Gratia versus Natura

Bukan hal aneh kalau di pesantren yang khusus mempelajari agama Islam diwajibkan hafal (hafiz) Quran, sehingga saat selesai "masantren" paling tidak 15 dari 30 juz Quran sudah hapal di luar kepala.

Kamis, 29 Juli 2021 | 08:59 WIB
0
200
Gratia versus Natura
Sains dan agama (Foto: qureta.com)

Pada suatu masa dalam sepenggal perjalanan peradaban manusia masa lalu, rahmat (gratia) sering diperhadapkan dengan kodrat (natura) secara ekstrem. Kedua kutub ini saling mengklaim siapa yang lebih mengatasi, saling cemburu dan merendahkan ketika keduanya sudah berada di tangan manusia.

Masa kegelapan bangsa Eropa sering menjadi rujukan tatkala gereja (agama) sedemikian mengatasi apapun, termasuk ilmu pengetahuan (sains). Banyak ilmuwan meregang nyawa akibat mereka tidak tunduk pada kuasa agama.

Dengan dogma yang tanpa kompromi, kaum agamawan mengklaim bahwa rahmat hanya milik Tuhan dan karenanya mengatasi kodrat. Bukankah kodrat manusia itu ada di tangan Tuhan? Demikian kira-kira pandangan mereka.

Dalam pandangan mereka, rahmat Allah mengungkapkan kesempurnaan satu-satunya dan sejatinya (sesungguhnya), sedang manusia tak punya hak atas rahmat Allah itu. Namun sejalan dengan berkembangnya pemikiran manusia, sebagian berpendapat bahwa kodrat juga memiliki kesempurnaan otonom sehingga manusia tidak membutuhkan rahmat lagi.

Sejatinya rahmat dan kodrat adalah konsep filsafat, khususnya menyentuh kulit keyakinan yang sensitif. Tuhan Maha Sempurna, sementara kodrat manusia sebelum jatuh ke dalam jurang dosa juga sempurna sehingga dianggap tidak memerlukan rahmat lagi.

Belakangan rahmat Tuhan mengerucut kepada konsep agama, sedang kodrat manusia terus mengembangkan ilmu dan pengetahuannya sehingga menjelma sains. Bentrok antara agama dan sains pun berlanjut sampai kini. Ibarat minyak dan air, agama dan sains tidak pernah benar-benar menyatu, nafsi-nafsi.

Pun manusia moderen saat ini dihadapkan pada dua pilihan itu, agama atau sains. Agama "bersenjatakan dogma" yang tidak membutuhkan pembuktian, apalagi menyangkut Tuhan, sedang sains atau pengetahuan membutuhkan pembuktian. Tanpa bukti, sains gagal dalam pekerjaannya.

Uniknya rahmat dan kodrat atau agama dan sains juga merasuki dunia pendidikan kita saat ini. Pada suatu masa, demikian marak sekolah umum mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas melabeli dirinya dengan "Islam" atau "Katolik", yang menjadi pembeda bahwa titik berat pengajaran mereka ke rahmat.

Bukan hal aneh kalau di pesantren yang khusus mempelajari agama Islam diwajibkan hafal (hafiz) Quran, sehingga saat selesai "masantren" paling tidak 15 dari 30 juz Quran sudah hapal di luar kepala. Sekarang siswa di beberapa sekolah menengah pertama dan bahkan sekolah menangah atas wajib menghapal Quran dengan anggapan, pelajaran sekuler akan mudah dikuasai jika hapal Quran.

Apakah ini salah? Tentu tidak, sebab itu tadi, semangat antara rahmat dan kodrat akan berusaha saling mengatasi. Dengan dogma di dalamnya, siapa yang berani menggugat bahwa dengan hapal Quran siswa oromatis hapal ilmu-ilmu pengetahuan sekuler? Sebaliknya kodrat mengatakan, belum tentu jalan ceritanya seperti itu.

Begitulah. Semua terpulang pada individu masing-masing, mana yang ingin lebih ditekankan, rahmat atau kodrat, gratia atau natura.

***