Bukan Cuma Asal "Brojol"

Media menjadi penggorengan yang menggoreng isu yang tidak penting, semata-mata hanya untuk mempertahankan hidup.

Rabu, 20 Januari 2021 | 14:29 WIB
0
132
Bukan Cuma Asal "Brojol"
Foto:Pixabay.com

Makna kata 'Brojol' dalam bahasa jawa, keluar sebelum waktunya; keluar dari bungkusan. Namun kata ini dalam keseharian, dikaitkan juga dengan 'melahirkan' atau melahirkan anak.

Tapi bisa juga bermakna sesuatu yang keluar begitu saja tanpa dipedulikan. Seperti halnya media brojoli berita, tanpa menikirkan dampak pemberitaannya.

Yang dipikirkan hanya bagaimana berita tersebut menarik pembaca, dan tingkat keterbacaannya tinggi.

Ini sama juga orang tua yang brojoli anak, hanya untuk sekadar berpopulasi, tanpa menikirkan bagaimana tanggung jawab membesarkan, dan memberikan pendidikan yang cukup. Sehingga masa depannya tidak saja memberikan manfaat pada keluarga, tapi juga bagi orang lain.

Kita patut prihatin dengan media di era digital saat ini, yang terbit hanya sekadar mengejar setoran, dan untuk bertahan hidup di tengah persaingan bisnis media.

Dengan mengetengahkan judul yang provokatif untuk menarik pembaca, tidak peduli isinya mau nyambung atau tidak dengan judulnya.

Apa yang disajikan asal 'brojol', yang penting disukai pembaca. Trend beritanya mengikuti arah angin, kalau angin lagi mengarah ke oposisi, maka serentak semua menyerang oposisi. Kalau arah angin mengarah pada pemerintah berkuasa, maka ramai-ramai pemberitaannya pun kearah sana.

Gak usah lagi mikir cover both side, yang penting gorengan laris-manis. Campakkan semua tetek bengek idealisme Jurnalisme, yang penting dapur terus ngebul.

Siapa nyana media sekelas Tempo pun ada dalam kerumunan media penjual gorengan, karena memang sudah susah kebagian kue iklan.

Bukan tidak ada media yang masih bisa eksis, dengan mempertahankan sikapnya, tetap berpegang teguh pada idealisme Jurnalisme.

Media penjual gorengan itu tumbuh seperti cendawan dimusim hujan, dan tidak mendapat perhatian serius dari orang-orang yang periuk nasinya sudah dikencingi wartawan kacangan.

Bahkan Dewan Pers pun mati suri, seperti kehilngan peranannya. Bayangkan sekian ribu orang, bahkan mungkin puluhan ribu orang yang menggantungkan hidup dari profesi wartawan, tidak lagi bisa hidup secara layak dalam menjalankan profesinya. Sementara wartawan abal-abal bisa eksis menghirup udara kepunahan profesi tersebut. 

Kita semakin kehilangan media yang betul-betul masih berkontribusi terhadap profesi Jurnalis, yang masih mengedepankan etika Jurnalisme yang seutuhnya, Jurnalisme yang ikut berperan dalam memperkaya dunia literasi.

Baca Juga: Media Ponsel

Media kita sudah semata-mata business oriented, menghidupkan pengusaha, dan mematikan profesi jurnalis.

Kita akan menyaksikan detik-detik kematian media, seperti saat kematian film Indonesian dimasa lalu. Profesi jurnalis menjadi rusak, hanya karena tidak ada lagi yang memperdulikan dunia Jurnalisme. 

Media hidup dengan mencari keuntungan di tengah perpecahan bangsa. Media menjadi penggorengan yang menggoreng isu yang tidak penting, semata-mata hanya untuk mempertahankan hidup.

***