Belum pula memakai agama untuk cari uang dengan nipu. Untuk menghina budaya yang berbeda, dengan negara asal agama yang dianut. Ada pula untuk tujuan menggulingkan pemerintahan.
Apakah penusuk Syekh Ali Jaber seorang yang mengalami gangguan jiwa, sebagaimana pengakuan orangtuanya? Polisi sedang memeriksa kemungkinan itu. Saya sih sejak awal sudah menuduhnya, pelaku mengalami gangguang jiwa. Apakah pelaku beragama atau tidak, tetap bisa dipastikan jiwanya mengalami gangguan.
Emangnya, gangguan jiwa itu apa sih? Jiwa yang terganggu bukan? Menurut siapa? Menurut yang tak terganggu, atau setidaknya terganggu tetapi bisa mengendalikan? Siapa, atau apa yang mengendalikan? Tentu diri-sendiri yang mengendalikan. Dengan apa? Dengan jiwa yang tidak terganggu. Mbulet ae di situ.
Tenang, bisa meresapi suatu masalah. Memakai otak untuk berpikir. Memilih dan memilah. Menalar, dan seterusnya. Dalam istilah Prof. Laks, antropolog UGM, menjadi manusia genah diri. Maka dalam agama pun, ukuran kualitas manusia adalah perilakunya, berdasar pikiran, pendapat dan perbuatannya. Outputnya. Bukan inputnya.
Saya tidak mengamini pendapat salah satu wakil ketua MPR dari PKS, yang tak percaya jika penusuk ulama itu orang gila. Katanya, orang gila kok selalu bisa milih ulama. Pernyataan politikus kelahiran Klaten itu jelas, seperti biasa, tendensius.
Padal kalau mau pakai yang kita sebut validitas, serahkan pada ahlinya. Polisi, Dokter Ahli Jiwa (Psikiater), yang memiliki standar kualifikasi dan sertifikat dari otoritasnya. Maka pada politisi tua PKS itu, saya ingatkan disitu pentingnya sertifikasi da’i atau ustadz-ustadzah.
Ingat ya, da’i dan ustadz-ustadzah. Jangan dibelokkan sertifikasi ulama. Ulama itu penyebutan penghormatan, baik pengakuan jujur atau tidak. Tak diperlukan sertifikasi atas hal ini secara generik.
Helm saja ada standar kualitasnya, mongsok ahli agama nggak mau disamain kualitas dengan helm? Emangnya ahli agama lebih mulia dari helm? Kalau tak ada ukurannya, gimana cara ngukur ‘sertifikat paling sahih dari allah’? Agama kok dipakai ngapusi, dengan cara nakut-nakuti. Sejak kapan tuhan memberi mandat, dan percaya, pada politikus? Apalagi yang busuk, dan tendensius?
Orang bisa terganggu jiwanya, karena cem-macem sebab. Bahkan tak sedikit yang terganggu jiwanya gara-gara ahli agama mengajarkan fanatisme dengan memusuhi penganut agama lain.
Ini agama apa-apaan? Pasti bukan agamanya kan? Tafsirnya kan? Di situ letak persoalannya. Karena tak sedikit yang memakai agama bukan untuk memperbaiki akhlak. Ada lho, yang memakai agama untuk cari jodoh, atau poligami. Kaloo bukan pelaku tak usah baper.
Belum pula memakai agama untuk cari uang dengan cara nipu. Untuk menghina budaya yang berbeda, dengan negara asal agama yang dianut. Ada pula untuk tujuan menggulingkan pemerintahan. Faktanya begitu kan? Kalau jiwa yang terganggu itu hanya jiwanya sendiri, tak apalah. Kalau gangguan jiwanya mengancam jiwa liyan? Kalau penusuk itu beragama, tanda agama tidak bisa menjadi pembimbingnya. Tapi kalau penusuk itu tidak beragama, para ahli agama ngapain saja mengaku sebagai waliullah? Sebagai sayidin panatagama? |
@sunardianwirodono
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews