Persoalan Tanah di Djogja

Sultan tidak melihat manfaat nyata jalan tol bagi masyarakat asli Jogja. Ia menyebutnya "mlaku, liwat nang dalane dewe kok kudu mbayar".

Kamis, 18 Juli 2019 | 14:13 WIB
0
660
Persoalan Tanah di Djogja
Jogja (Foto: Paket Wisata Jogja)

Beberapa hari yang lalu, banyak sahabat saya bertanya dengan adanya isue bahwa Amien Rais adalah pemilik tanah terluas ketiga di DIY. Tentu setelah pihak Kraton Djogja dan Pura Pakualaman, yang secara adat memang memiliki Sultan Ground dan Kadipaten Ground.

Saya gak ngerti hoaxs seperti ini awal munculnya dari mana. Kalau dari pembenci AR, masak iya mereka gak tahu seberapa mahal tanah di Jogja pada hari-hari ini. Konon termasuk yang tertinggi di Indonesia. Berapa banyak duit yang AR punya, hingga ia sedemikian kaya. Bahlul!

Kalau sebaiknya, dari pendukung AR makin gak masuk akal. Glorifikasi AR memang sudah lama terjadi di Jogja. Ia dilebih-lebihkan melebihi kapasitas dirinya sebenarnya. Sejak jamannya ia berambisi jadi Gubernur DIY, dengan mengotak-atik status "Ke-Istimewaa-an" DIY, yang memang tidak memungkinkan rakyat biasa jadi Gubernur.

Artinya apa? Ia pengen disejajarkan dengan kedua status di atas. Jadi maunya ada AR Ground gitu? Yang sesungguhnya terjadi adalah sebagaimana setiap tahun politik: rupanya AR dan keluarganya "dibeli" oleh (konon) Hasyim Djojohadikusumo untuk mendukung Prabowo. Tugas yang memang dijalankannya dengan sangat baik. Bahkan ketika pasangan 02 telah kalah, ia pun tetap istiqamah menjalankan perannya sebagai "badman" itu. Tentu saja tidak gratis!

Dan dana kompensasi yang dikucurkan secara pribadi itulah yang digunakan untuk beli-beli tanah. Dan itupun diatasnamakan pada perguruan yang didirikan atas nama keluarganya yaitu Yayasan Budi Mulia, yang memang sangat ekspansif, eksklusif dan borjuis itu! Perguruan yang sejujurnya saya tidak tahu visi dan misi-nya bagaimana? Sependek yang saya tahu itu "sekolah mahal", yang sudah berbiak dari SD hingga kini sampai tingkat SMA.

Rumor seperti ini sebenarnya sangat jamak dan biasa di Jogja, pada era Orde Baru, keluarga Cendana sedemikian ekspansifnya beli aset-aset properti di Jogja. Banyak dalem di lingkungan Jeron Beteng yang mereka beli. Dalem Ngasem kemudian berganti nama jadi Probosutejan, demikian pula Dalem Ngabean yang terletak di kawasan Ngadisuryan tak jauh dari Alun-Alun Kidul. Dalem yang memiliki sejarah kuat dimana RRI pertama kali mengudara. Tempat dimana Ketoprak dan Dagelan gaya Mataram-an mulai disemai dan dikembangkan jadi kesenian rakyat yang populer.

Dalem terakhir ini, seiring makin "bangkrutnya" keluarga Probosutejo jatuh harga cuma jadi tempat resepsi manten, yang bisa disewa siapa saja. Tempat dimana rakyat biasa sehari "naik drajat", merasa seolah keluarga bangsawan. Bahkan sedemikian serakahnya keluarga ini, bekas Hotel Tugu yang tepat berada di depan (tepatnya di sisi Timur) Stasiun Tugu itu pun mereka kuasai. Situs yang dulu merupakan hotel termegah di Jogja itu, setelah era kemerdekaan sempat menjadi tangsi tentara.

Bahkan di atasnya dipasang gauk, untuk menyebut sirene kota. Hingga publik sempat menganggap bangunan ini benar-benar fasilitas militer, walau sesungguhnya itu hotel. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba bangunan itu beralih status jadi milik Kedawung Group. Ini perusahaan milik Probosutejo yang bergerak di bidang barang pecah belah. Eh, ndilalah kok bangkrut. Setelah sempat jadi restoran cepat saji, bangunan ini mangkrak. Jadi rumah hantu, dan saat ini ditutup dengan seng. Bikin sepet mata memandang, merusak keindahan artistektural bangunannya....

Lagi-lagi ini bukan fenomena baru di Jogja, bahwa banyak sekali bangunan heritage ditelantarkan, kemudian dirubuhkan, dan dibangun gedung baru yang sialnya tak berumur lama. Kembali mangkrak jadi "rumah hantu".

Lihatlah nyaris sepanjang jalan beraspal, yang dulu adalah sawah-sawah subur dengan irigasi teknis yang baik. Tiba-tiba berubah menjadi perumahan, ruko bisnis, atau fasilitas lain dengan rata-rata sama dengan arsitektur yang jelek dan tata bangunan yang sembarangan. Horor yang sesungguhnya karena sependek amatan saya, sangat banyak usaha yang berdiri di atas tanah itu rata-rata berusia sangat pendek.

Tak hanya bisnis bersakala kecil, bahkan hotel-hotel yang umumnya berskala dunia sekali pun, harus mengambil nafas senen kemis saking kerasnya bisnis ini. Bagaimana tidak keras, bila hotel jadi ajang cuci uang, yang tumbuh bak cendawan. Namun amburadul manajemennya, karena logika bisnisnya sesungguhnya sudah salah sedari awal.

Ijin nyogok, bangunan asal cepat jadi, arsitektur terlalu ngepop jadi mudah basi, SDM dan manjemen nyaris selalu KKN. Senyampang dengan itu, sampai detik saya kadang gak habis mengerti bagaimana mungkin nyaris semua orang yang pernah "bau Jogja". Semua ingin bertempat tinggal atau minimal punya aset di sini.

Apakah mereka yang memang kelahiran Jogja, apakah mereka yang sempat sekolah atau kuliah, atau mereka yang bahkan sekedar cuma pernah ditugaskan atau pelesir ke kota ini. Kondisi yang sebenarnya juga diakibatkan jargon yang "disombong"-kan pemerintah setempat yang menamai dirinya "Jogja Berhati Nyaman". Dan bum harga tanah melangit hingga bergerak nyaris 50 kali lipat sejak dua puluh tahun terakhir. Ya lima puluh kali lipat!

Karena itu, saya termasuk yang sangat bisa mengerti jika Ngarsa Dalem HB X sangat risi dengan Jalan Tol di Jogja. Beliau tidak melihat manfaat nyata jalan tol bagi masyarakat asli Jogja. Ia menyebutnya "mlaku, liwat nang dalane dewe kok kudu mbayar".

Masak lewat di atas tanahnya sendiri harus bayar. Tampak bego sesungguhnya, tapi memang harusnya begitu cara pemimpin memikirkan rakyatnya. Cara berpikir yang semestinya cukup sederhana saja. Mungkin ia makin sadar cara berpikir rumit dan canggih, itu hanya cara orang saling mengakali saja...

Ia sedang membelai rakyatnya yang tak mungkin lagi membeli tanah di tlatahnya sendiri. Ia sedang menangisi sedemikian banyak warisan dari nenek moyangnya yang sudah beralih status tanpa mungkin ia tututi. Ia terlambat menyadari bahwa "Tahta untuk Rakyat" itu sama sekali tidak sama dengan "Tanah untuk Rakyat"

Itu mitos, mungkin sama mythe-nya dengan kondisi Nyi Roro Kidul di hari ini! Yang dianggap sebagai lelembut yang perlu diberi busana baru bernama agama!