Timbunan Emas Batutulis

Di setiap zaman selalu ada orang-orang dan kejadian yang akan menguji daya pikir kritis. Apalagi jika itu cerita tentang kekuasaan, harta , uang triliunan, dan harta karun yang mengendap di satu pojok dunia.

Minggu, 1 Agustus 2021 | 08:32 WIB
0
687
Timbunan Emas Batutulis
Heboh sumbangan Rp2 triliun (Foto: liputan6.com)

Sidang kabinet baru saja selesai, suatu hari di bulan Juli 2002, ketika Said Agil Husin Al-Munawwar mendekati Presiden Megawati yang tengah berjalan keluar dari ruangan rapat di istana. Sambil berjalan, sang menteri berbisik ke telinga Presiden. “Mbak, ada amanat dari ustadz ..... (Said menyebut satu nama).”

Apa gerangan pesan itu? Ternyata sebuah tawaran yang menitikkan air liur. Sang menteri menyebut keberadaan harta karun besar berupa bongkahan emas peninggalan Pakuan Pajajaran di bawah Prasasti Batutulis, Bogor. Harta karun ini bernilai triliunan yang dapat menutupi hutang luar negeri Indonesia.

Boleh jadi, cerita ini tak masuk akal Presiden Megawati. Ia sama sekali tidak menanggapi ucapan Menteri Agama. Tapi rupanya, Said Agil menganggap diamnya seorang wanita adalah isyarat setuju.

Pada hari Jumat 16 Agustus 2002, Said Agil yang masih mengenakan baju safari dan mobil menteri, datang ke Bogor bersama seorang paranormal dan empat orang tukang. Mereka menggali areal situs Prasasti Batutulis.

Menggali seharian, sampai tengah malam. Bertimbun-timbun tanah galian dikeluarkan, harta karun yang dicari tak kunjung muncul. Penggalian ini meninggalkan bekas berbentuk parit sedalam dua meter, panjang enam meter.
Begitu berita ini tersebar, Said Agil berkilah: empat tukang gali yang dibawanya itu tidak ikhlas. “Harta karun berupa emas itu menghilang begitu digali,” katanya.

Setengah abad sebelumnya, di tahun 1950-an, sepasang suami istri diterima Presiden Soekarno di Istana Negara. Mereka adalah Raja Idrus dan Ratu Markonah, Raja dan Ratu Suku Anak Dalam dari Jambi, Sumatera. Sejarawan Anhar Gonggong bercerita bahwa seorang pejabat daerah yang pernah menerima pasangan raja-ratu ini menyarankan Bung Karno untuk bertemu mereka. “Raja dan ratu itu bisa membantu pembebasan Irian Barat,” kata sang pejabat daerah.

Presiden Soekarno menerima mereka dengan tangan terbuka di istana. Media massa turut berpesta: Koran Marhaen dan Duta Masyarakat memasang foto pertemuan antara Presiden Republik Indonesia dan Raja-Ratu Suku Anak Dalam besar-besar. Di foto itu, Ratu Markonah berkaca mata hitam. Keterangan fotonya: "Raja Idrus dan Ratu Markonah akan membantu Indonesia membebaskan Irian Barat".

Semua orang terkesima. Para pejabat juga menyambut pasangan itu dengan hormat dan takzim bila mereka datang berkunjung. Mereka laris diajak berfoto dan diliput wartawan. Ada juga yang mengabarkan Presiden Soekarno memberi mereka uang saku untuk menginap di hotel mewah dan makan gratis selama berminggu-minggu.

Kedok pasangan ini terbongkar saat asyik berwisata dan berbelanja cinderamata di sebuah pasar di Jakarta. Seorang pengunjung pasar yang ikut merubung mereka mengenali Raja Idrus yang ternyata adalah kawan lamanya: mereka pernah sama-sama menarik becak.

Dari kabar itu, seorang wartawan kemudian menemukan jejak Markonah. Sang permaisuri ternyata adalah, ”seorang pelacur kelas bawah di Tegal, Jawa Tengah,” tulis Anhar Gonggong.

Pada tahun 1998, menjelang akhir kekuasaan Orde Baru, seorang perempuan paruh baya bernama Lilik Sudarti muncul dan mengaku memiliki bukti kepemilikan dana besar amanah Bung Karno di setidaknya 21 bank di Swiss. Jumlahnya tak tanggung-tanggung: US250 miliar atau lebih dari Rp2.200 triliun dengan kurs saat itu.

Entah mendapat bisikan siapa, Presiden Soeharto juga tergiur dan mengeluarkan surat penugasan untuk Lilik Sudarti untuk mencari harta karun itu.

Langkah Lilik berlanjut ke periode pemerintahan berikutnya. Presiden Abdurrahman Wahid ternyata juga percaya kepadanya. Pada tahun 2001, Gus Dur mengeluarkan surat penugasan untuk Lilik dan Menteri Sekretaris Negara Djohan Effendi untuk mencairkan harta amanah Soekarno.

Seiring dengan waktu, cerita tentang Dana Revolusi ribuan triliun di bank-bank Swiss itu menguap begitu saja. Tak ada kabar sampai hari ini.

Begitulah. Di setiap zaman selalu ada orang-orang dan kejadian yang akan menguji daya pikir kritis kita. Apalagi jika itu cerita tentang kekuasaan, harta berlimpah, uang triliunan, dan harta karun yang mengendap di satu pojok dunia. Cerita itu akan menyirap kita apabila diaminkan pula oleh para pejabat negara.

Karena itulah, saya tak mudah percaya setiap kali membaca atau mendengar bualan orang tentang uang triliunan. Tentu saja saya menikmatinya sebagai cerita yang menghibur, seperti membaca ramalan bintang -- senang bacanya, tapi tak percaya isinya.

Di era seterbuka sekarang, kabar-kabar yang berseliweran selalu menemukan tautan yang akan menguji kebenarannya.

***