Zen dalam Satu Untai Puisi

Bagaimanapun juga, hidup hanyalah seperti mimpi. Ia adalah tarian cahaya dan bayangan yang seolah menghasilkan materi.

Minggu, 4 Juli 2021 | 07:15 WIB
0
161
Zen dalam Satu Untai Puisi
Ilustrasi Zen dan puisi (Foto: rumahfilsafat.com)

Puisi yang tepat akan menghantarkan kita ke gerbang pencerahan. Itu yang kiranya saya rasakan.

Tak heran, begitu banyak Zen Master yang menulis puisi. Mereka menyampaikan pesan-pesan pencerahan di dalam untaian puisi yang menggetarkan hati.

Zen adalah jalan tanpa jalan. Tidak ada teori.

 Tidak ada rumusan. Yang ada hanyalah upaya untuk mengekspresikan inti dari segala yang ada, yakni kekosongan yang maha luas.

Kekosongan bukan berarti kehampaan, apalagi depresi. Kekosongan adalah kejernihan dan ketenangan sejati.

Kekosongan adalah kreativitas. Ia adalah awal, proses dan akhir dari segala sesuatu.

Puisi berikut kiranya bisa memberikan gambaran yang mencerahkan. Ia lahir dari tangan Ravi Shankar, seorang Master Yoga dari India.

Ia juga dikenal sebagai aktivis perdamaian. Mari kita simak bersama.

Cukup hanya hadir disini dan saat ini
Sukacita yang sejati berada melampaui identitas
Istirahat yang sejati berada melampaui semua keinginan
Cinta yang dewasa adalah merasakan kesatuan
Tenanglah, dan hadir sepenuhnya disini dan saat ini
Segala peristiwa itu sementara
Belajarlah darinya, dan jadilah bebas…

Cukup hanya hadir disini dan saat ini

Hadir disini dan saat ini, inilah salah satu kebijaksanaan tertinggi. Kita terlalu cerdas, sehingga pikiran cenderung lari ke masa lalu, atau mencemaskan masa depan.

Ini yang membuat hidup menjadi berat. Belajar untuk hadir disini dan saat ini adalah salah kemampuan terpenting untuk hidup sehat di masa penuh krisis, seperti sekarang ini.

Sukacita yang sejati berada melampaui identitas

Apakah kita sama dengan identitas sosial kita? Suku, ras, agama dan kelompok bisa dengan mudah berganti.

Bahkan, gender pun juga amat mudah diganti sekarang ini. Jika kita sadar akan hal ini, maka kita bisa melampaui kelekatan pada identitas sosial kita.

Kita akan menemukan kebebasan yang melegakan, sekaligus terbuka pada berbagai perbedaan. Kita akan menjadi manusia yang toleran.

Kita juga akan menemukan, siapa diri kita sebenarnya. Ia berada sebelum semua identitas sosial yang ada, yakni kesadaran murni itu sendiri.

Dengan menyentuh itu, kita akan menemukan sukacita tanpa syarat. Kebahagiaan kita tidak lagi tergantung pada benda-benda ataupun peristiwa yang ada di sekitar kita.

Istirahat yang sejati berada melampaui semua keinginan

Seringkali, kita disiksa oleh pikiran kita sendiri. Pikiran menginginkan sesuatu, dan kita terus melekatinya, sehingga membuat kita tegang dan menderita.

Coba lepaskan keinginan yang ada. Puaslah dengan apa yang ada disini dan saat ini.

Tegangan batin akan menurun, dan kita bisa sungguh mengistirahatkan batin disini dan saat ini. Ini tentunya amat berguna untuk mereka yang sulit tidur, karena pikiran maupun keinginan yang meluap-lupa di dalam diri.

Keinginan bukanlah sesuatu yang jahat. Hidup juga perlu untuk memiliki keinginan.

Namun, apakah keinginan kita itu masuk akal? Apakah kita terlalu memaksakan keadaan?

Coba jawab dua pertanyaan ini dengan jernih. Hidup kita akan jauh lebih bebas dan tenang, jika tidak dirongrong oleh keinginan-keinginan membara yang tak masuk akal, begitu kata Buddha Gautama.

Cinta yang dewasa adalah merasakan kesatuan

Ah, tentang cinta, siapa yang tak ikut membara? Jutaan lagu, puisi, buku dan film diciptakan atas nama cinta.

Namun, kita semua tahu, cinta tak selalu berakhir bahagia. Derita paling besar dalam hidup muncul dari cinta yang kandas oleh peristiwa.

Mungkin, pemahaman cinta kita yang salah. Kita mengira, cinta itu menguasai dan membelenggu.

Akibatnya, cinta pun berubah menjadi duka dan derita. Ia mencekik, dan bahkan membunuh.

Sesungguhnya, dasar cinta bukanlah perasaan memiliki, tetapi kesepakatan yang berpijak pada kesatuan. Aku dan kamu tidaklah berbeda.

Kita adalah satu dan sama. Perbedaan hanya setipis kulit manusia yang rapuh tertelan waktu dan peristiwa.

Cinta yang berpijak pada rasa kesatuan adalah cinta yang siap berbagi. Ia tidak menuntut, apalagi mencekik.

Hubungan cinta adalah sebuah kesempatan untuk berbagi apa yang kita punya. Ia bukanlah kesempatan untuk menghisap kebahagiaan dari hidup satu sama lain.

Tenanglah, dan hadir sepenuhnya disini dan saat ini

Maka, kita perlu untuk terus kembali disini dan saat ini. Gunakan panca indera kita untuk sungguh menyadari, apa yang ada di sekitar kita.

„Saat ini“ menjadi jangkar bagi kita untuk selalu berpijak pada kebenaran. „Saat ini“ melindungi kita dari penyesalan atas masa lalu, maupun kecemasan atas masa depan.

„Saat ini“ adalah rumah kita. Dimanapun kita berada, cobalah selalu ingat untuk pulang „disini dan saat ini“.

Segala peristiwa itu sementara

Inilah hukum abadi kehidupan. Tak ada yang kekal di alam semesta ini.

Segala yang lahir haruslah mati. Segala yang tercipta haruslah pergi suatu saat nanti.

Ini juga merupakan salah satu pemahaman terpenting di dalam ajaran Buddha. Derita dan bahagia yang kita rasakan pun akan berlalu.

Ketika keadaan sulit, ingatlah, bahwa ini pun akan berlalu. Ketika keadaan membahagiakan, ingatlah, bahwa ini pun juga akan berubah.

Kita lalu memperoleh kebebasan dari derita dan bahagia. Inilah kebebasan yang melegakan hati, dan membahagiakan diri.

Belajarlah darinya, dan jadilah bebas…

Apa yang sudah terjadi tidak bisa diulangi. Penyesalan adalah hal sia-sia yang menyesakkan hati.

Apapun yang terjadi, kita hanya perlu bertanya, apa yang bisa dipelajari? Kita pun akan terus berkembang dari setiap peristiwa yang kita alami.

Bagaimanapun juga, hidup hanyalah seperti mimpi. Ia adalah tarian cahaya dan bayangan yang seolah menghasilkan materi.

Puluhan tahun berlalu dalam sekejap mata. Tak ada yang bisa digenggam oleh jemari yang rapuh tak berdaya.

Maka, menarilah. Tersenyumlah. Semua ini adalah lawakan semesta semata…

***