Makanan Kita

Pembeli yang hampir semuanya bagian dari masyarakat kelas menengah (berpendidikan tinggi), tapi sebagai konsumen tidak ada tuntutan atau gugatan komprehensif atas realita itu.

Selasa, 20 Agustus 2019 | 07:55 WIB
0
384
Makanan Kita
Ilustrasi penjual makanan keliling (Foto: Keepo.me)

Hal yang sepele tapi serius, paling tidak bagi saya. Ini tentang kebersihan yang terkait dengan makanan jajanan atau kudapan. Sebenarnya saya tidak demanding atau rewel-rewel amat dengan kebersihan makanan. Tapi setelah mengamati dengan seksama, jijik juga dengan sikap dan kelakuan para penjual makanan, baik yang keliling atau yang stasioner. 

Hal yang paling menyebalkan dari mereka, setelah ditegur atau diberi tahu, mereka mengelak, ngeles, berkelit dengan argumen konyol. Persis politikus. Padahal buktinya sangat nyata, jelas. Kalau soal sikap sebagian besar dari mereka dalam melayani konsumen itu nyebelin mah udahlah. Mereka kurang lama di-charge.

Berikut ini beberapa catatan tentang kejorokan para penjual makanan.

Suatu hari, sambil nongkrong di depan rumah, saya nunggu tukang bakso atau ketoprak lewat. Dari jarak puluhan meter terdengar suara mangkuk yang diketuk-ketuk dengan sendok. Nah ada Tukang Bakso. Saya perhatikan dari jauh. Eit...dia berhenti sejenak lalu jongkok. Rupanya dia membetulkan sendal jepit yang dipakainya. Karetnya lepas, kayaknya. Terus berdiri lagi mendorong gerobaknya. Begitu sudah dekat, ups...dengan bergegas tetangga sebelah keluar rumah sambil membawa mangkuk. Dia nyetop Si Tukang Bakso duluan.

Karena dekat, saya nyamperin. Saya amatin sendal yang dipakenya. Bujuuuggg.....kotor banget. Kakinya juga gak kalah dekil, berdebu yang melekat. Wajar saja, karena dia mendorong gerobaknya di jalanan, keluar masuk kampung. Oke, gak apa-apa, kalau sebelum dia melayani konsumen, menyiapkan mie bakso, dia cuci tangan dulu.

Tapi apa yang terjadi? Tanpa mencuci tangan terlebih dulu, dia langsung mengambil mangkuk dari tangan tetangga saya, lalu dia nyomot mie, nyomot bihun, toge, sayur dengan tangan kosong, tanpa sarung tangan (udah pasti). Terus saya amatin juga pegangan, yang biasa dipegang Si Penjual Bakso itu ketika mendorong gerobak, sama dekilnya, berdebu. Dan yang pasti, tangannya berkeringet juga berdebu.Tentu.

Kalau naik motor agak lama aja tangan kita pasti kotor, berdebu. Tidak hanya itu, dia juga dengan bebasnya memegang uang, henpon, dan lain-lain. Yakhhh....!!!  Dan lagi, tak mungkin selama berjualan para pedagang makanan itu tidak pernah garuk-garuk (di bagian tubuh mana saja) karena gatal, ketombe, panu, kutu air atau sebab lainnya. Dan tak ada jaminan, mereka cuci tangan setelah garuk-garuk. Lalu menyentuh, memegang makanan yang dijual ke pembeli.

Saya teringat cerita teman saya, Si Tjipto yang oleh Emaknya dilarang jajan sama penjual makanan keliling. Intinya gini. Tidak setiap kali Si Abang penjual makanan keliling itu merasa pengen kencing, dia sedang berada dekat dengan mesjid. Sehingga dia bisa kencing di toilet mesjid, dan cebok dengan air bersih. Biasanya, (dan saya sering melihat) penjual makanan keliling yang berdiri dekat semak-semak, sedang kencing.

Hal lain yang pasti adalah, dia tidak kencing dengan gaya lepas tangan. Pasti ketika kencing, dia memegangi tititnya, agar mancur airnya terarah, tidak kena celana. Kalo tidak cebok pakai air, (ini kebiasaan semua lelaki kalo kencing tidak di tempatnya) dia akan menyentil-nyentil pelan tititnya. Agar sisa beberapa tetes air kencing yang menempel di ujung tititnya jatuh. Sering kali, beberapa tetes air kencing justru mendarat di punggung telapak tangan. Itu cukup dipeperkan ke baju atau celana.

Nah, siapa yang menjamin kalo Si Abang Bakso yang kencing di semak-semak itu, mencuci tangannya dengan air bersih sebelum dia melayani pembeli? Ho ho hooo.....setelah pegang-pegang tititnya, dia nyomot mie, bihun, toge, sayur, bawang goreng, seledri, dengan gembira. Guriiiihhhh beneeeerrrr.....!!!

Bukan cuma Tukang Bakso. Kebiasaan jorok itu juga terjadi pada penjual makanan lainnya. Ketoprak, bubur ayam, nasi goreng, buah/rujak, cendol, dan lain-lain.         

Cerita lain, di Bandung beberapa tahun lalu. Saya berkunjung ke tempat kost teman saya, Musa (bukan nabi) di daerah Sekelimus. Waktu itu, sekitar jam 08.00 malam hujan gerimis, membuat kami malas keluar untuk makan malam. Diputuskan, beli nasi goreng dari penjual yang biasa lewat. Setelah datang Tukang Nasi Goreng, kami pesan. Ketika Si Penjual itu menyerahkan dua piring nasi goreng, terlihat sama teman saya, tangan Si Penjual itu kotor, kukunya panjang-panjang dan item, penuh kotoran.

Nasi goreng diterima. Lalu dengan sangar Musa meminta Tukang Nasi Goreng itu menunjukkan kedua tangan di depannya. Kayak guru SD ke muridnya.  Setelah membayar. Musa membuang dua piring nasi goreng yang masih panas itu ke tong sampah. Tukang Nasi Goreng itu melongo.

“Besok-besok, kalo kamu mau jualan ke sini, potong dulu kuku kamu, cuci tangan yang bersih!!” hardik Musa mengingatkan.

Melihat adegan itu dalam hati saya berdo’a. ‘Semoga tukang nasi goreng itu sadar. Atau kalau dia tidak sadar semoga dia sakit hati, lalu bunuh diri!’.

Di hari berbeda, saya mau beli soto ayam. Sambil menunggu, saya perhatikan perhatikan apa yang dilakukan penjual soto itu. Dia melayani pembeli yang datang duluan. Dia terima duit, buka kas, pilih-pilih duit buat kembalian, lalu menyerahkannya ke pembeli tadi.

Pas giliran saya, ada trouble dengan kompornya. Dia membetulkan sebentar. Kemudian, tanpa cuci tangan terlebih dahulu, dia langsung memasukkan bumbu-bumbu ke piring soto. Ketika dia menyuir-nyuir daging ayam dengan tangannya (yang pasti kotor). Saya tanya.

“Itu buat saya?”
“Iya Pak,” jawabnya.
“Begini. Kamu tidak usah terusin bikin sotonya. Tapi soto itu tetap saya bayar,” saya dengan nada kesal.
“Memangnya kenapa Pak?” tanyanya lagi.
“Lah! Kamu sudah benerin kompor, pegang-pegang duit, tanpa cuci tangan, tanpa sarung tangan (udah pasti), memegang, menyuir-nyuir daging ayam buat soto yang mau saya makan!!” dengan volume lebih tinggi.

Si Monyet Penjual Soto itu diam. Tapi suara saya mengundang beberapa orang yang berada di situ menoleh, mendekat. Ada juga yang bertanya. Saya jelaskan. Hal yang mengherankan, kebiasaan jorok penjual soto itu pasti sudah berlangsung lama. Tapi sepertinya, tidak ada konsumen yang complain. Padahal sebagian besar dari mereka berakal sehat, berpendidikan tinggi dan beragama yang mengajarkan hidup bersih.            

Lalu, sebagai orang Cianjur, saya suka makan Bubur Ayam Cianjur. Di depan ruko-ruko kompleks tempat tinggal saya ada penjual bubur ayam yang menggunakan sarung tangan plastik ketika melayani pembeli. Laris sekali. Tapi bukan Bubur Ayam Cianjur. Satu kali di sekitar situ ada yang menjual Bubur Ayam Cianjur. Saya mau coba. Tapi ketika menyiapkan jualannya, dia tidak pakai sarung tangan dan cenderung jorok. Gak jadi beli. Saya bilang, kalau mau laku seperti penjual bubur yang satu itu, coba pakai sarung tangan. Dan goblokly dia menjawab (dalam Bahasa Sunda). 

“Ari dagang laku pisan teh sok cape lah. Sanggeuk. (Kalau jualan laku banget tuh suka capek. Males.)".

Satu kisah lagi. Teman saya main tennis, Prof. Sambas (IPB) menceritakan, ia pernah melihat tukang rujak/buah dingin sedang mencuci buah-buahan di kali dekat rumahnya. Walau tidak hitam, air kali itu jauh dari bersih. Si Tukang Rujak itu mencuci buah-buahan (bahan baku rujak) di kali, karena pompa air di rumah kontrakannya rusak. Ketika ditegur, ternyata  alasannya dia malas nimba air dari sumur secara manual. Disguesting!!!

Saya yakin, semua yang saya tulis itu juga merupakan pengetahuan semua orang. Tapi hal itu terus berlangsung. Tak ada perubahan perilaku (terkait kebersihan) dari para penjual makanan jajanan pada umumnya. Full body contact antara penjual dengan makanan yang dijualnya menjadi hal yang biasa, bukan hal yang dihindari.

Sekarang, kalau mau membeli makanan dari penjual keliling atau kali lima, saya suka memperhatikan sosok 3D penjualnya. Muka, badan, tangan, baju. Kalau sekiranya kotor, dekil, jorok, mending gak jadi. Kalau pengamatan selintas saja menyimpulkan tidak layak, dapat dipastikan bagaimana dia atau mereka menyiapkan bahan-bahan makanan, peralatan jualan, lingkungan tempat tinggalnya, pasti tidak jauh dari penampakan dan perilaku penjual, gerobak atau tempat berjualannya.

Saya bukan tidak concern dengan usaha mikro, tapi kesehatan harus didahulukan. Kalaupun tidak langsung sakit, kita tidak harus menunggu sakit karena makan makanan yang tidak bersih. 

Anehnya, pembeli yang hampir semuanya bagian dari masyarakat kelas menengah (berpendidikan tinggi), tapi sebagai konsumen tidak ada tuntutan atau gugatan komprehensif atas realita itu. Jadi wajar saja kalau sebagian besar kelas menengah negara ini apatis. Jangankan dengan persoalan pola pikir yang masih terbelakang (kayak di sidang MK), atas persoalan yang berkaitan langsung dengan metabolisme tubuhnya aja gak peduli!

Jangan-jangan, masyarakat kita memang menginginkan Indonesia tetap seperti sekarang, jorok, dan kotor.  Masyarakat yang sakit.     

***