Bunuh “Tuhanmu”, Bunuh “Orang Tuamu”, Lalu…. Bunuh “Dirimu” Sendiri

Setelah “tuhan, orang tua dan diri” dibunuh, apa yang tersisa? Yang tersisa adalah kesadaran murni. Ini adalah inti dari kehidupan.

Kamis, 27 Januari 2022 | 15:20 WIB
0
136
Bunuh “Tuhanmu”, Bunuh “Orang Tuamu”, Lalu…. Bunuh “Dirimu” Sendiri
Ilustrasi pikiran (Foto: rumahfilsafat.com)

Percakapan di kafe sederhana itu memanas. Seorang teman minta dijelaskan, apa inti utama dari Zen. Saya menjawab: bunuh “tuhanmu”, “orang tuamu” lalu “dirimu” sendiri. Reaksinya bisa dimengerti: APA??!!

Reaksi anda pasti serupa, ketika membaca judul ini. Apakah Reza sudah gila? Apakah ia menyarakan orang untuk bertindak tak bermoral, dan melawan hukum? Beberapa penjelasan tentu diperlukan.

Ungkapan “bunuh tuhanmu, orang tuamu dan dirimu sendiri” bukanlah ciptaan saya. Begitu banyak master Zen terbesar di dalam sejarah menyarankannya. Bagi mereka, inilah ajaran Zen yang tertinggi. Pola serupa, dengan ungkapan yang lebih halus, juga ditemukan di dalam berbagai tradisi Dharma Asia.

Satu hal yang pasti. Tidak ada anjuran untuk sungguh membunuh di sini. Tidak ada anjuran untuk hidup sebagai seorang kriminal. Justru sebaliknya, tiga tindakan membunuh ini akan membawa orang pada pembebasan dan pencerahan batin tertinggi.

Bunuh “Tuhanmu”

Manusia gemar merumuskan konsep tuhan. Konsep tersebut lalu disembah. Orang yang tak sepaham dengan konsep itu dipinggirkan. Bahkan, mereka dibunuh dengan kejam, hanya karena tak sepaham.

Tuhan yang sebenarnya tidak bisa dikonsepkan. Bahkan, ia tidak bisa dibahasakan. Tuhan berada melampaui pikiran dan bahasa manusia. Ia tidak bisa dipahami dengan akal budi, tetapi bisa dialami, asal kita memahami caranya.

Tuhan yang bisa dikonsepkan bukanlah Tuhan. Tuhan yang bisa dibahasakan bukanlah Tuhan. Itu hanya gambaran manusia tentang Tuhan. Itu hanya ilusi. Karena ilusi ini, begitu banyak konflik, perang dan penderitaan terjadi.

Bunuh “Orang Tuamu”

Orang tua, bagi banyak orang, adalah simbol kenyamanan. Orang tua adalah ingatan masa lalu yang indah. Ini membuat orang terlena di dalam ingatan. Orang jadi malas untuk keluar dari kenyamanan, dan menemukan jati dirinya yang asli.

Zona nyaman memang nikmat. Namun, ia berbahaya. Orang bisa terlena, dan malas berpikir. Akhirnya, orang tidak sungguh hidup, melainkan hanya mengikuti segala peristiwa dengan buta.

Manusia yang hidup dalam zona nyaman akan menjadi manusia yang kerdil. Ia mengikuti tradisi buta, tanpa tanya. Ia menjadi budak dari lingkungan sosialnya. Pikirannya dangkal, dan bahkan cenderung fanatik, sehingga berbahaya untuk kehidupan yang beragam.

Bunuh “Dirimu” Sendiri

Karena pengaruh lingkungan sosial, ego pun terbentuk. Ego adalah identitas diri yang dibangun dalam hubungan dengan dunia sekitar. Di dalam ego, ada nafsu untuk mengontrol segalanya, supaya sesuai dengan keinginan. Di dalam ego, ada kehendak untuk berkuasa yang kerap kali berbahaya untuk kehidupan.

Padahal, dunia terus berubah. Kita hidup di lempengan api yang terus bergerak. Bencana alam bisa terjadi setiap saat. Jantung pun bisa berhenti seketika, dan tubuh kita berakhir masa hidupnya.

Tak ada yang bisa dikontrol. Kontrol adalah ilusi ego. Ini sangat berbahaya, karena bisa membuat derita yang sangat berat, dan menghancurkan segalanya. Bunuh dirimu sendiri berarti membunuh ego, ambisi dan nafsu ingin mengontrol di dalam batin. Orang pun lalu sampai pada kesadaran, bahwa ego itu sesungguhnya tak pernah ada.

Setelahnya?

Setelah “tuhan, orang tua dan diri” dibunuh, apa yang tersisa? Yang tersisa adalah kesadaran murni. Ini adalah inti dari kehidupan. Seluruh filsafat dan jalan spiritual mengarahkan manusia untuk menemukan kesadaran murni ini. Ia adalah jati diri asli dari manusia, dan inti dari segala sesuatu.

Ada tiga ciri dari kesadaran murni. Yang pertama, ia kosong. Tidak ada konsep dan bahasa di dalamnya. Tidak ada penilaian moral dalam bentuk apapun di dalamnya

.Dua, kesadaran murni sepenuhnya sadar. Ia membuat manusia mampu menjalankan kelima fungsi inderanya. Kesadaran murni sepenuhnya utuh, dan tidak pernah padam. Sepanjang hidup, kita perlu untuk terus mengenali kesadaran murni di dalam diri. Ketika tubuh kita hancur, kesadaran murni perlu untuk terus disadari, sehingga pembebasan tertinggi bisa dicapai.

Tiga, kesadaran murni bersifat tak terbatas. Ia tidak memiliki tempat fisik. Ia juga tidak memiliki unsur materi. Ia seluas semesta, dan menjadi titik hubung kita dengan segala yang ada. Sesungguhnya, kita tak pernah berpisah dengan segala yang ada.

Terus Berlatih

Mengenali kesadaran murni adalah pembebasan yang sejati. Derita lenyap dalam seketika. Pencerahan pun dialami secara nyata. Ini hanya dapat dicapai, jika “tuhan, orang tua dan diri” sudah dibunuh.

Dalam keseharian, kita bisa juga terus berlatih. Apa yang sedang anda lakukan sekarang? Lakukan sesadar mungkin. Keterlibatan total dalam setiap saat kehidupan adalah jalan tercepat untuk menyentuh kesadaran murni.

Apa yang sedang terjadi? Alami sepenuhnya. Jangan ditolak. Jangan dinilai, atau diberi beragam cap. Cukup alami dan sadari. Maka, kesadaran murni akan muncul ke depan.

Ini pelajaran terpenting dalam hidup. Karena kedunguan kita di Indonesia, ia terlupakan. Kita justru mengajarkan begitu banyak hal yang tak penting dan tak mutu di Indonesia. Mau sampai kapan?

***