestasi PT ditentukan oleh pengelola. Kemenristek gagal mengemban tanggung jawab terhadap prestasi perguruan tinggi di Indonesia, khususnya PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Gagal.

Faktor Kegagalan Ristek di PT

Lalu apa penyebabnya? Banyak. Salah satunya adalah peran Kemenristekdikti yang bertindak sebagai pelaksana melakukan pekerjaan. Harusnya, Kemenristekdikti bertindak sebagai regulator, sebagai penentu kebijakan.

Maka segala hal tentang ristek dilakukan secara mandiri oleh PT, Kemenristekdikti mengawasi dan melakukan pembinaan. Bukan menjadi regulator sekaligus (menghindari pengawasan). Kolusi perselingkuhan administrasi dan manajemen yang begitu menjijikkan.

Kedua, dualisme pengelolaan pendidikan di Indonesia, baik tinggi, menengah dan dasar, dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama. Hasilnya? Masih dalam urusan peringkat. PT yang yang diurus Kementerian Pendidikan jeblok.

Justru universitas yang dikelola Muhammadiyah dan Katolik, di luar Kemenristekdikti masuk ke peringkat Asia, seperti Universitas Bina Nusantara (Binus), Universitas Katolik Atmajaya, Universitas Katolik Parahyangan, dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mampu bersaing dengan PTN yang berdana besar yang dikelola oleh Kemenristekdikti.

Bahkan Binus peringkat Asia-nya hanya kalah oleh UI, ITB, UGM, IPB, Unair, Unpad, ITS. Binus mengungguli Undip, Unibraw, Unhas, UNS, dan Udaya.

Salah satu indikasi kegagalan lain. Satu-satunya hasil dari riset PT dan lembaga dari Rp 26 triliun dana riset adalah Gesits karya ITS. Tetapi, nah ini tetapi, ada tetapinya. Gesits kerjasama dengan BUMN (Wijaya Karya) hahahaha. Yang hasil murni PT tidak ada sama sekali. Kalau soal file penelitian dan paten doang, tanpa kelanjutan karena hanya teori semata, banyak. Namun, tidak bisa diterapkan sama sekali. Tidak bermanfaat bagi rakyat.

Hancurnya PT di Bawah Kemenag

Lebih parah lagi PT yang dikelola oleh Kemenag. Menurut UniRank, berdasarkan popularitasnya. Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang berperingkat 20 di Indonesia berada di bawah pengelolaan Kemenag, hanya berada di urutan ke-1473 di dunia.

Ranking ini jauh di bawah peringkat University of Nairobi di Kenya yang berada di peringkat ke-1071. Kalah jauh juga dari Universitas Umm Al-Qura di Mekah (peringkat ke-1073) pun dikelola oleh Kementerian Pendidikan Saudi, bukan di bawah Kementerian Agama Saudi.

Dari 22 perguruan tinggi (PT) yang masuk dalam 500 terbaik di Asia, tidak ada satu pun yang masuk ke dalam daftar. Yang terbaik pun (UIN Maulana Malik Ibrahim) jauh di luar peringkat buncit Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang masuk peringkat ke-653 menurut UniRank.

Indikator kepopuleran ini patut dijadikan rujukan. Baik QS maupun UniRank menempatkan MIT (Massachusetts Institute of Technology) sebagai di peringkat 1 sebagai universitas terbaik dan terpopuler di dunia. NUS Singapura yang berada di urutan 11 terbaik di dunia berada di urutan ke-65 berdasarkan popularitasnya menurut UniRank.

Artinya? Dualisme pengelolaan PT ini perlu dirombak. Biar tidak hanya menjadi lembaga yang penuh dengan birokrasi dan memroduksi kertas, sebagai laporan. Riset sebagai indikator keberhasilan PT tidak bisa dicapai.

Nah, itulah PR bagi Jokowi yang sangat berat. Jokowi harus melawan dan merobohkan sistem pendidikan yang tidak menghasilkan pendidikan yang berkualitas. Output atau lulusan pendidikan yang rendah jelas jauh dari tujuan Jokowi membangun SDM yang premium, kelas dunia. Jokowi harus membenahi dari dalam Kabinet Indonesia Maju. Menterinya. Salah menteri, Jokowi gagal membangun SDM.

Ninoy N Karundeng, penulis.

****