Demokrasi dan Intoleransi

Senin, 15 Oktober 2018 | 11:01 WIB
0
498
Demokrasi dan Intoleransi

Masyarakat demokratis adalah masyarakat terbuka. Artinya, berbagai pemikiran dan paham berkembang di masyarakat tersebut. Kebebasan berpikir dan berpendapat menjadi tulang punggung dari masyarakat demokratis modern, seperti Indonesia.

Pertanyaan kecil yang ingin dijawab di dalam tulisan ini adalah, apakah demokrasi boleh memberi ruang untuk kelompok-kelompok radikal yang memiliki paham intoleran dan tertutup?

Ada tiga pertimbangan yang perlu dipikirkan. Pertama, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Di dalam masyarakat majemuk yang besar jumlahnya, seperti Indonesia, rakyat diwakilkan oleh parlemen dan partai politik. Sistem semacam ini memang tidak ideal, karena memberi peluang bagi korupsi. Namun, sampai detik ini, belum ada jalan lain yang bisa diajukan.

Dua, kunci dari keberhasilan demokrasi adalah jaminan hukum dan hak-hak asasi manusia bagi semua warganya. Hukum yang ada juga tidak dibuat semena-mena, melainkan hasil kesepakatan bebas dan rasional antara semua pihak yang nantinya terkena dampak dari hukum tersebut. Dasar dari semua hukum adalah konstitusi negara yang sah, dalam hal ini Pancasila dan UUD 1945 untuk Indonesia.

Tiga, dengan pertimbangan ini, maka cukup jelaslah, bahwa kelompok-kelompok dengan paham tertutup dan intoleran tidak dapat hidup di masyarakat demokratis. Demokrasi, kepatuhan hukum dan jaminan HAM menekankan kesalingan antara berbagai kelompok yang ada.

Artinya, berbagai kelompok di dalam masyarakat demokratis saling menghormati hukum, HAM dan kebebasan yang ada. Kelompok-kelompok yang bersifat tertutup, apalagi radikal dan teroristik, jelas bertentangan dengan prinsip kesalingan ini. Mereka tidak dapat ada di dalam masyarakat demokratis.

Kelompok-kelompok radikal anti demokrasi seringkali menuduh negara sebagai pemerintahan totaliter dan tidak menghargai HAM, karena melarang kehadiran mereka. Pendapat ini jelas salah kaprah. Perlindungan hukum dan HAM hanya diberikan kepada kelompok-kelompok yang mengakui kekuatan hukum dan HAM yang berlaku di masyarakat tersebut.

Jika tidak ada pengakuan, maka kelompok-kelompok radikal anti demokrasi tidak dapat ada di dalam masyarakat demokratis. Masyarakat demokratis, walaupun terbuka, tetap memiliki batas-batas yang ketat, terutama jika dihadapkan pada kehadiran kelompok-kelompok radikal anti demokrasi.

Ada dua contoh yang bisa diberikan. Pertama, partai fasis Jerman, NAZI, memperoleh kekuasaan melalui jalan-jalan demokratis (partai politik dan pemilu). Namun, mereka lalu menghancurkan demokrasi, dan menggantinya dengan sistem pemerintahan totaliter. Ini yang terjadi, jika kelompok-kelompok radikal anti demokrasi dibiarkan begitu saja, atas nama perlindungan hukum dan HAM.

Dua, Indonesia juga punya banyak sekali pengalaman dengan kelompok-kelompok radikal anti demokrasi. Mereka secara jelas menolak konstitusi, dan ingin mengganti sistem politik Indonesia. Selama beberapa saat, kehadiran mereka diperbolehkan atas nama HAM dan demokrasi.

Namun, sudah terbukti, masyarakat semakin merasa resah dan tidak aman. Politik juga menjadi penuh kebencian dan perpecahan. Pemerintahan Jokowi sudah mengambil langkah yang tepat dengan menyingkirkan berbagai kelompok radikal anti demokrasi ini.

Demokrasi tidak bisa digunakan untuk membenarkan kehadiran kelompok-kelompok intoleran yang radikal dan tertutup. Masyarakat demokratis ada untuk mendorong keterbukaan berpikir dan berpendapat yang berpijak pada pengakuan terhadap hukum dan HAM yang berpijak pada konstitusi.

Ketika suatu kelompok menolak hukum, HAM dan konstitusi yang ada, maka ia tidak dapat ada di dalam masyarakat demokratis. Kekuatan dan keberlangsungan sebuah negara amat tergantung pada ketegasan semacam ini.

***