Memahami Informasi

SDM yang bagus tak akan mungkin memilih jadi jurnalis, kecuali gila atau khilaf. Pasti mereka memilih kerja di perusahaan asing, di bidang migas, keuangan, IT, atau jadi pebisnis.

Rabu, 20 Januari 2021 | 06:16 WIB
0
214
Memahami Informasi
Media (Foto: Digital Marketing)

Informasi umumnya dalam bentuk berita atau cerita. Daya tarik informasi terletak pada dua hal.

Pertama, kebaruan atau novelty. Setiap hal (benda, sifat, atau kejadian) yang baru selalu menarik untuk diketahui. Misalnya, “Lima menit lalu tokoh A meninggal dunia karena kecelakaan.” Informasi itu bernilai berita karena baru terjadi, memiliki daya tarik.

Kedua, ketidakwajaran. Semakin tidak wajar satu realita (benda, sifat, atau kejadian) yang disampaikan dalam satu informasi, semakin tinggi daya tarik informasi tersebut. Kenapa informasi tentang sesuatu yang tidak wajar memiliki daya tarik? Karena manusia hidup dalam ruang kewajaran.

Ketidakwajaran atau sesuatu yang berbeda selalu menarik perhatian. Hal inilah yang sekarang dieksploitasi, baik oleh perorangan maupun media. Satu lagi, semakin tinggi tingkat ketidakwajaran realita yang diinformasikan, semakin (merasa) eksis dan bangga orang atau media yang menginformasikannya. Ngaku aja...!

Selain hidup dalam ruang kewajaran, manusia juga memiliki kemampuan pikiran (akal) untuk menganalisis kebenaran satu informasi. Tentu saja kemampuan menganalisis informasi itu berbeda-beda pada setiap orang.
Bagi kaum ilmuwan, sesuatu yang tidak wajar bisa saja terjadi sejauh masih dalam ruang kemungkinan. Jadi, yang tidak wajar itu bukan sesuatu yang tidak mungkin, karena masih bisa diterima oleh akal, masih bisa dipahami.

Ketidakwajaran, bisa juga didefinisikan sebagai ketidakbiasaan. Nah ... dalam satu musibah skalanya cukup besar, ‘ketidakbiasaan’ dari perilaku para korban dan orang-orang yang terlibat dalam musibah, selalu dieksploitasi oleh media menjadi berita sensasional. Misalnya, “Sebelum Berangkat, Pilot Minta Maaf Kepada Keluarganya”.

Berita-berita semacam itu laku, karena masyarakat kita sangat suka dengan cerita-cerita ketidakwajaran. Tidak percaya? Coba saja buka Google, ketik kata ‘firasat’. Link yang muncul adalah berita-berita terkait jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182. Gambar yang ditampilkan pun sama, foto Sriwijaya Air SJ-182.

Persoalannya justru pada teknis bagaimana si jurnalis dan media mendapatkan kesaksian dari keluarga korban yang tengah diliputi duka. Dipertontonkan di layar televisi, bagaimana para reporter mengajukan pertanyaan-pertanyaan konyol tanpa empati. Jelas itu sangat tidak sedap ditonton.

Tidak hanya media televisi (visual dan audio), khususnya media online, banyak yang menulis berita dengan salah atau tidak pantas. Secara umum, ada penurunan kualitas, etika, akurasi, dan kepatutan dalam peliputan, penyajian berita, serta konten berita itu sendiri. “Apa sebabnya?” Tepatnya saya gak tahu.

Tapi begini, di zaman Orba media diawasi dengan sangat ketat oleh Pemerintah. Risiko akibat pelanggaran atas peraturan kemediamassaan bisa berarti bredel.

Waktu itu pekerjaan jurnalistik lebih sulit dibanding sekarang, baik dalam hal menyajikan berita yang patut dan patuh terhadap sejumlah peraturan (tertulis dan tidak tertulis), juga secara teknis, sarana telekomunikasi belum seperti sekarang.

Karena itu manajemen media menganggap penting untuk mendapatkan SDM yang bagus melalui rekrutmen yang prosesnya tidak sederhana. Itu penting untuk meminimalisir kemungkinan salah tulis dsb. Selain itu, manajemen media juga memiliki sejumlah peraturan yang wajib dipatuhi oleh para jurnalisnya. Tujuan utamanya, agar berita yang tersaji tidak dianggap salah oleh penguasa.

Di sisi lain, waktu itu ‘kue iklan’ yang dinikmati media massa masih cukup besar. Perusahaan media punya budget untuk mengadakan pelatihan bagi reporter baru, sebelum diterjunkan ke lapangan. Karena pendapatan iklan media relatif masih besar, maka gaji reporter baru pun bisa jauh di atas UMR.

Baca Juga: Media Ponsel

Tambahan, di zaman Orba, seseorang bisa jadi wartawan harus melalui screening di Deppen, harus bersih lingkungan, minimal harus sudah mengikuti Penataran P4 100 jam. Sangat ketat. Dulu, untuk menjadi seorang jurnalis tidak sederhana.

Pasca reformasi, semua restriksi dan peraturan yang 'memberatkan' media massa dihapus. Pengawasan atas media nyaris tak ada, tidak ada lagi yang ditakutkan. Setiap orang bebas mendirikan media, bahkan dengan kemajuan IT setiap orang bisa jadi lembaga media. Jumlah media tumbuh gila-gilaan.

Satu lagi, dalam sepuluh tahun terakhir, media internasional -khususnya media sosial-, masuk ke Indonesia, mengambil porsi sangat besar dari kue iklan nasional. Pendapatan media turun drastis.

Jangankan untuk pelatihan reporter, gaji reporter pun ditekan habis. Gaji reporter baru (termasuk reporter TV) dalam 2 tahun pertama kerja, tidak lebih dari UMR. Dengan tawaran begitu, tidak mungkin media mendapatkan SDM grade A atau B. Itu pasti.

Dari gambaran ini sudah bisa ditarik hipotesis, reporter yang dihasilkan dari proses rekrutmen alakadarnya, pada tingkatan mana kapasitas, kompetensi dan integritas yang bisa dihasilkan.

SDM yang bagus tak akan mungkin memilih jadi jurnalis, kecuali gila atau khilaf. Pasti mereka memilih kerja di perusahaan asing, di bidang migas, keuangan, IT, atau jadi pebisnis. Jadi, ‘kualitas berita’ yang ditampilkan media hanya alakadarnya? Kurang lebih itu jawabannya.

***