Asal Muasal Kompas [27] Perjalanan Menjadi Wartawan

Tentu saja ini membuat saya mengkerut. Namun akhirnya semua berlalu dengan baik, Wirasmo berhasil menenangkan dan saya pun tetap hidup hingga saat ini.

Kamis, 26 September 2019 | 07:02 WIB
0
756
Asal Muasal Kompas [27] Perjalanan Menjadi Wartawan
Potret J Adisubrata dan keluarga (Foto: Kompas.id)

Pekerjaan sebagai layoutman koran memang berbeda dengan majalah. Ketika saya mengerjakan layout majalah Selecta, materi kumpul dulu baru dibuat layout sedangkan untuk koran Kompas ini, setiap materi langsung dirancang peletakannya, panjang berita, dan ukurannya.

Semua serba cepat. Memang tidak selalu tepat apalagi tulisan yang diketik itu masih dikoreksi dengan tulisan tangan oleh redaktur, menimbulkan kesulitan ketika harus menaksir berapa panjang naskah itu setelah dicetak nanti.

Sistem kerja ini membuat saya bekerja santai pada sore hari tetapi grubag-grubug ketika mendekati saat deadline. Waktu senggang itu terkadang saya gunakan untuk membantu redaktur mencarikan gambar atau foto sebagai pelengkap tulisan serta  membuat teksnya, terkadang mencarikan berita atau tulisan untuk pengganjal tempat yang kosong. Tentu saja semua itu atas seizin  redaktur malam.

Ketika Mas Dwianto (alm) memegang rubrik Serba-serbi Jakarta yang diletakkan di halaman I bawah (rubrik ini berisi berita tentang Jakarta yang dibuat softnews) saya banyak mengisinya. Waktu senggang siang hari saya gunakan keliling Jakarta melihat hal-hal janggal, memotretnya, dan kemudian menuliskan beritanya. Lama-lama berita yang saya buat diharapkan, maklum almarhum tidak punya wartawan, dia hanya mengambil bahan dari buletin Antara atau KNI.

Suatu malam,  Mas Adisubrata membutuhkan feature untuk halaman I kanan bawah. Ia memeriksa foto-foto yang masuk hari itu kemudian mengambil sebuah foto sebuah baliho keluarga berencana. “Mas Mamak bisa membuat feature dari foto ini?” Tentu saja peluang itu tidak saya sia-siakan, di sela-sela bekerja sebagai layoutman saya pun menulis feature berdasar foto tersebut.

Ketika itu Benyamin S. sedang populer menyanyikan lagu Si Entong Belum Gede bersama Ida Royani maka dalam waktu tidak lama tulisan pun saya setor ke Mas Adi dengan judul nyanyian Benyamin tersebut. Sejak itu saya semakin dipercaya redaktur malam untuk membantu mereka. Dan saya pikir, moment itulah yang menjadi asal muasal dan “menggiring” saya akhirnya bisa menjadi wartawan Kompas pada tahun 1974.

Bagi saya, tulis menulis saat itu bukanlah asing. Sejak tahun 1966 hingga masuk Kompas saya sudah sering menulis baik berita, feature, cerita pendek maupun bersambung di berbagai majalah.  Itulah sebabnya ketika masuk Kompas dengan tawaran gaji Rp8.500 saya sempat bimbang. Maklum saat itu dari hasil menulis sebulannya tak kurang dari Rp 12.500!  Kakak saya yang mengingatkan, “Sudah terima saja, jadi free lance nggak bisa diharapkan.”

Masa panen saya alami ketika Kompas menerbitkan edisi ekstra setiap hari Rabu yang isinya tentang anak muda. Anton Sumanggono (alm) yang dipercaya memegang edisi tersebut  tidak mempunyai wartawan sendiri sehingga ia harus mempersiapkan isinya.  Untuk itu ia membutuhkan tangan di lapangan, maka sayalah pelaksananya. 

Setiap tulisan yang dimuat dibayar sehingga hal ini menghebohkan rekan-rekan bagian administrasi. Mereka melihat honor yang saya terima setiap bulan bisa lebih besar dari gaji mereka. Masalah ini sampai ke Pak Jakob yang kemudian memanggil saya, “Bagaimana ini, You menerima gaji tapi juga menerima honor, jadi double!”

Saya waktu itu tidak bisa dan tidak berani menjawab, justru Pak Adi Subrata yang nyeletuk, “Itu kan dilakukan di luar jam kerja” dan tanya-jawab pun berhenti. Sejak saat itu honor saya dibayar separo dari tarif  biasa.

Pada tahun 1972 kantor dan percetakan Kompas sudah pindah ke Jalan Palmerah Selatan. Dan karena sudah punya percetakan sendiri, jumlah halaman pun ditambah dan terbitlah edisi hari Minggu. Mas Roestam ditunjuk sebagai pengelolanya namun karena ia tidak punya wartawan langsung, saya pun banyak menuliskan laporan utamanya. Namun inisial saya tetap saja bintang (*) karena saya bukanlah wartawan Kompas sehingga tidak berhak mencantumkan nama maupun inisial.

Begitulah kondisi itu berlangsung hingga tahun 1974 , ketika saya diminta  Anton Sumanggono untuk mengcover diskusi anak-anak muda di Gelanggang Olahraga Bulungan. Berita tentang diskusi itu ternyata keesokan harinya dimuat di halaman pertama.

Nampaknya Pak  Jakob berkenan sehingga ketika saya lewat langsung dipanggil, “Mas sebaiknya You jadi wartawan saja….. gimana Mas Alfons?” dan muncullah komentar-komentar positif selain dari  Mas Alfons Tarjadi juga dari Threes Nio (alm) dan Zus Irawati.

Minggu berikutnya saya pun berubah status menjadi wartawan, masuk Desk Kebudayaan di bawah Mas Alfons Tarjadi. Tentu saja tanpa surat pengangkatan, saat itu belum ada mekanisme surat menyurat dalam mutasi maupun pengangkatan pegawai.

**

Selama menjadi wartawan lapangan periode 1974 hingga 1978, saya masuk dalam dua desk, pertama kebudayaan/pendidikan dan yang kedua desk sosial politik. Dalam kurun waktu itu saya membuat laporan perjalanan tak kurang dari 20 kali. Ketika saya lihat kembali catatan waktunya, terkadang sebulan dua tiga kali. Itu berarti saya lebih banyak di luar kota daripada di Jakarta.

Baru beberapa hari diangkat jadi wartawan, saya langsung meliput keberangkatan transmigran dari Wonogiri ke Rasuan, Sumsel. Laporan itu dimuat bulan Juli 1974 sebanyak 6 seri. Bulan September membuat laporan tentang perbatasan Kalbar 5 seri, Oktober tentang transmigran DKI yang tinggal di Kalbar 3 seri. Begitulah rata-rata laporan perjalanan yang saya buat dimuat 3 hingga 6 kali. Tentu saja lama perjalanan dan mencari bahan tambahan untuk membuat laporan tersebut bisa satu dua minggu.

Wartawan Lomba

Liputan-liputan saya ternyata mendulang penghargaan. Pada tahun 1975 dan 1976 mendapat penghargaan Adinegoro dari PWI Jaya, tahun 1976 dari lomba penulisan tentang TMII, kemudian lomba penulisan tentang Hankam, lomba penulisan tentang nelayan, dan banyak lagi yang saya tidak ingat. Beberapa teman saat itu menyebut saya “wartawan lomba”. Kartono Ryadi (alm) sering meneriaki “hei new star”! Biasa, setiap ada yang berkenan, Pak JO selalu memuji dan menyebut nama orang itu dalam rapat-rapat. Dan “new star” itu silih berganti, takada yang abadi.

Di Kompas sendiri gaya penulisan laporan perjalanan saya saat itu dianggap sebagai new journalism, jurnalisme baru dalam pembuatan berita. Di situ berita dikemas dengan gaya feature sehingga lebih banyak data masuk dan tidak menjemukan.

Gaya penulisan feature bagi saya lebih mudah karena sebelumnya sering membuat cerita pendek atau bersambung. Bahkan pada 18 Desember 1974 ketika saya membuat tulisan tentang kematian Bing Slamet dalam gaya feature (maksud saya memang untuk feature) ternyata dimuat menjadi berita utama halaman I! Judulnya “Bing Slamet tiada lagi”.

Mas Swantoro yang saat itu menjadi komandan desk malam mengambil keputusan yang mengagetkan sehingga menjadi pembicaraan para wartawan di luar. Maklum saat itu berita utama halaman I, ya berita, bukan feature. Mulai saat itu Kompas bahkan koran lain terbiasa menurunkan berita utama dalam bentuk feature.

**

Pencapaian prestasi itu memang merupakan hasil kerja keras. Jika mengingat bagaimana laporan-laporan itu tersusun, memang butuh kerja keras dan pengorbanan. Laporan perjalanan tentang nelayan misalnya, menyisakan trauma berkepanjangan. Ketika itu Pak JO menugaskan saya agar menulis kehidupan nelayan sebagai kelanjutan tulisan Mas Adisubrata di Majalah Intisari. Untuk menuliskan kisahnya Mas Adisubrata tinggal dan bermalam di rumah nelayan.

Baca Juga: Asal Muasal Kompas [1] Pintu Besar Selatan

Saat itu bulan puasa, saya pun menyusur pantai utara, tinggal beberapa hari dengan nelayan di kota Batang, kemudian ke Muncar Banyuwangi. Di dua kota itu saya ikut nelayan mencari ikan di laut pada malam hari. Di Batang saya ikut nelayan dengan kapal motor yang beralat jala purse sein, sehingga tidak begitu menakutkan, di Muncar mengikuti nelayan kelas teri dengan perahu jungkung. Di perahu jungkung ini karena sempit , ketika nelayan menjaring ikan saya harus naik di bambu layar yang bergoyang terus.

Dalam satu bagian laporan perjalanan berjudul “Menjaring Ikan Bersama Nelayan” yang dimuat 6 seri pada bulan November 1974 itu, saya menulis betapa para nelayan dieksploitasi pemilik perahu. Mereka waktu melaut diberi makan majikan dengan harga mahal, termasuk rokoknya, yang harus dibayar dengan upah melautnya. Seringkali para nelayan justru harus berhutang seumur hidup pada majikan karena hasil tangkapan tidak tentu tapi makan tak bisa berhenti.

Beberapa hari setelah dimuat Kompas, seorang penjual rokok yang mangkal di losmen tempat saya menginap di Batang menelepon, 15an nelayan perahu yang saya tumpangi dulu kini diintimidasi pemilik perahu. Mereka tidak boleh melaut dan minta saya bertanggung jawab karena sumber nafkahnya berhenti. Saya pun menderita depresi, apalagi menyusul surat mereka yang mendesak agar saya segera menyelesaikan kasus tersebut.

Wawancara dengan ketua HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) dan tokoh-tokoh perburuhan pun saya lakukan untuk “menekan” pemilik perahu. Upaya terakhir menghubungi seorang wartawan senior yang ternyata kerabat pemilik perahu itu. Itu yang paling manjur, pada tanggal 4 Desember 1974 koresponden Kompas di Jateng memberitakan bahwa mereka sudah dipekerjakan kembali. Betapa leganya!

Kasus lain ketika saya membuat laporan perjalanan ke daerah Pacitan, tempat Presiden SBY lahir. Dalam laporan itu, saya menggambarkan betapa tidak wajarnya kemajuan pembangunan di Pacitan. Saat itu terdapat seorang lurah yang juga paranormal bernama Soerohoetomo yang menerapkan kerja rodi pada penduduk untuk membangun desanya. Desanya memang maju, saya diajak lurah itu keliling desanya dengan jip terbuka, tiap penduduk yang bekerja menunduk-nunduk ketika kami melintas.

Ketidakwajaran tersebut saya tulis dalam 3 seri laporan perjalanan berjudul “Pacitan yang Putih, Merah, dan Hijau” yang dimuat bulan Juni 1975. Suatu hari Wirasmo, wartawan desk Sospol yang bertugas di Depdagri mengingatkan agar saya hati-hati. Dikatakan, saat ini pak Lurah dan Bupati Pacitan sedang berada di Depdagri untuk membantah tulisan saya. Di depan Wirasmo lurah itu minta izin pada bupatinya untuk menghabisi saya.

“Den, kalau boleh saya sebul dari sini saja biar selesai. Saya masih inget wajahnya!” begitu Wirasmo menirukan kalimat Pak Lurah yang merasa dipermalukan itu. Tentu saja ini membuat saya mengkerut. Namun akhirnya semua berlalu dengan baik, Wirasmo berhasil menenangkan dan saya pun tetap hidup hingga saat ini.

(Bersambung)

Mamak Sutamat, wartawan purnatugas Harian Kompas 1970-2004

***

Tulisan sebelumnya: Asal Muasal Kompas [26] Pembentukan Kader