Malioboro di Tahun 1952

Salah satu yang lenyap pada hari ini, adalah penggunaan istilah "kongsi" untuk menyebut usaha bersama. Kosa kata ini tiba-tiba jadi bercitra negatif, jatuh harga.

Kamis, 8 Agustus 2019 | 19:47 WIB
0
512
Malioboro di Tahun 1952
Malioboro tahun 1952 (Foto: Facebook/Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Postcard di atas ini bagi saya bercerita sangat banyak sekali. Mungkin foto sejenis inilah yang menasbihkan Jogja sebagai kota sepeda, ketika sepeda masih merajai jalanan kota. Tak ada yang namanya jalan satu arah, semua jalan bisa dilalui dua arah. Tak ada juga pembatas tengah jalan, semua jalan terbuka lebar.

Saya sering juga bertanya, mengapa pada tahun awal 1950-an di Jogja ada sedemikian banyak sepeda. Jauh lebih banyak dari kota-kota lain? Padahal Jogja bukanlah kota yang kaya-kaya amat, tak ada terlalu banyak bisnis sebagaimana kota lainnya.

Setelah masa Perang Revolusi, Jogja malah relatif tambah miskin. Bergabung dengan Republik Indonesia justru membuat kerajaan tambah sengsara, Bukan saja karena harus menyediakan daerahnya sebagai ibukota negara, namun terutama harus ikut membiayai roda pemerintahan negara yang masih bayi dan minim pendanaan.

Tapi demikianlah watak kota ini, walaupun kekurangan dan bersahaja, semangat berbagi dan pedulinya sangat luar biasa. Mangkanya sekarang kalau ada yang di Pusat petentang-petenteng karena merasa diri ibukota yang kaya, mbok yao ingat sejarah. Tak ada NKRI, tanpa ada kiprah kota dan orang Jogja!

Lalu sekali lagi darimana datangnya ribuan sepeda itu? Saya pikir, politik bumi hangus yang saya pikir di hari ini sudah jadi karakter konyol bangsa ini. Sebelum kemerdekaan di Jogja dan sekitarnya terdapat 22 pabrik gula, dan nyaris semuanya dibumi hangskan pasca kemerdekaan. Tentu untuk mencegah kaum kolonial menguasai dan mengaktifkannya kembali.

Baca Juga: Toko Oen di Jogja

Walau bangunannya dibakar, tapi rupanya sepeda-sepeda itu termasuk yang diselamatkan. Dan tentu jumlahnya bisa ribuan, mengingat sedemikian luasnya area penanaman lahan tebu yang rata-rata memang dijangkau menggunakan sepeda.

Saya sering mendengar cerita, bahwa di masa perang revolusi akibat bergabungnya Kraton Ngayogyakarta sebagai kerajaan merdeka ke RI. Membuat sengsara yang terlalu (baca: rekasa sing kebengetan), terutama bagi kalangan priyayi. Sedemikian sengsaranya mereka, hingga pada satu kurun bila sebelumnya "ora tau napak lemah". Tidak pernah menginjak tanah, saking ningratnya.

Banyak yang harus berjualan barang-barang warisan keluarga di sepanjang Malioboro hanya sekedar menyambung hidup. Banyak para bangsawan yang menarik becak, bahkan ibu-ibu ningrat yang terpaksa harus jadi buruh gendong. Tak lama tentu saja, karena sejak itu juga terjadi perubahan sosial yang besar.

Tema yang menjadi bahasan mahaguru Selo Soemarjan untuk disertasinya di Cornell University. Sebuah buku yang tetap menjadi acuan dasar pelajaran sosilogi yang tak lekang dimakan waktu. Para priyayi sebagian bermutasi menjadi para wirausaha menjadi pedagang batik, sebagian lagi tentu menjadi pegawai negeri dan yang terbesar pindah ke Jakarta.

Hal ini menjelaskan kenapa sampai hari ini birokrasi di DKI Jakarta selalu didominasi oleh orang-orang Jogja maupun para keturunannya. Jangan lupa 80% Gubernur DKI Jakarta itu kalau gak orang Jogja asli, pasti sangat berbau Jogja. Sial betul, bahkan gubernur DKI terakhir dan terjelek, juga berasal dari Jogja. Bukan dari golongan priyayi, tapi malah sangat berbau Arab.

Kembali ke Malioboro, pada masa itu sebagaimana pertokoan atau wilayah bisnis, bersifat terbuka. Dalam arti tak ada peneduh jalan, toko-toko mepet langsung dengan trotoar. Tak ada pohon perindang. Karena pohon yang ditanam, umumnya hanya ada di pertigaan jalan itu pun lebih sebagai penanda daripada peneduh. Penanda bisa dibaca sebagai tempat para memedi atau hantu berumah.

Kenapa diberi rumah? Supaya gak keluyuran mengganggu orang-orang di jalanan. Makhluk halus lumrah dianggap sebagai bagian keseharian hidup. Bukan sesuatu yang harus ditakuti, tetapi juga tak perlu dijadikan kawan.

Malioboro sendiri sesungguhnya jalan yang sangat pendek. Ruasnya antara selatan rel Kereta Api Stasiun Tugu, sampai perempatan Ketandan dan Pajeksan. Sisi selatan setelahnya, dulu disebut Jalan Pecinan, kemudian diganti nama menjadi Jl. Ahmad Yani pada masa Orde Baru. Tapi setelah era Reformasi dan Jogja istemewa kembali, diganti lagi menjadi Jalan Margomulyo. Demikian pula jalan di Utara Malioboro yang dulunya bernama Tugu Kidul selama masa kolonial, diubah menjadi jalan Mangkubumi, sekarang bernama Margoutomo.

Tapi Malioboro tetap tak tersentuh! Bahkan untuk menguatkannya, banyak dilahirkan mitos2 baru yang sifatnya sangat njawani. Paksi Raras Alit sebagai figur lulusan Sastra Jawa UGM, yang terakhir menjadi Ketua FKY 2019 turut menguatkan penasbihan itu. Malya-bara katanya....

Lalu ada suatu pertanyaan? Mengapa sisi Barat Malioboro relatif lebih ramai dan semarak dibanding sisi Timur?

Dan potret-potret dari masa lalu juga nyaris 90% selalu mengabadikan dari sisi tersebut? Sangat jarang dari sisi Timur. Jawabannya, karena di sisi Timur tidak melulu perokoan, ada hotel, ada gedung fremansori (yang kini jadi gedung DPRD), ada bangunan milik gereja (yang kini jadi Malioboro Mall), ada kawasan Kepatihan, ada bangunan perkantoran).

Baca Juga: Persoalan Tanah di Djogja

Rupanya sisi Timur ini tak terlalu menarik bagi obyek fotografi. Padahal hanya ada satu bangunan termegah di sisi Barat yang ada, yaitu bekas Apatik Rathkamp yang kini menjadi Apotik Kimia Farma. Selebihnya adalah bangunan berasitektur China. Ada yang berloteng, tapi rata-rata masih tingkat satu. Banguna yang sejak dulu memang sudah berkonsep ruko (rumah toko).

Dalam foto di atas, saya baru sadar kenapa di setiap kota selalu ada toko yang bernama De Zon. Apakah itu cabang dari jaringan toko yang terbesarnya ada di Bandung? Bukan! Banyak orang suka menamai tokonya Matahari sejak zaman dulu. Kenapa matahari? Aneh juga....

Salah satu yang lenyap pada hari ini, adalah penggunaan istilah "kongsi" untuk menyebut usaha bersama. Kosa kata ini tiba-tiba jadi bercitra negatif, jatuh harga. Seolah-olah setiap kongsi adalah jahat! Kongsi jatuh naknanya sebagai persekongkolan, bukan gotong royong.

Malioboro pada masa 1950-an mengajarkan bahwa advertensi itu bermuka dua. Ada plank nama menghadap depan, tapi tetap harus dilengkapi plank yang melintang agar bisa dilihat dari jauh. Yang pertama berkuran lebih besar, yang melintang relatif lebih kecil. Hari ini nyaris lenyap. Apa lagi yang lenyap dari Malioboro?

Di hari ini? Tentu keramahtamahan yang tulus, kebersahajaan bersikap, kemandirian, kelokalan, kesederhanaan. Malioboro masih di Jogja, tapi yang jelas bukan lagi milik orang Jogja....

***

Keterangan foto: Kartu pos terbitan Tan Tat Hin, Semarang (sic), 1952. Koleksi Indonesia Early Visual Documentary (IEVD)