Apakah Presiden Jokowi Sudah Lelah?

Kalau dirasa ada menteri yang tidak cakap dalam bekerja. Akan tetapi, ini juga menjadi sisi lemah manejerial seorang presiden. Karena ini periode kedua dalam masa jabatannya.

Senin, 29 Juni 2020 | 20:12 WIB
0
248
Apakah Presiden Jokowi Sudah Lelah?
Presiden Joko Widodo (Foto: tribunnews.com)

Dalam rapat sidang kabinet, Presiden Jokowi dalam nada tinggi mengungkapkan kekesalannya atau rasa kecewa kepada pembatunya yaitu menteri. Kementerian yang disorot yaitu Kemenkes dan Kemensos. Karena dianggap lambat dalam menyalurkan bantuan dan serapan anggaran yang rendah. Bahkan, presiden juga mengancam akan melakukan reshuffle kepada pembantunya itu.

Seorang presiden atau seorang pimpinan negara atau pimpinan perusahaan, bebas memarahi atau menegur bawahannya. Karena tidak ada pimpinan yang salah. Pimpinan penginnya tahu beres, sekalipun di lapangan tidak semulus jalan tol. Ada saja hambatan dan rintangan. Tapi atasan tidak mau tahu.

Di tengah wabah pandemi Corona yang belum berakhir, di mana semua bisnis usaha atau ekonomi terpuruk dan banyak pengangguran-tidak perlu presiden marah-marah. Toh, selama masa pandemi-presdien juga baru sekali melakukan kunjungan kerja yaitu ke Jawa Timur karena jumlah yang possitif Corona meningkat. Artinya-selama ini presiden hanya bekerja lewat instruksi kepada bawahannya. Sedangkan eksekusi kebijakan ada di lapangan, dan di lapangan banyak hambatan yang harus mengikuti protokol kesehatan.

Terkait bantuan sosial atau bansos-memang ini sangat krusial atau tidak mudah. Karena data kementerian dan pemprov atau pemda sering tidak sinkron. Akhirnya bantuan tidak tepat sasaran. Yang kadang banyak warga yang harusnya menerima bantuan, malah tidak dapat bantuan. Malah ada yang dapat bantuan ganda-yaitu dari kementerian dan pemprov.

Dan kalau bantuan tidak tepat sasaran atau terjadi korupsi,maka tidak menutup kemungkinan seorang menteri bisa jadi pesakitan penegak hukum. Dan presiden tentu juga tidak mau disalahkan. Di sinilah dilema seorang menteri. Lambat menyalurkan bantuan kena marah atasan atau presiden. Cepat menyalurkan bantuan dan tidak tepat sasaran-bisa kena tuduhan korupsi sebagai pengguna anggaran.

Begitu juga bantuan insentif kepada dokter atau tenaga medis ini juga tidak mudah dan harus diverifikasi jangan sampai tidak tepat. Kalau sudah menyangkut uang-banyak tangan-tangan jahat. Yang mendapat insenstif adalah dokter atau tenaga medis yang menangani pasien yang terpapar virus Corona.

Bisa saja dokter atau tenaga medis yang tidak menanggani pasien terkait Corona-dimasukkan sebagai penerima insentif. Atau dokter dan tenaga medis yang meninggal karena tidak menangani pasien yang terkena virus corona. Padahal yang mendapat insentif adalah dokter atau tenaga medis yang menangani pasien yang terpapar corona.

Kalau  bansos atau anggaran supaya "terserap" itu "mudah". Tapi juga rawan dengan penyelewangan dan akan berperkara dengan hukum.

Nah, dalam keadaan normal untuk pengadaan barang dan jasa harus tender, dan ini memakan waktu lama. Saat pandemi atau keadaan darurat mustahil melakukan tender. Harus melaui penunjukan untuk mempercepat penanganan terkait virus corona. Tetapi melalui penunjukan juga bukan tanpa masalah-akan timbul masalah hukum dengan penegak hukum. Kecuali, sebelumnya sudah konsultasi dengan alasan keadaan darurat untuk penanganan corona.

Terkait rencana reshuffle kabinet-itu adalah hak prerogatif presiden. Kalau dirasa ada menteri yang tidak cakap dalam bekerja. Akan tetapi, ini juga menjadi sisi lemah manejerial seorang presiden. Karena ini periode kedua dalam masa jabatannya.

Pada periode pertama Presiden Jokowi melakukan reshuffle sebanyak tiga kali. Harusnya pada periode pertama bisa dijadikan pengalaman dan tidak sering melakukan bongkar-pasang menteri. Apalagi ganti menteri-ganti kebijakan.

Sebenarnya mudah kalau ingin menghidupkan sektor ekonomi yaitu perlonggar saja aturan protokol kesehatan. Misal: naik pesawat dan kereta api tidak perlu test covid atau segera membuka sektor pariwisata. Pertanyaannya: berani tidak pemerintah membuat kebijakan seperti itu?

Atasan tidak pernah salah!

***