Kompas Inside [2] Pak Jakob Oetama dan "Laron" Sepeda Motor

Senjata Pak JO dalam setiap rapat adalah bertanya dan bertanya; "Bagaimana itu, Mas?" Atau, "Kok bisa begitu ya, Bung?" Bisa juga, "Ini persoalan menarik loh, Mbak!"

Kamis, 5 September 2019 | 09:35 WIB
0
937
Kompas Inside [2] Pak Jakob Oetama dan "Laron" Sepeda Motor
Jakob Oetama (Foto: Citra Indonesia)

Ketika masih aktif bekerja di Harian Kompas sebagai jurnalis, sebelum pensiun dini di akhir tahun 2016, kerap saya mengikuti rapat redaksi yang selalu dilakukan setiap hari. Kecuali hari Sabtu dan Minggu ada rapat khusus untuk yang bertugas di hari itu, meski waktunya tidak harus pagi hari.

Dalam rapat itu selalu tersedia kopi atau teh hangat di ruang rapat redaksi yang berada di samping kiri ruangan redaksi yang besar dan terbuka itu, plus penganan hangat berupa kue-kue jajanan pasar. Lumayan buat penghangat perut, khususnya saat perut belum sempat terisi sarapan di rumah.

Rapat selalu dipimpin oleh Pemimpin Redaksi. Kalau Pemred berhalangan, ada wakil Pemred yang siap mem-back up. Dari seluruh rapat redaksi yang pernah saya ikuti, Pemred yang memimpin rapat berturut-turut adalah Suryopratomo, Bambang SK, dan Rikard Bagun.

Saya tidak mengalami rapat redaksi yang dipimpin Budiman Tanuredjo dan Ninuk Mardiana Pambudy berhubung saat saya diserahi tugas memegang Kompasiana, saya sudah tidak diikutsertakan lagi. Mungkin praktis saja alasannya; Oppositum styli modum spiritus! Artinya apa, silakan cari sendiri di kamus!

Kompasiana adalah blog sosial yang saya bangun bersama almarhum Taufik H. Mihardja dan Edi Taslim. Saya diserahi tugas ngopeni konten berupa artikel publik kemudian mengurusi kemunitas penulis di dalamnya sejak blog sosial itu mengudara (online) di tahun 2008.

Jadi, dengan tidak mengikuti rapat lagi, saya kehilangan sesuatu yang berharga, yaitu kudapan dan kopi gratis setiap pagi. Itu yang bikin saya sedih. Namun keuntungannya, saya tidak harus berangkat nyubuh dari rumah di kawasan Bintaro. Saya bisa santai. Ngopi di rumah dan ngudap di "Cafe Alex", warkop kakilima yang selalu menyediakan mie instan kuah pedas sebagai menu utamanya. 

Ada lagi rapat yang digelar setiap hari Rabu, maka disebutlah "Rapat Reboan", yang hadir di rapat itu level editor atau wakilnya, redpel, pemred, litbang, dan terkadang menyertakan unsur bisnis juga. Tapi baiklah, saya cerita tentang rapat rutin harian ini...

Isilah otakmu dengan ide atau gagasan, kemukakan apa yang akan kamu lakukan hari ini dan esok hari!

Itu doktrin pribadi yang selalu saya pegang sebelum menghadiri rapat. Mengisi otak tidak lain mengikuti berita-berita mutakhir. Diutamakan sesuai bidangnya, misalnya desk di mana saya ditugaskan, tetapi ada baiknya mengikuti isu desk-desk lainnya. Sebab pada praktiknya, antardesk sering beririsan saat meliput atau mengembangkan isu tertentu secara bersama-sama.

Di ruang rapat inilah gagasan beradu gagasan. Kadang saling "tikam" untuk isu-isu yang disodorkan secara serius, tetapi semuanya selalu berakhir dengan baik setelah Pemred memutuskan. Namun demikian sebagaimana hierarkis kekuasaan, keputusan Pemred juga bisa dimentahkan kalau si empunya koran, dalam hal ini Jakob Oetama (kami menyebutnya Pak JO, dibaca "Je-O"), tidak berkenan.

Tetapi jangan khawatir, hal itu jarang terjadi. Pak JO selaku si empunya koran sekaligus pemimpun umum hanya memberi arahan, sesekali mempertanyakan fenomena. Di ruang rapat ini pula seluruh kepala desk jualan dagangannya, yaitu isu yang akan digarap. Boleh dibilang ini rapat perencanaan. Kelak tiba saatnya saya juga bercerita tentang Rapat Sore, yang juga dilakukan setiap hari.

Senjata Pak JO adalah bertanya dan bertanya. "Bagaimana itu, Mas?" Atau, "Kok bisa begitu ya, Bung?" Bisa juga, "Ini menarik loh, Mbak!"

Well... suara Pak JO memang khas. Duduk di titik tengah meja dan kursi berformasi huruf "U", semua mata peserta rapat mengarah kepada Pak JO. Whiteboard elektronik di belakangnya dipastikan menganggur, tidak ada Infokus yang berani menyorot. Sebaliknya Pak JO dengan tangannya bisa menyilakan siapa saja yang ditunjuknya untuk bicara ke berbagai arah, agar mengeluarkan pendapatnya. Begitu seterusnya. Jarang ada tawa, pasti serius dan mencekam bawaannya.

Bayangkan kalau pak JO menunjuk saya di saat otak tidak terisi gagasan, pengetahuan dan isu kekinian!

Jujur, saya kagum dengan "nose for news"-nya Pak JO, suatu instink jurnalistik yang wajib dimiliki wartawan. Kira-kira tahun 2010 atau setahun menginjak usianya yang ke-80 (beliau lahir 27 September 1931), beliau hadir di ruang rapat mengenakan kemeja putih lengan panjang, celana panjang donker blue, plus kacamata oval lonjong yang menjadi ciri khasnya.

"Saya kok belum membaca berita soal fenomena sepeda motor yang makin banyak saja di jalanan Jakarta. Ini fenomena apa, ya? Mobil saya nyaris tidak bisa bergerak, terkepung oleh sepeda motor yang datang bagai laron dari berbagai arah!" demikian Pak JO membuka percakapan.

Tentu saja yang harus siap menanggapi pertanyaannya adalah kepala desk Metropolitan yang saya bayangkan jantungnya berebur keras saat mendengar curhat, pernyataan sekaligus pertanyaan Pak JO itu. Ia harus siap dengan segala argumennya, khususnya mengapa di Harian Kompas belum ada tertulis atau terberitakan soal gejala "laronisme" sepeda motor di jalanan Jakarta.

Dari pertanyaan itu saja, maka ke luar berbagai gagasan untuk peliputan, tidak melulu ke luar dari isi kepala desk metropolitan, tetapi juga dari peserta rapat lainnya. Litbang, misalnya, bisa mengungkapkan pendapatnya dari sisi angka-angka mengenai keberadaan sepeda motor di Jakarta yang semakin fantastis.

Bisa juga ditinjau dari kemudahan kepemilikan sepeda motor yang cukup dengan uang muka Rp250.000. Atau boleh jadi karena ketidaknyamanan transportasi umum yang belum memenuhi kriteria ketepatan dan kecepatan bagi penggunanya. Dengan sepeda motor, kecepatan sudah di tangan. Bayangkan, saat itu belum ada ojek online, itupun dalam pandangan Pak JO sudah fenomena yang luar biasa. 

"Begitu ya, Bung. Besok saya ingin baca laporannya!"

Demikian biasanya Pak JO mengakhiri satu topik sebelum beralih ke topik lainnya. Jelas, gagasan mengenai fenomena sepeda motor datang darinya, Desk Metropolitan tinggal "menerjemahkannya", lalu menghubungi secara cepat wartawan di lapangan untuk menulis liputan awal tentang meruyaknya sepeda motor.

Sudah terlalu panjang.... saya akhiri catatan ini untuk dilanjutkan besok, masih mengenai Pak JO yang membawa kabar kejatuhan Megawati Soekarnoputri yang beberapa bulan kemudian benar-benar jatuh. Ditunggu, ya!

(Bersambung)

***

Tulisan sebelumnya: Inside Kompas [1] Saya Sedang Ingin Bercerita tentang Koran