Amerika yang Panik dan Gagap

Mungkin sudah waktunya segala sesuatunya dinilai kembali. Terutama arti dari kebebasan dan sanksi-sanksi bila menyangkut keselamatan dan kedamaian orang lain.

Jumat, 8 Januari 2021 | 22:11 WIB
0
215
Amerika yang Panik dan Gagap
Massa menyerbu Capitol (Foto: 6abc.com)

Apa yang terjadi di Amerika terjadi juga di Indonesia. Kerusuhan. Amok, chaos, riots. Membuat negara sebesar Amerika pun panik dan gagap menertibkan aksi massa tersebut.

Mungkin memang dunia harus mengkaji batasan-batasan kebebasan berkumpul dan berpendapat. Termasuk juga punya PR besar agar manusia menjadi tidak emosional, dan bisa menilai sesuatu dengan obyektif. Mengambil keputusan yang tepat di tengah banjir informasi. Membedakan citra yang palsu dan sejati.

Medsos, era post truth memang melenakan. Membuat orang hanya menangkap citra-citra permukaan.

Semisal, pemimpin yang terlihat garang dan banyak memberi perintah disangka hebat, tegas, dan solving problems. Padahal sejatiya pekerjaan pemimpin bukan sekadar orasi dan selebrasi dengan busana yang serasi. Seragam sana sini. Tetapi memang citra itulah yang mudah ditangkap awam tentang arti bekerja.

Orang di belakang layar sulit terlihat jasanya di era post truth. Pendiam sering ditafsir sebagai tak mampu bekerja. Agamawan yang teduh tak terasa relijius karena tak terlihat berperang garang memaki-maki setan. Demikian juga dengan politisi dan cendekiawan. Yang terlihat seringkali yang dangkal.

Baca Juga: Jebolnya Capitol

Di pihak lain, perkembangan HAM memberi ruang terlalu sempit bagi aparat keamanan untuk menindak massa yang berdemonstrasi. Materi pembicaraan yang memprovokasi bukan lagi sesuatu yang bisa ditertibkan atas nama demokrasi dan kebebasan berpendapat. Sehingga seringkali terlalu terlambat untuk ditertibkan. Karena jumlahnya menjadi terlalu banyak dan rusuh.

Mungkin sudah waktunya segala sesuatunya dinilai kembali. Terutama arti dari kebebasan dan sanksi-sanksi bila menyangkut keselamatan dan kedamaian orang lain.

***