Rasanya memang tak ada pilihan lain selain kita bersama-sama memaksimalkan ikhtiar disertai doa sebagai wujud penghambaan kepada Tuhan, lalu disempurnakan dengan tawakal.
Sudah dua bulan lebih, dari awal Maret Hingga Mei 2020, penyebaran virus Corona belum juga ada tanda-tanda selesai. Bahkan jumlah positif Covid-19 terus bertambah dan saat artikel ini ditulis sudah mencapai angka di atas 10 ribu.
Segala usaha sudah dilakukan. PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) semakin diperluas. Doa-doa tak kurang dipanjatkan. Sejak awal Corona menyebar, semakin banyak dari kita meningkatkan frekwensi berdoa. Semakin rajin kita berdoa agar pandemi Corona ini segera berakhir.
Mungkin di benak kita pernah terlintas pikiran-pikiran nakal. Mengapa Tuhan tidak lekas mengabulkan doa kita? Mengapa justru negara-negara komunis seperti Cina, Vietnam, Korea dan Cuba yang pemerintahnya otoriter justru lebih cepat meredam virus Covid-19 dibanding negara-negara yang religius seperti Malaysia, Iran, Arab Saudi, atau Turki, dan tentunya negara kita?
Sebagai umat beragama, tentu kita tidak ingin buru-buru berasumsi bahwa doa kita tidak makbul. Terlebih lagi berprasangka buruk terhadap Tuhan.
Lalu, apakah ikhtiar atau usaha kita kurang? Adakah yang salah dengan usaha kita? Bisa iya bisa tidak. Karena kita bisa melihat bersama-sama bagaimana pemerintah kita telah berusaha maksimal dengan segenap kekurangan dan kelebihan. Kita pun sudah mematuhi protokol pencegahan, walau di sana sini masih banyak yang ngeyel dan abai terhadap himbauan pemerintah. Sudah banyak pula masukan, kritik bahkan hinaan dan hujatan-hujatan kepada pemerintah untuk segera dapat menghentikan pandemi yang melanda seluruh negara di dunia ini.
Tetapi memang setiap keputusan di saat sekarang ini sulit untuk memuaskan semua pihak. Sektor ekonomi dan kesehatan sangat sulit dipisahkan. Yang sangat vokal mengkritisi pun belum tentu lebih baik bila berada di posisi memerintah. Karena seperti kita menonton bola, berkomentar di bangku tribun atau duduk di depan televisi itu jauh lebih mudah dibanding memainkan bola di lapangan.
Mungkin selama ini kita sebagai manusia seringkali bertengkar antar sesama karena merasa lebih pintar dan lebih benar. Fanatisme dan rasisme menjadi makanan sehari-hari. Di tempat lain orang-orang sibuk dengan menyombongkan kekuatan senjata dan ilmu pengetahuan.
Di sinilah barangkali Tuhan mengutus makhluknya yang super kecil tapi ganas yang bernama virus Corona untuk memberi peringatan. Juga mengajarkan betapa kita adalah hamba Tuhan yang fakir. Yang serba kekurangan. Yang bisa sewaktu-waktu tak berdaya menghadapi kekuasaan-Nya. Yang hanya bisa berupaya sebatas kemampuan sebagai manusia, meminta pertolongan dengan doa. Tidak lebih.
Namun, bisa dimengerti bila penantian yang panjang selama wabah Corona masih terus berlangsung bisa mengakibatkan kejenuhan dan kelelahan. Bisa jadi lelah juga berdoa. Agar kita tak lelah berdoa, barangkali kita perlu melihat lebih dalam sisi spiritual kita bahwa penderitaan yang dialami umat manusia akibat virus Corona ini sebagai sebuah ketentuan Tuhan yang sudah tertulis sebelum penciptaan alam semesta. Sebagaimana rejeki dan ajal kita. Semua sudah ditentukan sebelum kita dilahirkan. Sekuat apapun kita berusaha dan berdoa, tak akan pernah bisa menembus benteng takdir.
Kalau begitu, jika semua sudah ditentukan, untuk apa kita berdoa?
Barangkali kita perlu mengubah paradigma berdoa kita dari "meminta" menjadi "mengabdi".
Selama ini kita berdoa lebih banyak didorong oleh permintaan terhadap hal-hal yang bersifat keduniawian. Misalnya minta diberi rejeki yang banyak, dilimpahkan kesehatan, minta dikabulkan harapan dan cita-cita kita, termasuk doa kita akhir-akhir ini: ingin virus Corona segera sirna dari kehidupan kita.
Berdoa untuk terkabulnya hajat duniawi tentunya baik-baik saja, karena itu pun diperintahkan oleh Tuhan. Tetapi bila ternyata doa kita tidak cepat terkabul bahkan sampai kita dipanggil menghadap yang kuasa belum juga terkabul, bisa jadi kita akan mengalami kekecewaan, stress dan berkurang keimanan kita kepada Tuhan. Ini apabila kita berdoa semata-mata didorong oleh keinginan duniawi, bukan sebagai bentuk dan bukti penghambaan atau pengabdian kepada Tuhan.
Karena itu alangkah baiknya tetap berdoa dengan pemahaman hakikat doa sebagaimana yang dinasehatkan oleh ulama sufi Syeikh Ibnu Atthoillah Al-Sakandary dalam salah satu hikmahnya yang ditulisnya di kitab Al Hikam.
Karena nasehatnya dalam bahasa Arab, saya coba kutip terjemahannya sebagai berikut:
“Jangan maknai permintaanmu sebagai sebab atas pemberian Allah yang itu menunjukkan kekurangpengertianmu terhadap-Nya. Hendaklah sadari bahwa permintaanmu adalah pernyataan kehambaan dan pemenuhan atas hak-hak ketuhanan."
Sebagai penjelasannya saya kutip ulasan Syekh Syarqawi. Menurut beliau, doa jangan diniatkan sebagai sebab atas pemberian-Nya. Niatkan itu semua sebagai bentuk pengabdian atau penghambaan manusia kepada Tuhan.
Allah tidak memerintahkan hamba-Nya berdoa kecuali untuk menyatakan kefakiran mereka terhadap-Nya dan kerendahan mereka di hadapan-Nya, bukan untuk mereka jadikan sebab demi mendapat permohonan dan meraih keinginan mereka.
Jadi pada hakekatnya tidak ada kausalitas atau hubungan sebab akibat antara doa dan terkabulnya doa. Tuhan Maha Pencipta tidak memerlukan sebab sehingga karena kita berdoa maka Tuhan memberi. Karena apabila doa kita terkabul itu semata-mata karena doa kita selaras dengan ketentuan qada dan qadar-Nya.
Kecewa dengan pemerintah, sah-sah saja. Tetapi tetap perlu menjaga adab sebagai warga negara yang baik. Kritik bisa disampaikan dengan cara yang baik tanpa hinaan dan hujatan berlebihan.
Tak ada yang ingin semua ini terjadi. Kita dukung saja usaha pemerintah, minimal dengan mantaati himbauannya dengan menjalani protokol pencegahan virua Corona.
Rasanya memang tak ada pilihan lain selain kita bersama-sama memaksimalkan ikhtiar disertai doa sebagai wujud penghambaan kepada Tuhan, lalu disempurnakan dengan tawakal.
So..., tak perlulah kita mengimpor pemimpin otoriter seperti Kim Jong Un atau menjadi komunis seperti Vietnam hanya karena ingin masalah Corona lekas selesai.
***
Referensi :
1. https://islam.nu.or.id/post/read/84564/hakikat-doa-bagi-para-wali-allah-menurut-ibnu-athaillah
2. Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf (Al Hikam), Prof. Dr. K.H. Muhibbuddin Waly
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews