Mungkin sudah waktunya segala sesuatunya dinilai kembali. Terutama arti dari kebebasan dan sanksi-sanksi bila menyangkut keselamatan dan kedamaian orang lain.
Apa yang terjadi di Amerika terjadi juga di Indonesia. Kerusuhan. Amok, chaos, riots. Membuat negara sebesar Amerika pun panik dan gagap menertibkan aksi massa tersebut.
Mungkin memang dunia harus mengkaji batasan-batasan kebebasan berkumpul dan berpendapat. Termasuk juga punya PR besar agar manusia menjadi tidak emosional, dan bisa menilai sesuatu dengan obyektif. Mengambil keputusan yang tepat di tengah banjir informasi. Membedakan citra yang palsu dan sejati.
Medsos, era post truth memang melenakan. Membuat orang hanya menangkap citra-citra permukaan.
Semisal, pemimpin yang terlihat garang dan banyak memberi perintah disangka hebat, tegas, dan solving problems. Padahal sejatiya pekerjaan pemimpin bukan sekadar orasi dan selebrasi dengan busana yang serasi. Seragam sana sini. Tetapi memang citra itulah yang mudah ditangkap awam tentang arti bekerja.
Orang di belakang layar sulit terlihat jasanya di era post truth. Pendiam sering ditafsir sebagai tak mampu bekerja. Agamawan yang teduh tak terasa relijius karena tak terlihat berperang garang memaki-maki setan. Demikian juga dengan politisi dan cendekiawan. Yang terlihat seringkali yang dangkal.
Di pihak lain, perkembangan HAM memberi ruang terlalu sempit bagi aparat keamanan untuk menindak massa yang berdemonstrasi. Materi pembicaraan yang memprovokasi bukan lagi sesuatu yang bisa ditertibkan atas nama demokrasi dan kebebasan berpendapat. Sehingga seringkali terlalu terlambat untuk ditertibkan. Karena jumlahnya menjadi terlalu banyak dan rusuh.
Mungkin sudah waktunya segala sesuatunya dinilai kembali. Terutama arti dari kebebasan dan sanksi-sanksi bila menyangkut keselamatan dan kedamaian orang lain.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews